Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Selama Presiden Joko Widodo memimpin Indonesia, sumbangan energi terbarukan pada bauran energi hanya naik 6,4 persen.
Lompatan PLTS terapung di Waduk Cirata ini harus ditularkan ke daerah-daerah lain, dengan menggaet investor asing atau investor regional dan domestik.
Agar peran energi bersih lekas signifikan dalam menggantikan energi fosil, inovasi harus terus-menerus digalakkan.
Moh. Samsul Arifin
Pemerhati Energi Bersih
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perjuangan umat manusia menghindari bencana iklim terangkum dalam kalimat ringkas yang dikatakan Bill Gates berikut: "dari 51 miliar ke nol." Tatkala Gates menulis buku How to Avoid a Climate Disaster pada 2021, secara global, negara-negara di dunia ini melepaskan emisi gas rumah kaca sebesar 51 miliar ton ke atmosfer.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Akibat tingginya emisi tadi, tidak bisa tidak, negara-negara di bawah kolong langit yang tidak biru lagi ini diwajibkan menurunkan emisi gas rumah kaca sampai ke titik nol. Tantangan itu semakin besar. Sebab, pada 2023, Komisi Eropa mencatat volume emisi gas rumah kaca mencapai rekor tertinggi baru, yaitu 53,79 miliar ton setara dengan karbon dioksida (CO2 ekuivalen).
Untuk mencapai titik nol, titik-titik krusial telah ditetapkan, yaitu 2050 untuk negara-negara maju dan tahun-tahun setelahnya bagi negara berkembang dan miskin. Indonesia memutuskan 2060 sebagai target untuk mencapai net zero emission. Aksi menuju nol emisi karbon tersebut dipengaruhi bagaimana dunia mencapai target emisi pada 2030. Uni Eropa punya proyek menurunkan emisi sebesar 55 persen pada 2030.
Di Indonesia sendiri, dalam siaran pers pada 19 Januari lalu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mengklaim cerita sukses penurunan emisi gas rumah sebesar 127,67 juta ton CO2 ekuivalen atau 109,64 persen di atas target. Klaim ini memompa kepercayaan diri pemerintah sehingga menaikkan target penurunan gas rumah kaca pada 2030 menjadi 31,89 persen dengan kemampuan sendiri dan 43,20 persen dengan dukungan internasional.
Bolehlah kita sedikit menepuk dada. Sebab, dua tahun lalu (2022), emisi gas rumah kaca Indonesia sempat menyentuh 1,24 gigaton atau 1,24 miliar ton. Jumlah ini melonjak 10 persen dibanding tahun sebelumnya dan berkontribusi 2,3 persen terhadap total emisi gas rumah kaca global pada 2022.
Namun, dalam urusan bauran energi, Indonesia tak bisa dibilang telah bergerak cepat. Pada 2023, sumbangan energi baru terbarukan terhadap bauran energi mentok di angka 13,1 persen atau naik 0,8 persen dibanding 2022. Energi berbasis fosil masih dominan, dengan kontribusi batu bara sebesar 40,46 persen, lalu minyak bumi (30,18 persen) serta gas bumi (16,28 persen).
Jika menoleh ke 2016, tahun pertama setelah Perjanjian Paris 2015, sumbangan energi terbarukan terhadap bauran energi di negeri kita waktu itu baru 7,7 persen. Artinya, selama Presiden Joko Widodo memimpin Indonesia, sumbangan energi terbarukan pada bauran energi hanya naik 6,4 persen (2014-2023). Rapor itu menegaskan bahwa perjalanan Indonesia menuju energi bersih sangat terjal.
Potensi Mengerek Bauran Energi Bersih
Dengan fakta di atas, bagaimana membaca diresmikannya pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) terapung di Waduk Cirata, Purwakarta, Jawa Barat? Pertama, PLTS di waduk itu membuka mata kepada kita bahwa bangsa ini mampu melompat lebih cepat ke energi terbarukan jika memiliki hasrat, keinginan, rute, serta skala prioritas yang tepat. Memakan investasi Rp 1,7 triliun, PLTS ini punya kapasitas listrik sampai 192 MWp (megawatt peak).
Kapasitas listrik di Waduk Cirata dapat ditingkatkan lagi menjadi 500 MWp. Jika naik 2,5 kali lipat dari kapasitas sekarang, potensi rumah tangga yang dapat diterangi listrik surya dari Cirata terdongkrak menjadi 125 ribu rumah tangga. Lompatan PLTS terapung Cirata ini harus ditularkan ke daerah-daerah lain, dengan menggaet investor asing maupun investor regional dan domestik.
Kedua, negeri ini punya 27 lokasi badan air (waduk dan bendungan), yang notabene memiliki pembangkit listrik tenaga air (PLTA), yang dapat dikembangkan menjadi lokasi PLTS terapung. Bahkan Institute for Essential Service Reform (IESR) mencatat potensi badan air yang dapat dikembangkan mencapai 783 lokasi. Ini setara dengan 28,4 gigawatt. Berbeda dengan negara-negara di kawasan Skandinavia atau Eropa Utara dan Eropa Barat, misalnya, negeri kita diberkahi sinar matahari yang berlimpah sepanjang tahun. Tak mengherankan jika total potensi energi surya di Tanah Air setara dengan 3.295 gigawatt.
Ketiga, kabar baiknya lagi, regulasi pemanfaatan bendungan dan waduk sebagai lokasi PLTS terapung mendukung akselerasi PLTS terapung. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 7 Tahun 2023 memungkinkan penggunaan seperlima (20 persen) badan air bendungan atau waduk untuk PLTS terapung.
Keempat, Kementerian ESDM menyatakan harga listrik PLTS Cirata telah masuk skala keekonomian. Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Dadan Kusdiana menyebutkan harga listrik PLTS Cirata sebesar US$ 5,8 sen per kilowatt jam (kWh). Dengan kurs US$ 1 setara dengan Rp 15.500, berarti harga listrik Cirata sebesar Rp 899 per kWh.
Bandingkan dengan harga listrik dari pembangkit yang berbahan bakar batu bara. Untuk mendapatkan listrik sebesar 1 kWh itu harus memasukkan input 0,7-0,8 kilogram batu bara. Dengan harga batu bara acuan sebesar US$ 130 per ton, dan kurs Rp 15.500 per dolar Amerika Serikat, berarti harga listrik 1 kWh dari pembangkit yang bersumber dari batu bara setara dengan Rp 1.410,5-1.612. Artinya, harga listrik PLTS terapung Cirata jauh lebih murah. Menakjubkan!
Sebagai pembanding, dan agar tidak kelewat generalisasi, kita cermati data harga listrik yang dirilis PT PLN (Persero) pada 2022. Saat itu harga listrik dari pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) sebesar Rp 737,52 per kWh. Adapun harga listrik dari PLTS sebesar Rp 1.034,52; pembangkit listrik tenaga air (PLTA) Rp 373,22 per kWh; serta pembangkit listrik tenaga gas dan uap (PLTGU) sebesar Rp 143,97 per kWh. PLTGU memang menghasilkan listrik yang jauh lebih murah, tapi masih menggunakan bahan bakar fosil, seperti gas bumi terkompresi atau solar industri.
Harga Premium untuk Energi Bersih
Kita menggunakan data PLN (2022) untuk melihat selisih harga antara listrik dari energi kotor (batu bara) dan listrik dari energi bersih (bersumber dari energi matahari). Selisih harganya sebesar Rp 297 per kWh. Sudah dapat diterka jika biaya pembangkitan listrik tenaga surya lebih tinggi dibanding listrik dari PLTU. Inilah harga yang harus dibayar konsumen listrik untuk mendapatkan energi bersih atau hijau. Suatu istilah yang disebut Bill Gates sebagai energi “premium hijau”.
Di Amerika Serikat, kata Gates, ada 13 negara bagian dengan perusahaan listriknya menawarkan kepada rumah tangga dan bisnis untuk membayar lebih tinggi agar mendapat pasokan listrik dari sumber bersih. Konsumen dalam program itu rela membayar tarif premium di tagihan listik mereka untuk menutupi tambahan biaya energi terbarukan. Rata-rata biaya tambahannya sebesar 2 sen per kWh atau US$ 9-18 per bulan per rumah tangga.
Pekerjaan terbesar menuju nol emisi atau net zero emission adalah menurunkan “premium hijau” tadi. Menurut Gates, ini adalah satu-satunya cara untuk mempermudah negara berpendapatan menengah dan rendah mengurangi emisi dan akhirnya mencapai nol. Dan itu hanya terjadi jika negara-negara kaya—terutama Amerika Serikat, Jepang, dan negara-negara Eropa—memberi teladan.
Menurunkan premium hijau bukan derma. Negara-negara seperti Amerika Serikat, Gates melanjutkan, seharusnya tidak memandang investasi penelitian dan pengembangan energi bersih sebagai hanya perbuatan baik untuk dunia. Seyogianya investasi itu juga dilihat sebagai kesempatan membuat terobosan saintifik yang akan melahirkan industri baru, menciptakan lapangan kerja, dan mengurangi emisi pada waktu yang sama (How to Avoid a Climate Disaster, hal. 220).
Menurut saya, sebaiknya hal itu tidak disebut sebagai kebaikan hati. Hal itu adalah harga yang wajib dibayar negara-negara maju dan kaya yang dalam rentang waktu sejak revolusi industri sampai sekarang telah mengeruk, mengeksploitasi, serta menggunakan bahan bakar fosil secara masif dan tanpa jeda. Industrialisasi oleh negara-negara industri bertanggung jawab atas meningkatnya emisi gas rumah kaca di atmosfer serta pemanasan global yang dirasakan tak hanya negara kaya dan maju, tapi juga negeri-negeri miskin di Afrika.
Agar peran energi bersih lekas signifikan dalam menggantikan energi fosil, inovasi harus terus-menerus digalakkan. Dalam hal ini, jika mengikuti “hukum Gates”, biaya riset untuk menghasilkan inovasi menyangkut teknologi yang berkaitan dengan energi bersih harus naik lima kali lipat. Negara maju dan kaya yang dapat memimpin perlombaan menghasilkan inovasi.
Ketika pasokan inovasi deras dan permintaan atas inovasi tadi tumbuh dengan cepat, investasi bakal lebih kencang masuk di sektor energi terbarukan. Bagi kita, cerita sukses di Cirata seyogianya memaksa pemerintah untuk lebih cepat membangun PLTS terapung lainnya secara masif. Tak perlu menunggu 2030 seperti target awal. Pemerintahan hasil Pemilu 2024 lebih baik mempercepatnya. Meminjam ucapan Jusuf Kalla: Lebih cepat, lebih baik.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
PENGUMUMAN
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan nomor kontak dan CV ringkas.