Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Upaya Presiden Joko Widodo menggenjot pembangunan infrastruktur di negeri ini perlu dilakukan lebih cermat. Jangan sampai ambisi itu membuat badan usaha milik negara (BUMN) di bidang konstruksi megap-megap. Yang jelas, kondisi keuangan BUMN karya, yang selama ini menjadi ujung tombak pembangunan infrastruktur, kurang menggembirakan. Utang mereka kian membengkak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selama periode pertama pemerintahan Jokowi, perusahaan pelat merah seperti PT Hutama Karya, PT Waskita Karya, PT Adhi Karya, dan PT Wijaya Karya mesti banyak berutang untuk membiayai berbagai megaproyek yang digagas Presiden Jokowi. Meski kita tahu utang merupakan keniscayaan bagi perusahaan konstruksi, kemampuan BUMN untuk mencicil kembali pinjaman mereka kini menjadi pertanyaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Merujuk pada kajian S&P Global pada 2018, rasio utang terhadap laba sebelum bunga, pajak, depresiasi, dan amortisasi (EBITDA) pada 20 BUMN kita kian melambung. Dari semula hanya satu kali pada 2011, belakangan rasionya menjadi rata-rata 4,5 kali.
PT Waskita Karya, misalnya, membukukan utang hingga Rp 95,5 triliun pada 2018. Angka ini empat kali lipat nilai utang pada 2015. PT Waskita juga memiliki catatan utang paling tinggi dibanding enam perusahaan konstruksi milik negara lainnya. Besarnya utang BUMN karya memang sulit dihindarkan. Data S&P Global menyebutkan pemerintah hanya mendanai sebagian kecil dari investasi infrastruktur pada 2014-2019. Selebihnya, BUMN karya harus mencari pinjaman untuk modal kerja.
Membiayai proyek-proyek besar dengan mengandalkan utang sebetulnya hal lumrah. Selama BUMN membangun proyek infrastruktur dengan kalkulasi pengembalian modal yang jelas dan terukur, seperti jalan tol, potensi gagal bayar tak terlampau besar. Kalaupun kondisi arus kas perusahaan makin berat, BUMN karya bisa setiap saat menjual proyek-proyek jalan tol yang mereka bangun. Selama tak ada kongkalikong dalam menentukan pembeli, nasib mereka relatif aman.
Masalahnya, Presiden Jokowi kerap menugasi BUMN karya untuk membangun proyek infrastruktur yang hitung-hitungan bisnisnya tidak cermat. Sebut saja proyek pembangunan light rail transit (LRT) Jakarta, Bogor, Depok, dan Bekasi. Sampai sekarang, kalkulasi pendapatan proyek bernilai
Rp 25,7 triliun itu tidak jelas. Harga tiketnya masih dikaji dan potensi jumlah penumpangnya juga masih dibahas. Padahal proyek yang dikerjakan PT Adhi Karya itu sudah mencapai 63 persen dan bakal selesai pada 2020. Jika pemasukannya kelak tak jelas, pengembalian modal Adhi Karya juga ikut terancam.
Kondisi semacam itu seharusnya menjadi lampu kuning bagi pemerintah. Pemerintah harus lebih cermat dalam merencanakan proyek infrastruktur. Proyek-proyek mercusuar sebaiknya dihindari. Menteri Pekerjaan Umum perlu pula mencari strategi baru membangun infrastruktur yang tidak membahayakan masa depan BUMN karya. Pelibatan perusahaan swasta yang memenuhi syarat bisa menjadi alternatif.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo