26 Oktober 1930. Dari pusat penjara Naini, Jawaharlal Nehru
menulis surat pertama kepada Indira Gandhi, si priyadharsini
--sang biji mataku -- yang hari itu merayakan ulang tahunnya
yang ke-13. Surat pertama itu, yang mengisahkan turunnya musafir
Hiuen Tsang dari Tiongkok ke India, untuk mencari ilmu
pengetahuan dan akhirnya menjadi pengajar di Nalanda -- kemudian
dilanjutkan lagi dengan lebih dari seratus surat lainnya.
Semuanya berisikan pelajaran sejarah dunia, yang ditulis J.
Nehru bagi puterinya, disertai tentu saja dengan nasehat-nasehat
seperlunya. Sungguh sebuah gabungan yang elok dari pelajaran
sejarah, semangat seorang guru dan kasih sayang sang ayahanda.
Surat-surat itu dikumpulkan pada awal tahun 1934, ketika selama
beberapa waktu Jawaharlal Nehru dibebaskan dari tahanan untuk
segera diringkus kembali pada 12 Pebruari 1934. Pada tahun yang
sama, Vijaya Lakhsmi Pandit, adik J. Nehru, berhasil
menyelesaikan penerbitan naskah itu menjadi buku berukuran 1016
halaman, berjudul Lintasan Sejarah Dunia (terjemahan Indonesia
dikerjakan oleh Bahrum Rangkuti dalam 2 jilid, tebal 928
halaman, diterbitkan Balai Pustaka, 1966).
***
Menarik sekali bahwa surat-surat pertama dari koleksi tersebut,
selalu berusaha mengingatkan sang puteri, Indira Gandhi, kepada
semangat kakeknya, Bapuji Pandit Motilal Nehru. Indira
dilahirkan pada tahun 1917, tepat ketika Lenin mulai mengobarkan
revolusi di Rusia. Dapat difahami kalau J. Nehru memperingatkan
puterinya bahwa pada tahun itu juga, kakeknya tengah sibuk
mencari ilham bagi perjuangan India merdeka, dan menghasut
rakyat India agar memberikan "pengorbanan mahasuci".
Mengenang semua itu, segera terasa betapa dalamnya kontras
dengan masa kini, tatkala Indira Gandhi sebagai Perdana Menteri
India merdeka, demikian sigapnya menjeblos lawanlawan politiknya
ke dalam penjara: tempat dari mana telah datang begitu banyak
pelajaran pertama dalam hidupnya, dan tempat di mana "Bapuji
berbaring . . ., sementara pesona ilhamnya menyelinap masuk ke
dalam berjuta hati rakyat India". Apa hendak dikata?
***
Indira Gandhi mungkin hanyalah salah sebuah kasus dan contoh
terdekat dari dilemma yang dihadapi banyak pemimpin negara
berkembang dalam merumuskan demokrasi bagi bangsanya.
Demokrasi yang sampai kepada kita, kurang lebih, berupa
demokrasi menurut "formula Abraham Lincoln". Ketika kolonialisme
berangsur rontok, dan bangsa-bangsa baru muncul susul-menyusul,
tak terasa banyak kesulitan dalam mewujudkan suatu "pemerintahan
dari rakyat". Peralihan kekuasaan dari tangan orang kulit-putih
ke tangan orang hitam, sawo matang atau kuning, kiranya cukup
memberi gambaran "pemerintahan dari rakyat sendiri" sekarang
sungguh-sungguh terwujud, sebagai hal yang tak butuh banyak
waktu untuk dibereskan. Kata-kata emas dari Proklamasi
Kemerekaan kita, mungkin dapat menunjuk keyakinan seperti itu:
"... pemindahan kekuasaan dll., akan diselenggarakan... dalam
tempo yang sesingkat-singkatnya".
Langkah yang lebih sulit ialah mewujudkan suatu"pemerintahan
oleh rakyat". Di sini dibutuhkan adanya konstitusi, seperangkat
lembaga politik, aturan-permainan di DPR, beserta simbol,
upacara dan protokol, yang pada mulanya dipinjam saja dari
London, Washington atau The Hague. Tetapi ketika berhadapan
dengan tugas mewujudkan suatu "pemerintahan untuk rakyat",
keadaan segera menjadi lain. Rakyat ternyata membutuhkan dan
meminta makanan yang cukup, pakaian yang lebih baik, perumahan
yang layak, lapangan kerja yang semakin terbuka dan kesempatan
pendidikan yang lebih luas. Mendadak terasa baha untuk memenuhi
semua permintaan itu, sumber-sumber nasional haruslah
dimobilisir, perlu ada tertib sosial-politis yang mantap, yang
hanya mungkin tercipta kalau ada kekuasaan yang lebih terpusat.
Perbedaan faham cenderung dianggap mengganggu pembangunan
ekonomi dan karena itu dianjurkan -- atau lebih sering didesak
-- untuk diam. Padahal, seperti dikatakan Vijaya Lakhsmi Pandit,
yang bertekad menentang kemenakannya, Indira Gandhi, dalam
PEMILU India yang mendatang, "inti demokrasi adalah hak untuk
berbeda pendapat".
***
Pada titik ini pertentangan faham Indira dan Vijaya Lakhsmi
menjadi tipikal. Artinya, pertentangan itu bukanlah sekedar
pertentangan dua orang, tetapi justru pertentangan dua faham.
Yakni, antara konsentrasi kekuasaan pada lembaga eksekutif demi
efisiensi pembangunan ekonomi, dan di lain pihak hak demokrasi
rakyat untuk tidak kehilangan partisipasi lewat pendapatnya.
Masalah lanjutannya adalah: apakah demokrasi dibutuhkan dalam
pembangunan ekonomi?
Pertanyaan tersebut barangkali salah. Susunannya mungkin tak
seharusnya demikian. Sebab, pada mulanya pembangunan ekonomi
hanyalah suatu sarana demokrasi dalam mewujudkan "pemerintahan
untuk rakyat". Pemerintahan untuk rakyat tanpa pembangunan
ekonomi, lebih mirip permainan bibir belaka.
Namun, dalam artian demokrasi, pembangunan ekonomi untuk rakyat
adalah juga pembangunan ekonomi dari rakyat, dan pembangunan
ekonomi oleh rakyat. Bukan hanya karena rakyatlah yang
mengetahui apa persis keperluannya, tetapi karena mengatur
dirinya sendiri adalah justru esensi haknya. Pada titik inilah
akan timbul perbedaan pendapat yang dapat mendatangkan kesulitan
bagi perencana pembangunan. Dalam jangka pendek dan untuk
kepentingan jarak-dekat mungkin perbedaan pendapat lebih baik
agak ditahan. Tetapi dengan itu juga partisipasi bisa menjadi
bungkam. Dibungkamnya partisipasi pada gilirannya akan
mengakibatkan dua kerugian. Pertama, pembangunan ekonomi
kehilangan pendukung utamanya (pembangunan, kalau bukan oleh
rakyat, maka oleh siapa?). Kedua, lambat laun rakyat merasa
haknya dilanggar (mereka ternyata tak berwewenang mengurus
dirinya sendiri).
***
Mungkin keadaannya setali tiga uang dengan dilemma seorang guru
sekolah. Sebuah kelas yang tenang dan tertib, yang
murid-muridnya tak rewel bertanya atau mendebat, terang lebih
mudah bagi sang guru. Dia akan mudah berkonsentrasi pada susunan
pelajarannya dan menyajikannya dengan lancar. Sebaliknya, kelas
yang bungkam tak pernah memberi petunjuk tentang
sampai-tak-sampainya pelajaran guru, atau faham-tak-fahamnya
murid-murid. Hal ini hanya mungkin bila murid-murid
diperbolehkan mengemukakan pendapat atau mengajukan
pertanyaan-pertanyaan, yang terang akan mempersulit gurunya
dalam berkonsentrasi, tetapi akan bermanfaat bagi kemajuan
seluruh kelas.
Kembali ke politik India, maka Indira Gandhi mungkin hendak
menjadi guru kelas yang efisien dan penuh konsentrasi. Tetapi
Vijaya Lakhsmi yang tua renta, menginginkan India sebagai kelas
yang hidup dan kreatif betapa pun sulitnya. Pilihannya jelas:
demokrasi tak halal dibungkam, Indira Gandhi tak perlu disokong.
***
Sebenarnya kekhawatiran yang berlebihan tentang risiko perbedaan
pendapat, sama artinya dengan meragukan kemampuan rakyat untuk
mengatur dirinya sendiri. Keraguan itu sudah kadaluwarsa,
setelah tamatnya riwayat imperialisme dan kolonialisme.
Jawaharlal Nehru seperti meramalkan nasib anaknya puluhan tahun
mendatang, ketika dia dari balik terali penjara yang sepi,
mewasiatkan nasehatnya di tahun 1931: "Rakyat tentu akan berbeda
satu sama lain, tetapi mereka sebenarnya sama saja dalam garis
besarnya. Kenyataan ini hendaklah diperhatikan agar janganlah
kita tertipu oleh warna-warni di atas peta".
1977. Lintasan sejarah itu seperti sampai ke saatnya. Bibi yang
baik hati kembali keras dengan peringatan abangnya: warna-warni
itu memang hanya di atas peta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini