Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Kembali Setelah Satu Abad

Warga Kotabaru, Kalimantan Selatan, menemukan burung yang kemudian diidentifikasi sebagai pelanduk kalimantan. Spesies ini tak diketahui jejaknya sejak diketahui pertama kali pada 1840-an.

10 April 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Burung Pelanduk kalimantan (Malacocincla perspicillata)./Muhammad Suranto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Warga Kotabaru Kalimantan Selatan menemukan burung langka yang kemudian diidentifikasi sebagai Pelanduk Kalimantan.

  • Penemuan pertama setelah lebih dari 170 tahun tak terdengar kabarnya.

  • Berharap pemerintah memasukkannya ke dalam daftar satwa yang dilindungi.

MUHAMMAD Suranto mengisi hari senggangnya dengan memikat—sebutan untuk kegiatan berburu burung. Warga Seronggga, Kecamatan Kelumpang Hilir, Kotabaru, Kalimantan Selatan, itu memikat sesekali di sela pekerjaannya, yang ia enggan sebutkan. Biasanya, ia mendapatkan burung cucak jenggot, cucak ranting, dan kolibri. Tapi, pada Senin, 5 Oktober 2020, dia memperoleh burung yang tak biasa. "Waktu itu belum terpikir burung apa. Saya pertama kali melihat burung seperti itu," katanya, Selasa, 6 April lalu, mengingat peristiwa enam bulan silam tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Burung yang ia dapatkan itu belakangan diidentifikasi sebagai pelanduk kalimantan, spesies yang hilang dari peredaran sejak pertama kali ditemukan ahli geologi dan naturalis Jerman, Carl A.L.M. Schwaner, pada 1840-an. Spesimen burung itu baru dideskripsikan oleh ahli ornitologi Prancis, Charles Lucien Bonaparte, pada 1850. Peneliti Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Tri Haryoko, mengkonfirmasi bahwa temuan itu adalah burung yang terakhir kali terdengar kabarnya lebih dari 170 tahun lalu tersebut. "Sejak dideskripsikan, tidak ada yang melaporkannya lagi," ucapnya, Jumat, 9 April lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tri yakin yang ditemukan Suranto itu pelanduk kalimantan (Malacocincla perspicillata). Ukurannya 15-16 sentimeter, memiliki mahkota berwarna cokelat yang dibatasi garis mata hitam lebar melintasi malar (tulang pipi) ke tengkuk dan leher. Bagian tubuh atasnya berwarna cokelat. Dadanya berkelir keabu-abuan dengan goresan halus putih dan ekornya pendek. "Ciri-ciri ini dikuatkan setelah dibandingkan dengan spesimen yang tersimpan di Naturalis Biodiversity Center, Leiden, Belanda," ujarnya.

Penemuan ini di luar perkiraan. Suranto mendapatkan burung itu saat memikat di daerah perbukitan Batulicin, Kabupaten Tanah Bumbu, sekitar 30 menit perjalanan dari rumahnya. Pada waktu itu, dia menemukan setidaknya ada dua burung yang belum pernah ia lihat. Dia menangkap salah satunya dengan cara menjaringnya. Suranto tidak tahu nama burung itu meski ada sejumlah kemiripan suara dan bentuk dengan pelanduk lain.

Burung Pelanduk kalimantan (Malacocincla perspicillata)./Muhammad Suranto


Berdasarkan data LIPI, Indonesia memiliki sepuluh jenis pelanduk. Di antaranya pelanduk dada putih (Trichastoma rostratum), pelanduk ekor pendek (Malacocincla malaccensis), pelanduk merah (Trichastoma pyrrogenys), pelanduk semak (Malacocincla sepiaria), pelanduk sulawesi (Trichastoma celebence), dan pelanduk topi hitam (Pellorneum capistratum). Penasaran ingin mengetahui nama burung itu, Suranto lantas menghubungi orang yang diketahuinya sebagai pedagang burung, Muhammad Rizky Fauzan, pada 7 Oktober 2020. Ia juga mengirimkan foto-foto burung tersebut melalui pesan WhatsApp.

Fauzan, yang tinggal di Samarinda, Kalimantan Timur, punya sejumlah koleksi burung. Meski lama menggeluti dunia burung, ia tidak bisa menjawab pertanyaan Suranto itu. "Saya mengira itu jenis burung baru," tuturnya saat dihubungi, Selasa, 6 April lalu. Tak bisa memberi jawaban yang memuaskan, Fauzan lantas bertanya kepada teman sekota yang dikenalnya sebagai pemerhati burung, Doddy Ferdiansyah. Doddy adalah perintis BW Galeatus, grup pemerhati burung di Facebook.

Doddy dan kawan-kawannya berbagi informasi dan berdiskusi tentang burung tersebut melalui laman Galeatus. Lulusan Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman itu juga banyak membaca literatur. Begitu melihat foto yang dikirim Fauzan, Doddy merasa seperti jatuh cinta. "Wah, jenis apa ini? Saya tidak pernah temui sebelumnya. Ini apa jenis baru?" katanya, Rabu, 7 April lalu, mengingat kesan pertamanya saat itu.

Tak yakin dengan apa yang dilihatnya, pada hari yang sama ia bertanya kepada pengelola BW Galeatus lain. Salah satunya Teguh Willy Nugroho, yang juga pejabat fungsional Pengendali Ekosistem Hutan di Balai Taman Nasional Sebangau, Palangka Raya, Kalimantan Tengah. "Kami waktu itu cenderung menilai burung ini jenis baru karena deskripsinya tidak ada yang sesuai dengan literatur yang kami kumpulkan," ujar Teguh, Rabu, 7 April lalu.

Untuk mendapatkan pandangan alternatif, Teguh menghubungi rekan sekampus di Universitas Negeri Yogyakarta yang ia ketahui aktif di klub pencinta burung, Panji Gusti Akbar. "Ini mirip dengan pelanduk kalimantan yang sering dikutip beberapa jurnal dan buku," ucap Panji, Kamis, 8 April lalu, mengulang jawabannya sewaktu ditanyai Teguh. Panji mengenali kesamaan ciri burung dengan deskripsi Charles Lucien Bonaparte. Penulis buku Atlas Burung Indonesia ini juga bertanya kepada lima pengamat burung lain. Semua mengkonfirmasi pendapatnya.

Pendapat Panji ini meyakinkan Suranto, Fauzan, Doddy, dan Teguh. Mereka pun sepakat mempublikasikan temuan tersebut lewat jurnal. Pada 10 Oktober 2020, mereka mulai mengumpulkan informasi detail. Suranto diminta mengukur burung dengan penggaris. Suranto memberi tahu bahwa dia tak punya penggaris. "Kami semua ketawa. Masak, tidak ada penggaris," tutur Doddy, mengingat obrolan mereka saat itu.

Tak hilang akal, mereka meminta Suranto mencari koin, tapi itu juga tidak bisa didapatkan. Suranto lantas memakai botol minuman soda sebagai perbandingan. Namun, karena perbandingan itu dianggap tak cukup memadai, mereka menggunakan uang kertas Rp 5.000. "Akhirnya diketahui panjang burung berkisar 16-17 sentimeter," kata Doddy. Suranto juga diminta memotret burung dengan berbagai pose. Dalam salah satu foto, terlihat burung itu seperti dijepit dengan keras. Saat ditanyai mengenai hal itu, Suranto mengatakan, "Saya jepit pakai tangan."

Setelah data fisik terkumpul, sempat terjadi diskusi dalam tim mengenai burung itu, apakah tetap dipelihara atau dilepas ke alam. Menurut Teguh, ada yang berpendapat burung tersebut sebaiknya tetap dipelihara karena khawatir itu adalah yang terakhir. Ada pula yang menyarankan burung dilepas. Suranto memilih opsi kedua. "Burung saya lepas karena saya sempat mau merantau dan khawatir tidak ada yang merawatnya," ucap Suranto.

Foto perbandingan Pelanduk Kalimantan pada tahun 1840-an (kiri) dan yang baru ditemukan Muhammad Suranto (kanan)/Tempo

Sebulan kemudian, materi untuk jurnal kelar dan dikirim ke Birding Asia. Setelah melalui sejumlah koreksi, tulisan tentang penemuan itu dimuat dalam edisi 34, Desember 2020. Penulisnya Suranto, Fauzan, Doddy, Teguh, Panji, Joko Said Trisiyanto, dan Ding Li Yong. Joko adalah kolega Doddy di BW Galeatus, sementara Ding Li Yong berasal dari BirdLife International di Singapura. Menurut Panji, banyak komentar yang mereka terima seusai penerbitan itu. “Banyak ucapan selamat dan sepakat bahwa itu pelanduk kalimantan. Ada juga yang mengatakan pernah melihat burung serupa di belakang rumahnya,” tutur Panji.

Doddy menyebut temuan pelanduk kalimantan ini sebagai kabar gembira dan buruk sekaligus. Temuan itu adalah pertanda bahwa populasi burung tersebut cukup banyak. Tapi penemuan ini juga mungkin menjadi sinyal adanya masalah. "Mungkin habitatnya dirusak manusia sehingga akhirnya burung itu ditemukan," dia menambahkan.

Teguh mengungkapkan, dalam sebuah webinar, 2 Maret lalu, Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indra Eksploitasia meminta diadakan kajian lebih lanjut mengenai habitat dan populasi burung langka ini. "Buat kajiannya, sebisa mungkin jadi tambahan untuk update agar burung itu dilindungi," ucap Teguh, menirukan pesan Indra.

Kebijakan tentang pelindungan satwa mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Kebijakan Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Peraturan ini memuat ketentuan bahwa satwa bisa masuk daftar dilindungi jika populasinya kecil, jumlahnya berkurang tajam di alam, serta memiliki daerah penyebaran yang terbatas (endemis). "Beberapa informasi dapat kita jadikan dasar rujukan untuk memasukkan burung pelanduk kalimantan sebagai spesies yang dilindungi," kata Indra Eksploitasia dalam siaran Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengenai temuan burung baru itu, Jumat, 2 April lalu.

Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.106 Tahun 2018 menyebutkan ada 904 jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi. Dalam daftar itu, pelanduk kalimantan tidak ada. Panji mengungkapkan, ia dan kawan-kawannya berencana membuat penelitian lanjutan. "Penelitian berikutnya ini diharapkan bisa membantu pemerintah mendapatkan data populasinya dan memberi rekomendasi perlunya burung ini dilindungi," ujarnya.

ABDUL MANAN
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus