Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Kontestasi Kementerian dan Masyarakat Ilmiah

Undang-Undang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi baru disahkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada 16 Juli lalu setelah dibahas lebih dari dua tahun untuk menggantikan undang-undang lama yang berlaku sejak 2002.

22 Juli 2019 | 07.30 WIB

Kontestasi Kementerian dan Masyarakat Ilmiah
Perbesar
Kontestasi Kementerian dan Masyarakat Ilmiah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poltak Partogi Nainggolan
Research professor di Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Undang-Undang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi baru disahkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada 16 Juli lalu setelah dibahas lebih dari dua tahun untuk menggantikan undang-undang lama yang berlaku sejak 2002. Dengan penambahan 20 pasal baru, dari 81 menjadi 101 pasal, undang-undang ini dapat merespons tantangan industri 4.0, tapi kelaikan implementasinya perlu diantisipasi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Untuk bisa diterapkan, undang-undang ini membutuhkan 23 peraturan pemerintah dan dua peraturan presiden. Padahal, sebuah undang-undang yang baik seharusnya sudah mengatur tuntas semuanya. Kalaupun dibutuhkan peraturan turunan, itu harus sangat minimal.

Dengan kata lain, undang-undang ini belum dapat mewujudkan iklim yang kondusif bagi sistem nasional ilmu dan teknologi. Kegiatan penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan, serta perekayasaan akan sulit mendorong industrialisasi dan meningkatkan ekspor nasional.

Apa masalah yang tertinggal dari pembahasan undang-undang ini? Hal yang terpenting adalah kontestasi kepentingan antara Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi atau dunia kampus dan dunia riset, yang muncul dari arogansi pemangku kepentingan, belum selesai. Masing-masing pihak ingin merekalah yang membuat kebijakan dan mengkoordinasi kegiatan penelitian dan lainnya.

Kementerian ingin menarik seluruh kegiatan riset di bawah kendalinya, termasuk pengangkatan profesor dan penilaian karya ilmiah mereka. Sebaliknya, para peneliti dan pelaku penelitian gerah melihat arogansi Kementerian yang tidak mendorong para dosen di kampus menghasilkan publikasi ilmiah yang produktif dan berkualifikasi global.

Selain itu, para peneliti merasa diperlakukan tidak adil karena kerja keras mereka tidak diimbangi dengan dukungan kesejahteraan dan pengakuan yang memadai. Profesor mereka secara rutin telah menghasilkan dan mempublikasikan karya-karya berskala global, tapi tanpa tunjangan untuk profesinya yang sudah di puncak itu.

Para peneliti dan profesor riset itu tersebar di banyak kementerian dan lembaga negara, termasuk instansi pembina Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dan secara hukum dikendalikan Kementerian. Namun, dengan kapasitas dan daya tawar optimal, mereka telah memakai tangan presiden untuk menghadapi Kementerian agar masing-masing institusi mereka, terutama riset, tidak dibubarkan dan disatukan di bawah Kementerian.

Kontestasi ini telah berlangsung beberapa bulan belakangan. Kementerian bersikap kurang terbuka dan komunikatif dengan rencana pengambilalihan kendali itu. Sementara itu, Presiden tidak ingin kehilangan muka jika mengabaikan nama-nama besar dalam dunia riset, khususnya di LIPI. Keputusan sepihak Kepala LIPI baru, yang memangkas batas usia pensiun peneliti madya, telah mengorbankan banyak peneliti serta meningkatkan kontestasi antara Kementerian dan peneliti.

Eskalasi ketegangan secara diam-diam juga terjadi dengan para perekayasa di Badan Penelitian dan Pengembangan Teknologi (BPPT), yang profesinya tidak diatur dalam undang-undang, seperti periset Badan Tenaga Nuklir Nasional dan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional. Jadi, tidak aneh jika peraturan pelaksanaan mengenai kelembagaan baru akan diatur dalam peraturan presiden, bukan peraturan pemerintah, yang masih memberikan ruang kepada Kementerian untuk memperlihatkan kewenangannya.

Ketidaktuntasan dalam menghadirkan dan mengatur sebuah kelembagaan baru yang mengkoordinasikan seluruh kegiatan penelitian dan lainnya dalam Pasal 48 undang-undang itu membuat peran Kementerian amat terbatas. Pasal itu tidak bisa mengendalikan dan mengintervensi seluruh kegiatan penelitian, apalagi dalam penyusunan rencana induk.

Dalam kontestasi antara Kementerian dan para peneliti, Presiden melindungi aspirasi pemangku kepentingan yang terakhir. Para peneliti telah sukses memanfaatkan lobi, lewat pintu belakang, kepada Presiden dan fraksi terbesar di parlemen.

Masalah lain yang juga rawan adalah keharusan izin bagi kegiatan penelitian asing dan kolaborasi dengan mereka. Pihak asing, yang memegang dana, akan menggunakan ini dalam negosiasi. Jika penyediaan dana abadi dan perwalian dari APBN dan swasta tidak tercapai, pemerintah sebagai pembina sekaligus pengawas harus siap menjatuhkan sanksi pidana denda sampai Rp 4 miliar jika terjadi pelanggaran.

Demikian pula dengan pembatasan kegiatan penelitian yang menggunakan bahan berbahaya dan berisiko serta di daerah konflik dan terbatas. Pelanggar dapat dihukum pidana kurungan sampai 7 tahun penjara, selain denda lebih tinggi, yakni Rp 7 miliar. Tidak mengherankan jika para peneliti sejak awal mengkritik keras aturan ini sebagai "kriminalisasi" terhadap pekerja ilmiah dan dunia penelitian.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus