Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Kisah Perompak di Mata Seorang Vegan

Dokumenter Seaspiracy memaparkan temuan mengkhawatirkan tentang industri perikanan global. Namun film ini diwarnai pengambilan kesimpulan yang ekstrem dan meletakkan kesalahan pada individu, alih-alih tata kelola industri dan pemerintahan.

10 April 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Adegan penangkapan ikan dalam Seaspiracy. Netflix

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seaspiracy

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dokumenter

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sutradara: Ali Tabrizi

Produksi: Ali Tabrizi, Lucy Tabrizi, Kip Andersen

Distributor: Netflix

ALI Tabrizi menangkap peristiwa di pelabuhan di depannya dari sudut tersembunyi. Hanya ujung kameranya yang mengintip sedikit dari tepi tembok, merekam aktivitas malam hari di pelabuhan ikan di Jepang, Kii-Katsuura. Apa yang dilihatnya membuat Ali ternganga. Kapal-kapal menurunkan tangkapan besar berupa tuna sirip biru, jenis tuna termahal di dunia sekaligus spesies yang terancam punah. Ali membalikkan badan dan berbisik dengan penuh frustrasi kepada kamera kedua yang dipegang rekannya. “Ini adalah industri tuna sirip biru senilai US$ 42 miliar setahun, sebuah ancaman overfishing,” ujar Ali, tampak putus asa.

Film kemudian menampilkan infografis tentang ikan yang disebut sebagai cheetah lautan karena bergerak lebih cepat dari Ferrari ini. Ali menarasikan bagaimana industri ini dikendalikan oleh anak perusahaan Mitsubishi. Dia pun mendatangi kantor perusahaan itu untuk meminta konfirmasi. Namun dua orang representatif perusahaan yang diburamkan wajahnya menolak menjawab pertanyaan Ali tentang mengapa perusahaan mereka terlibat dalam aksi penangkapan berlebihan ikan nyaris tumpas tersebut.

Ali Tabrizi sang sutradara dalam Seaspiracy. Netflix

Temuan itu hanya salah satu dari sejumlah permasalahan perikanan di berbagai sudut dunia yang disampaikan Ali lewat film dokumenter Seaspiracy. Sejak diluncurkan lewat Netflix akhir Maret lalu, film ini menjadi salah satu judul yang paling banyak ditonton di hampir 50 negara. Ini klaim Tabrizi di akun Twitternya. Film ini memang memancing kontroversi. Sebagian penonton mencetuskan betapa tergugahnya mereka untuk menjaga kelestarian laut setelah menonton film ini, tapi sebagian lain menyoroti pencatutan fakta dan pengambilan kesimpulan yang dinilai bermasalah. Dokumenter ini diproduksi bersama Kip Andersen yang juga telah melahirkan Cowspiracy (2014) serta What the Health (2017) dan sama-sama berujung pada kampanye pola makan berbasis tanaman.

Ali menyusun alur film ini mengikuti logika deduksinya. Di awal film, sutradara asal Inggris itu mengungkapkan kecintaannya pada paus serta upaya-upaya kecil yang dilakukannya untuk menjaga kelestarian laut, seperti menghindari plastik sekali pakai, berdonasi kepada organisasi penyelamat lingkungan, dan rutin mengumpulkan sampah yang bertebaran di pantai.

Segera, Ali merasa aksinya tak berdampak besar. Bersama pasangannya, Lucy Tabrizi, Ali mengepak kamera dan memulai perjalanan besar menelusuri akar masalah kerusakan ekosistem laut. Penelusuran itu membawa Ali ke Taiji di Jepang, Hong Kong, Kepulauan Faroe, hingga Liberia dan Thailand. Mula perjalanan ini terasa tak fokus karena Ali belum memetakan apa sebenarnya permasalahan utama di lautan. Kemudian, setelah satu temuan membawanya ke temuan lain, film ini mulai mengerucutkan fokus dan menggali persoalan lebih dalam. Ali banyak bermonolog menyuarakan pertanyaan personal atas kejanggalan-kejanggalan yang dia temui. Dia juga menunjukkan bagaimana dia menyambung benang merah antar-temuannya lewat teknik follow the money.

Penjualan sirip hiu dalam Seaspiracy. Netflix

Film ini memaparkan data dan penelitian yang membuktikan betapa signifikannya kehidupan laut bagi kelangsungan manusia dengan analogi yang mudah dicerna. Misalnya, bagaimana paus menghasilkan phytoplankton yang berperan dalam menyerap polusi karbon dunia. Ali juga berusaha menyusun daftar permasalahan yang mengancam keseimbangan ekosistem laut. Sebagian besar dihadirkan dengan gaya dramatis penuh musik menegangkan dan aksen warna merah. Beberapa temuan Ali bukan hal baru, meskipun juga bukan berarti permasalahannya sudah dapat diatasi. Misalnya, praktik perburuan lumba-lumba dan paus di pesisir Taiji di Jepang. Isu ini sudah diangkat dengan mendalam pada The Cove (2009) arahan Louie Psihoyos yang memenangi piala dokumenter panjang terbaik pada Academy Awards 2010.

Plastik, tentu saja, adalah permasalahan utama lautan. Namun Ali tak berhenti sampai di situ. Dia menampilkan data yang menunjukkan bahwa mayoritas sampah plastik di lautan berasal dari jaring penangkap ikan. Kampanye populer mengurangi konsumsi plastik, seperti mengganti sedotan dengan material stainless, disebut tak begitu berguna karena masalah terbesar ada pada praktik penangkapan ikan untuk konsumsi manusia. Dia juga mengangkat persoalan perburuan paus, overfishing, penggunaan cantrang, bycatch, budi daya produk laut yang belum tentu lestari, dan perbudakan kapal penangkap udang. Dengan kata lain, semuanya adalah problem industrialisasi perikanan. Pada titik ini, film kemudian makin menyudut pada suatu kesimpulan kontroversial: hentikan konsumsi ikan.

Solusi ini mengemuka karena film ini menutup berbagai jalan keluar dari industri makanan laut yang rakus. Upaya memberi label sustainable atau lestari atas produk perikanan di pasar oleh sejumlah lembaga nonpemerintah dipatahkan Ali dengan mengungkapkan bahwa prosedur pemberian sertifikat itu tak dapat diverifikasi. Ali mewawancarai sejumlah pihak lembaga swadaya masyarakat pemberi sertifikat dan memperlihatkan bagaimana mereka terbata-bata atau malah berputar-putar saat ditanyai mengenai mekanisme sertifikasi. Solusi lain berupa budi daya ikan yang terpusat di lokasi tertentu juga dinilai sia-sia karena pakan ikan ternak itu sendiri dibuat dari ikan laut lepas.

SEASPIRACY

Karena berbagai solusi itu problematis, dokumenter ini dengan yakin mengusulkan bahwa cara terbaik untuk menyelamatkan lautan dan semua isinya adalah dengan benar-benar berhenti memakan ikan. Argumen ini makin diperkuat oleh pernyataan narasumber ahli yang mendeklarasikan bahwa ikan lebih banyak mengandung zat berbahaya, seperti merkuri, dan tumbuhan sejenis ganggang adalah sumber Omega-3 yang jauh lebih tinggi. Sylvia Earle, salah satu ahli biologi kelautan yang angkat bicara dalam film ini, juga berupaya memancing empati dengan mengemukakan betapa ikan juga makhluk yang dapat merasakan sakit.

Usul ini begitu menyederhanakan persoalan. Kendati telah memaparkan dengan sangat rinci bahwa tata kelola industri perikananlah sumber masalahnya, film ini malah cenderung mengarahkan beban tanggung jawab pada individu, alih-alih korporasi dan negara yang tak mampu hadir di tengah lautan. Narasi ini juga mengabaikan bagaimana ikan adalah sumber protein utama, terutama bagi kelompok masyarakat paling rentan terhadap ancaman kelaparan.

Susan Herawati, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, mengatakan kejahatan perikanan dunia sudah terjadi selama ratusan tahun. Dia mengapresiasi dokumenter seperti Seaspiracy yang dapat memanfaatkan teknologi dan alat rekaman luar biasa untuk mendokumentasikan kejahatan itu. Namun Susan beranggapan solusi memutus rantai pangan di sektor kelautan dan perikanan kurang tepat. “Yang didorong harusnya tata kelola berkelanjutan. Ada tugas negara yang perlu didorong dan dimaksimalkan,” tutur Susan.

Susan juga mempersoalkan kecenderungan penggunaan perspektif khas negara Barat dan mengesampingkan praktik-praktik lokal yang telah menerapkan konservasi lautan jauh sebelum negara Barat membicarakannya. Indonesia memiliki banyak sekali kearifan lokal tentang tata kelola kelautan berkelanjutan, seperti tradisi sasi laut di Maluku dan Papua, kaombo di Sulawesi, atau awik-awik di Lombok. “Masyarakat sebenarnya sudah punya tradisi untuk mengambil sebanyak yang dibutuhkan. Industri perikanan yang bermasalah,” ujar Susan.

MOYANG KASIH
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Moyang Kasih Dewi Merdeka

Moyang Kasih Dewi Merdeka

Bergabung dengan Tempo pada 2014, ia mulai berfokus menulis ulasan seni dan sinema setahun kemudian. Lulusan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara ini pernah belajar tentang demokrasi dan pluralisme agama di Temple University, Philadelphia, pada 2013. Menerima beasiswa Chevening 2018 untuk belajar program master Social History of Art di University of Leeds, Inggris. Aktif di komunitas Indonesian Data Journalism Network.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus