Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SULIT mengerem wasangka tatkala melihat sejumlah kepala daerah undur diri bersamaan dengan tempo pencalonan anggota keluarganya dalam pemilihan kepala daerah. Masa bakti Wali Kota Pekalongan Basyir Ahmad dan Bupati Ogan Ilir Mawardi Yahya, misalnya, baru akan selesai pada Agustus 2015. Tapi keduanya berkukuh "pensiun dini" guna melapangkan jalan bagi istri dan anak yang maju sebagai calon pengganti.
Di Sibolga, Sumatera Utara, Wakil Wali Kota Marudut Situmorang menuding ada yang mengganjal dia menjadikan istrinya wali kota. DPRD setempat tak kunjung mengumumkan permintaan berhenti Marudut, padahal tenggat pencalonan istrinya jatuh di akhir Juni. Di Kutai Timur, Bupati Isran Noor mundur jauh sebelum hiruk-pikuk pencalonan kepala daerah. Istrinya—anggota DPR, Nurbaiti Noor—bakal maju ke kursi yang dia tinggalkan. Rata-rata mereka telah menjabat dua periode.
Celah untuk terus berkuasa muncul setelah Komisi Pemilihan Umum menerbitkan Surat Edaran Nomor 302 Tahun 2015 pada 12 Juni lalu. Surat ini memperjelas bunyi Pasal 7 Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah, yang intinya calon kepala daerah tak boleh ada konflik kepentingan dengan inkumben melalui hubungan darah. Juga lewat ikatan perkawinan dan/atau garis keturunan setingkat lurus ke atas, ke bawah, atau ke samping dengan inkumben kecuali berjeda satu kali masa jabatan. Edaran itu seolah-olah "menyemangati" mereka mengejar status "bukan inkumben" untuk memenuhi tiga hal yang disyaratkan: masa jabatan berakhir sebelum pendaftaran, mundur sebelum pendaftaran, dan berhalangan tetap sebelum pendaftaran.
Penangkalan politik dinasti sudah diatur melalui jeda jabatan satu periode. Tapi ada kebolongan celah hukum yang mesti segera ditutup rapat. Misalnya pengunduran diri kepala daerah atau wakil minimal setahun sebelum pendaftaran. Kemudian perketat syarat undur diri. Undang-Undang Pemerintahan Daerah mengatur pemberhentian kepala daerah bila meninggal dunia, mengundurkan diri, atau diberhentikan.
Sayang, poin "mengundurkan diri" itu tak disertai ketegasan syarat. Boleh-tidaknya kepala daerah mundur semestinya bergantung pada DPRD sebagai representasi rakyat di wilayah terkait. Bukan bersifat pengumuman belaka semacam yang terjadi di Pekalongan dan Ogan Ilir. Kita bisa merujuk ke Sibolga. Permintaan mundur Marudut tertahan karena sebagian anggota DPRD berpendapat wakil wali kota itu melanggar etika dan sumpah jabatan.
Pernah mencatat 57 kepala daerah membangun dinasti politik, Kementerian Dalam Negeri perlu lebih serius menangkal fenomena ini. Caranya? Antara lain mengulur waktu surat pemberhentian minimal sampai pendaftaran calon. Dengan begitu, mereka tak bisa seenaknya memainkan celah hukum.
Konstitusi kita menjamin setiap warga negara memiliki hak politik yang sama tanpa membedakan asal-usul atau dinasti. Tapi nepotisme yang dibangun dalam politik dinasti amat berpotensi membelokkan sumber-sumber ekonomi ke kantong pribadi—alih-alih menyejahterakan rakyat. Korupsi mudah merajalela dan membikin bolong sumber pendapatan daerah.
Walhasil, politik dinasti jauh lebih bermudarat ketimbang bermanfaat. Sudah saatnya memangkas pohon-pohon dinasti penguasa sampai ke akar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo