"Bagaimana kita dapat melayani rakyat apabila udara yang mereka
hirup kita biarkan dicemari oleh industri?"
TANYA lelaki tua ubanan itu, Wang Hsing, wakil ketua Organisasi
Pengawas Pembangunan Kotamadya Nanking. Itulah petikan dari bab
tentang 'kelestarian lingkungan' di Tiongkok, seperti
dilaporkan oleh Wilfred Burchett dan Rewi Alley dalam buku
mereka yang terbit bulan lalu.
Di Tiongkok, falsafah dasar penanggulangan polusi industri rada
berbeda dari pada yang dikenal di dunia Barat. Seperti
dikemukakan seorang pemimpin Komite Revolusioner Pabrik Elektro
Kimia Shanghai, Seng Sui-chun: "Apa yang di barat disebut
'tindakan antipolusi', kami namakan 'pemanfaatan ketiga jenis
sampah industri secara serba-guna'. Bahaya pencemaran alam
karena industri harus kami perangi, agar dapat melayani rakyat
dengan lebih baik. Dan dengan cara sedemikian rupa, sehingga
upaya itu sendiri menguntungkan rakyat".
Contohnya seperti pengalaman para pekerja pabrik tempat Sui-chun
sendiri bekerja.
Tadinya belum ada peraturan kelestarian lingkungan di situ.
Tahu-tahu, ikan-ikan di kali tempat pembuangan air kotoran
pabrik kedapatan mati mengambang, dan petani tidak dapat lagi
memanfaatkannya untuk irigasi. Di bagian lain, udara di sekitar
pabrik dicemari oleh asap buangan pabrik sehingga orang-orang di
dalam dan di luar pabrik semuanya harus mengenakan topeng
pengaman. Komite Revolusioner pabrik lantas mengirim
sejumlah pekerja meneliti akibat kehadiran pabrik itu terhadap
daerah pertanian sekitarnya. Mereka pulang dengan terkejut
sekali setelah menyaksikan betapa air buangan pabrik "merusak
tanaman dan ikatan solidaritas antara buruh dan tani", tutur
Suichun.
Para pekerja pun mulai berdiskusi dan menyusun program aksi.
Sehabis tiga bulan kerja lembur dan memasang peralatan berharga
10 ribu yuan, problim polusi itu 85% terpecahkan. Mulai dengan
pengolahan kembali ampas padat yang disulap menjadi 20 ton
kalsium-sulfat sehari. Barang itu setelah dicampur dengan ampas
pabrik baja di dekat situ menghasilkan 200 ton semen. Sedang
dari pengolahan kembali gas huangan di baBian petro-chloride
diperoleh 30 ton zat kimia sebulan yang bermanfaat bagi
pemurnian aluminium.
Proses penanggulangan polusi udara itu memang mahal sekali
sehingga pabrik rugi 2500 yuan per ton. Namun para pekerja lega
bahwa bau busuk itu sudah lenyap dari pabrik, dan orang-orang
tidak perlu memakai topeng gas lagi. Polutan cair juga mendapat
giliran. Setelah pengolahan pendahuluan, ampas cair itu
dialirkan melalui pipa ke pabrik kimia yang juga dekat. Di situ
air kotor itu dimurnikan supaya asam-asam yang berbahaya tidak
mengalir ke saluran-saluran irigasi.
Air bekas buangan pabrik itu yang sudah bersih kemudian bermuara
di kolam dekat pabrik. Di sana ikan-ikan koki berenang dengan
aman, dan itik-itik putih gemuk berleha-leha - untuk akhirnya
mendarat di meja makan salah satu restoran daging itik terkenal
di Peking.
Chao Li, seorang rekan Sui-chun yang juga anggota Komite
Revolusioner, bangga bahwa seluruh peralatan penjernih air
buangan itu biayanya hanya 1% dari seluruh investasi pabrik.
"Kalau perlu, persentase itu bersedia karni naikkan, kalau
memang perlu untuk memberantas pencemaran lingkungan secara
total", katanya dengan semangat berapi-api. Juga Seng Sui-chun
dan rekan-rekannya yang lain belum puas sebelum pemberantasan
polusi sampai 1000 dapat tercapai.
Polisi Polusi
Pemberantasan polusi di kota Shanghai memang penting, mengingat
kota industri terbesar di Tiongkok itu juga kota terpadat
manusia di dunia. Namun Nanking, yang juga kota industri penting
di Tiongkok, tidak mau kalah. Di sana organisasi yang dipimpin
Wang Hsing bertugas sebagai "polisi polusi" terhadap setiap
pabrik. Baik yang baru mau didirikan, mau pun yang sudah lama
berjalan.
Tadinya di sana ada dua pabrik semen yang mengeluarkan debu luar
biasa banyaknya. Keduanya disuruh memasang penyaring debu, yang
kini malah menelorkan keuntungan tambahan bagi kedua pabrik itu
karena menangkap kembali 3 - 4 ton bahan mentah sehari yang
tadinya lolos ke udara.
Kemudian ada sebuah pabrik serat sintetis baru yang menggunakan
peralatan anti-polusi yang paling mutakhir di Tiongkok.
"Pokoknya", kata lelaki tua pengawas polusi itu "kami tidak
mengadakan pembedaan antara pabrik milik Negara atau milik
Kotamadya Nanking. Pengawasan terhadap pencemaran lingkungan ini
kami jalankan terus-menerus. Jadi tidak menunggu ada kasus. Di
samping itu, pengawasan tahap pertama dilakukan oleh pekerja
pabrik itu sendiri". Misalnya di pabrik Petro Kimia Nanking,
yang baru saja memasang instalasi penyaring air buangan pabrik
yang mahal sekali.
Untungnya zat-zat kimia yang disadap dari gas buangan pabrik
itu dapat menutup biaya investasi itu. Sehingga baik petani yang
hidup dari saluran irigasi di dekat pabrik, mau pun para pekerja
yang hidup dari hasil pabriknya tidak dirugikan.
Tentu saja, seperti, ditulis Burchett dan Alley dalam bukunya
tentang 25 tahun kemajuan Tiongkok itu, "belum semua cerobong
asap disaring debunya". Kota-kota industri yang baru tumbuh
seperti Thangshan yang baru saja dilanda gempa bumi mau pun
Chiaotso di propinsi Honan, masih bergulat dengan pencemaran
lingkungan oleh pabrik-pabrik barunya. Namun semangat "mengabdi
rakyat dengan memelihara kelestarian lingkungan" tampaknya sudah
dikumandangkan ke seluruh negara. Selama kedua pengamat Cina itu
berada di sana, halaman-halaman koran setiap kali bercerita
tentang sukses pabrik ini dan itu "memanfaatkan tiga jenis
sampah industri secara serba guna".
Yang menjadi pertanyaan kemudian: akankah keadaan seperti itu
bisa berlangsung terus, bila kemakmuran makin dikejar?
Pabrik-pabrik mungkin akan bertambah - beitu juga mobil akan
menggantikan sepeda yang bersih dan sehat. Tapi mungkin harapan
kelestarian lingkungan di RRT terletak dalam luasnya negeri,
yang seolah tanpa batas itu.
*) Wilfred Burchett & Rewi Alley, 'China: Een ander bestaan
ooggetuigeverslag van 25 jaar vooruitgang', penerbit Het
Progresieve Boek, Rotterdam, Nederland, 1976.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini