Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RENCANA Presiden Joko Widodo merombak kabinet dalam waktu dekat ini merupakan pilihan paling masuk akal. Soalnya, seperti ditunjukkan beberapa hasil survei, sebagian besar masyarakat tidak puas terhadap kinerja Jokowi dan Jusuf Kalla. Yang memprihatinkan, banyak orang melihat penegakan hukum dan ekonomi—dua bidang yang langsung berdampak pada kehidupan banyak orang—justru merupakan bidang yang paling buruk performanya.
Jokowi sejak awal memerintahkan para menteri tunduk pada visi dan misi Presiden—tanpa perlu memiliki visi dan misi sendiri. Perintah itu bisa diterjemahkan sebagai harapan Presiden agar para pembantunya memberikan loyalitas penuh. Anggota kabinet di mata Presiden merupakan perpanjangan tangannya atawa pelaksana teknis kebijakan. Melalui perintah itu, Presiden juga ingin menegaskan pentingnya integrasi dalam pengelolaan pemerintah.
Delapan bulan berlalu sejak perintah tersebut dilontarkan, cita-cita Presiden itu tampaknya jauh panggang dari api. Setidaknya ada tiga penyebab. Pertama, sejumlah menteri ternyata tidak memiliki kapasitas memadai. Wrong man in the wrong place: beberapa menteri bahkan memiliki latar belakang keahlian yang tidak cocok dengan tugas dan tanggung jawabnya.
Kedua, beberapa menteri memiliki kecakapan yang cukup untuk menjalankan tugas, tapi tidak selalu tunduk pada garis kebijakan Presiden karena merasa punya beking politik. Dalam beberapa kebijakan, Presiden bukan hanya tidak mendapat dukungan dari koalisi partai pendukungnya, melainkan juga dari partainya sendiri.
Penyebab ketiga, bukan tidak mungkin ada kesalahan pada visi yang ditetapkan pemerintah.
Pemerintah bisa segera mencari penyelesaian untuk penyebab pertama dan kedua. Menteri yang tidak kapabel, atau tidak mengikuti garis Presiden, sebaiknya segera diganti. Jokowi sudah membuat matriks kinerja para menteri. Ada menteri berapor merah, kuning, atau hijau. Presiden Jokowi tidak perlu ragu-ragu mengganti menteri berapor merah. Bukankah Presiden sering berkata: ribuan orang antre untuk menjadi menteri.
Keinginan partai pendukung menambah kursi menteri boleh-boleh saja ditampung, tapi Presiden tak bisa menyingkirkan kriteria kapabilitas dalam memilih personel yang kelak akan membantunya. Yang terpenting, ancaman penarikan dukungan dari koalisi pendukung tidak perlu dirisaukan. Seperti pengalaman di masa lalu, tekanan semacam itu terbukti sekadar "gertak sambal". Belum pernah ada partai politik yang menarik menterinya dari kabinet. Barangkali kenyataan itu lantaran partai masih menganggap kementerian sebagai "periuk nasi" yang mesti dipertahankan.
Pemerintah juga tak perlu gamang melakukan koreksi jika ada yang salah pada visi pemerintah. Visi Nawacita, yang sejatinya diturunkan dari ideologi Trisakti yang dicetuskan Bung Karno dalam pidato 17 Agustus 1964, merupakan cita-cita luhur. Keinginan berdaulat dalam percaturan politik dunia, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam budaya tentu tak ada celanya.
Kondisi politik dan ekonomi dunia telah banyak berubah. Keinginan berdikari dalam ekonomi, yang pada Nawacita termaktub dalam agenda "mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategi ekonomi domestik", perlu dijalankan dengan menimbang konteks ekonomi dunia mutakhir. Semangat menggali maksimal potensi dalam negeri, contohnya dalam kasus meningkatnya harga beras lokal, tidak bisa dijalankan dengan kebijakan menutup pintu impor beras—akibatnya, harga beras tetap tinggi sampai sekarang.
Presiden Jokowi dalam berbagai kesempatan menegaskan niat menggerakkan badan usaha milik negara untuk menyelesaikan sejumlah persoalan ekonomi, misalnya melimpahnya panen berbagai komoditas. Ini bukan ide buruk. Konsorsium BUMN pernah sukses membangun jalan tol Bali Mandara dengan dana sendiri, tanpa sedikit pun menggunakan anggaran belanja negara. Tapi, bila yang dipikirkan Jokowi adalah menggerakkan BUMN dengan dana belanja negara, demi menciptakan kemandirian ekonomi, sebaiknya cita-cita itu dipikirkan kembali. Selain berpotensi menambah defisit anggaran negara, rencana itu bisa mematikan partisipasi swasta. Dalam kondisi sekarang, seharusnya pemerintah mengundang partisipasi lebih luas dari kalangan swasta dalam dan luar negeri.
Seraya membuka diri kepada dunia, pemerintah Jokowi perlu membenahi kekisruhan yang melekat pada dirinya. Tumpang-tindih kewenangan Menteri Koordinator Kemaritiman dan Menteri Koordinator Perekonomian, umpamanya, mesti secepatnya dibereskan. Di lapangan, tipisnya perbedaan tugas dan wewenang kedua menko telah menyulitkan menteri teknis dalam berkoordinasi.
Reshuffle kabinet merupakan cara memperbaiki kinerja pemerintah. Tapi, tanpa "meluruskan" visi yang tidak pas dengan zamannya, perombakan kabinet tak akan mendatangkan banyak manfaat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo