Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Dari Ampas Pabrik Ke Itik Peking

Penanggulangan polusi industri di Tiongkok lebih ditekankan pada cara pemanfaatan sampah industri menjadi bahan serba guna. Misalnya: pengolahan ampas menjadi kalsium-sulfat, zat kimia, dll.

5 Maret 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Bagaimana kita dapat melayani rakyat apabila udara yang mereka hirup kita biarkan dicemari oleh industri?" TANYA lelaki tua ubanan itu, Wang Hsing, wakil ketua Organisasi Pengawas Pembangunan Kotamadya Nanking. Itulah petikan dari bab tentang 'kelestarian lingkungan' di Tiongkok, seperti dilaporkan oleh Wilfred Burchett dan Rewi Alley dalam buku mereka yang terbit bulan lalu. Di Tiongkok, falsafah dasar penanggulangan polusi industri rada berbeda dari pada yang dikenal di dunia Barat. Seperti dikemukakan seorang pemimpin Komite Revolusioner Pabrik Elektro Kimia Shanghai, Seng Sui-chun: "Apa yang di barat disebut 'tindakan antipolusi', kami namakan 'pemanfaatan ketiga jenis sampah industri secara serba-guna'. Bahaya pencemaran alam karena industri harus kami perangi, agar dapat melayani rakyat dengan lebih baik. Dan dengan cara sedemikian rupa, sehingga upaya itu sendiri menguntungkan rakyat". Contohnya seperti pengalaman para pekerja pabrik tempat Sui-chun sendiri bekerja. Tadinya belum ada peraturan kelestarian lingkungan di situ. Tahu-tahu, ikan-ikan di kali tempat pembuangan air kotoran pabrik kedapatan mati mengambang, dan petani tidak dapat lagi memanfaatkannya untuk irigasi. Di bagian lain, udara di sekitar pabrik dicemari oleh asap buangan pabrik sehingga orang-orang di dalam dan di luar pabrik semuanya harus mengenakan topeng pengaman. Komite Revolusioner pabrik lantas mengirim sejumlah pekerja meneliti akibat kehadiran pabrik itu terhadap daerah pertanian sekitarnya. Mereka pulang dengan terkejut sekali setelah menyaksikan betapa air buangan pabrik "merusak tanaman dan ikatan solidaritas antara buruh dan tani", tutur Suichun. Para pekerja pun mulai berdiskusi dan menyusun program aksi. Sehabis tiga bulan kerja lembur dan memasang peralatan berharga 10 ribu yuan, problim polusi itu 85% terpecahkan. Mulai dengan pengolahan kembali ampas padat yang disulap menjadi 20 ton kalsium-sulfat sehari. Barang itu setelah dicampur dengan ampas pabrik baja di dekat situ menghasilkan 200 ton semen. Sedang dari pengolahan kembali gas huangan di baBian petro-chloride diperoleh 30 ton zat kimia sebulan yang bermanfaat bagi pemurnian aluminium. Proses penanggulangan polusi udara itu memang mahal sekali sehingga pabrik rugi 2500 yuan per ton. Namun para pekerja lega bahwa bau busuk itu sudah lenyap dari pabrik, dan orang-orang tidak perlu memakai topeng gas lagi. Polutan cair juga mendapat giliran. Setelah pengolahan pendahuluan, ampas cair itu dialirkan melalui pipa ke pabrik kimia yang juga dekat. Di situ air kotor itu dimurnikan supaya asam-asam yang berbahaya tidak mengalir ke saluran-saluran irigasi. Air bekas buangan pabrik itu yang sudah bersih kemudian bermuara di kolam dekat pabrik. Di sana ikan-ikan koki berenang dengan aman, dan itik-itik putih gemuk berleha-leha - untuk akhirnya mendarat di meja makan salah satu restoran daging itik terkenal di Peking. Chao Li, seorang rekan Sui-chun yang juga anggota Komite Revolusioner, bangga bahwa seluruh peralatan penjernih air buangan itu biayanya hanya 1% dari seluruh investasi pabrik. "Kalau perlu, persentase itu bersedia karni naikkan, kalau memang perlu untuk memberantas pencemaran lingkungan secara total", katanya dengan semangat berapi-api. Juga Seng Sui-chun dan rekan-rekannya yang lain belum puas sebelum pemberantasan polusi sampai 1000 dapat tercapai. Polisi Polusi Pemberantasan polusi di kota Shanghai memang penting, mengingat kota industri terbesar di Tiongkok itu juga kota terpadat manusia di dunia. Namun Nanking, yang juga kota industri penting di Tiongkok, tidak mau kalah. Di sana organisasi yang dipimpin Wang Hsing bertugas sebagai "polisi polusi" terhadap setiap pabrik. Baik yang baru mau didirikan, mau pun yang sudah lama berjalan. Tadinya di sana ada dua pabrik semen yang mengeluarkan debu luar biasa banyaknya. Keduanya disuruh memasang penyaring debu, yang kini malah menelorkan keuntungan tambahan bagi kedua pabrik itu karena menangkap kembali 3 - 4 ton bahan mentah sehari yang tadinya lolos ke udara. Kemudian ada sebuah pabrik serat sintetis baru yang menggunakan peralatan anti-polusi yang paling mutakhir di Tiongkok. "Pokoknya", kata lelaki tua pengawas polusi itu "kami tidak mengadakan pembedaan antara pabrik milik Negara atau milik Kotamadya Nanking. Pengawasan terhadap pencemaran lingkungan ini kami jalankan terus-menerus. Jadi tidak menunggu ada kasus. Di samping itu, pengawasan tahap pertama dilakukan oleh pekerja pabrik itu sendiri". Misalnya di pabrik Petro Kimia Nanking, yang baru saja memasang instalasi penyaring air buangan pabrik yang mahal sekali. Untungnya zat-zat kimia yang disadap dari gas buangan pabrik itu dapat menutup biaya investasi itu. Sehingga baik petani yang hidup dari saluran irigasi di dekat pabrik, mau pun para pekerja yang hidup dari hasil pabriknya tidak dirugikan. Tentu saja, seperti, ditulis Burchett dan Alley dalam bukunya tentang 25 tahun kemajuan Tiongkok itu, "belum semua cerobong asap disaring debunya". Kota-kota industri yang baru tumbuh seperti Thangshan yang baru saja dilanda gempa bumi mau pun Chiaotso di propinsi Honan, masih bergulat dengan pencemaran lingkungan oleh pabrik-pabrik barunya. Namun semangat "mengabdi rakyat dengan memelihara kelestarian lingkungan" tampaknya sudah dikumandangkan ke seluruh negara. Selama kedua pengamat Cina itu berada di sana, halaman-halaman koran setiap kali bercerita tentang sukses pabrik ini dan itu "memanfaatkan tiga jenis sampah industri secara serba guna". Yang menjadi pertanyaan kemudian: akankah keadaan seperti itu bisa berlangsung terus, bila kemakmuran makin dikejar? Pabrik-pabrik mungkin akan bertambah - beitu juga mobil akan menggantikan sepeda yang bersih dan sehat. Tapi mungkin harapan kelestarian lingkungan di RRT terletak dalam luasnya negeri, yang seolah tanpa batas itu. *) Wilfred Burchett & Rewi Alley, 'China: Een ander bestaan ooggetuigeverslag van 25 jaar vooruitgang', penerbit Het Progresieve Boek, Rotterdam, Nederland, 1976.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus