Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Dalam lari ada persimpangan antara berhenti dan terus.
Pikiran yang akan menentukan apakah kita menyerah pada kelelahan.
Lari juga bisa menjadi meditasi: karena hanya ada aku, ruang, dan waktu.
YANG paling menyenangkan saat lari pagi, atau lari di waktu lain, adalah ketika tiba di persimpangan pikiran antara berhenti dan terus. Ada pertentangan yang tarik-menarik di antara dua kutub itu. Keduanya menyimpan konsekuensi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jika berhenti, lemak dan sejenisnya akan menang dan bersorak karena mereka tak terus disiksa dan dibakar. Jika terus, meski belum tentu lemak itu terbakar, yang pasti, tubuh akan kelelahan. Pada saya, biasanya, persimpangan itu muncul 15 menit setelah start.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Memikirkan dua pilihan itu acap kali memakan waktu 15 menit bahkan lebih. Ini waktu yang paling krusial. Jika berhasil melampauinya, saya akan lulus sampai finis. Sebab, setelah melewati “persimpangan” itu, tubuh jadi terasa lebih ringan dan selalu ingin menempuh jarak terjauh dari yang bisa kita capai. Saya selalu percaya rasa malas dan dorongan berhenti pada 15 menit pertama saat berlari berasal dari racun dalam tubuh kita. Mereka jadi setan yang mengirim sinyal menyerah ke dalam pikiran kita.
Racun itu bisa berasal dari mana saja: makanan dan minuman yang kita mangsa 12 jam sebelumnya, udara kotor yang kita hirup di jalanan berpolusi, atau pikiran buruk dari kerungsingan-kerungsingan yang datang dari mana-mana. Mereka adalah racun yang memberontak ketika kita hendak mengenyahkannya.
Maka satu-satunya jalan adalah melawan mereka sekuat tenaga. Jika kita menang, otot mungkin akan rontok. Pada 24 jam setelahnya, sendi akan ngilu. Dunia olahraga menyebutnya delayed onset muscle soreness (DOMS), keterkejutan otot yang mekar karena kontraksi yang tak biasa. Jika DOMS itu dilawan dengan gerak yang sama secara terus-menerus, ia akan mengubah kelelahan menjadi otot yang lebih kenyal.
Sama seperti ketika menambah jarak atau durasi dalam lari. Otot akan kelelahan setelahnya karena mendapat perlakuan tak biasa. Untuk menumbuhkannya lagi hanya perlu dibiasakan, lalu ditambah pelan-pelan. Saya selalu ingat cerita Cassius Clay. Ia ingin jadi anak yang kuat untuk bisa bertinju.
Di Amerika Serikat, ketika akar rasialisme belum enyah benar, naik ring pada 1950-an adalah prestise bagi anak kulit hitam. Maka ia berlari memakai sepatu bot setiap pagi. Setiap pagi pula ia menambah durasi dan beban di kakinya. Tanpa ia sadari larinya makin jauh, padahal berat sepatunya juga bertambah.
Ototnya bertambah kuat setiap kali ia menambah beban di sepatunya. Ketika bobot sepatunya bertambah dua kali lipat, kekuatan otot kakinya juga meningkat dua kali lipat. Dengan tinggi 193 sentimeter, tubuhnya menjadi ringan dan lentur. Ia kemudian jadi petinju dengan gaya menari paling terkenal di dunia, terutama setelah ia mengubah namanya menjadi Muhammad Ali.
Memenangi “persimpangan” dalam pikiran saat lari adalah kesenangan yang tak bisa dijabarkan, semacam ekstase yang hanya bisa dinikmati tanpa bisa dirumuskan. Otot kita memang lelah, tapi ia akan makin kuat tiap kali kita menggapai pencapaian-pencapaian baru, durasi atau jarak dan bobot yang baru. Sebab, otot akan lebih liat dan lentur setelahnya.
Saya tak ingat kapan mulai menyukai lari. Mungkin sejak kelas V sekolah dasar, sewaktu acap diajak teman-teman berlari setelah subuh pada Sabtu atau Minggu ke Maneungteung, bukit tempat pemancar radio yang 10 kilometer jaraknya dari kampung di bawah kaki Gunung Ciremai. Bukit ini tempat nongkrong anak-anak muda membawa pacar untuk sekadar melihat kampung dari ketinggian.
Umumnya mereka berjalan kaki karena masih jarang yang memiliki sepeda motor waktu itu. Banyak pula orang tua yang membawa anak-anak, juga tikar dan rantang berisi makanan. Mereka piknik di hari libur sekolah.
Jalan menanjak yang beraspal itu adalah arena menguji tungkai dan paru-paru, juga mental. Mencapai puncak tanpa kelelahan dan pingsan adalah medali setiap anak yang bisa menempuhnya. Semangat persaingan bercokol dalam pikiran dan kegembiraan.
Sekarang lari jadi semacam rutinitas dengan motif yang berbeda: sayang pada oksigen yang melimpah. Bagi siapa saja yang tinggal di Bogor, kerugian terbesar adalah bangun siang lalu kehilangan kesempatan menghirup oksigen yang melimpah di bawah suhu 23 derajat. Sebab, saya pernah tinggal di Jakarta dan berlari bersama asap knalpot yang menderu-deru pada pukul lima. Sungguh tak menyenangkan. Rasanya tak ada jam-jam udara bersih, bahkan di Senayan pada pukul empat sore dan enam pagi.
Lari pun jadi terasa genting. Tak ada titik “persimpangan” karena laju kaki bisa tiba-tiba dihentikan oleh sepeda motor yang berbelok tanpa menyalakan lampu sein, juga pengemudi mobil yang merasa terhalangi lalu membunyikan klakson yang tiba-tiba ada di dekat telinga kita.
Dalam keriuhan seperti itu, lari bukan prosesi untuk merenung dan mengolah raga, juga pikiran dalam “persimpangan-persimpangan yang menyenangkan”. Dalam keramaian seperti itu, lari bukan lagi sebagai meditasi, karena pikiran terus-menerus waspada pada apa yang ada di luar pancaindra. ●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo