Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AKAN susah membongkar persekongkolan politikus dan pejabat di Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, andaikata Komisi Pemberantasan Korupsi tak mempunyai wewenang menyadap. Senjata ini justru terasa semakin diperlukan ketika posisi KPK melemah.
Lewat penyadapan, gerak-gerik politikus di daerah itu bisa dipantau, dan akhirnya tertangkap basah saat menerima suap. Pembuktiannya akan mudah karena transaksi dilakukan tanpa perantara. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Musi Banyuasin, Bambang Karyanto, menerima langsung setoran itu di rumahnya pada 19 Juni lalu. Politikus PDI Perjuangan itu ditemani rekannya, Adam Munandar, dari Partai Gerindra.
Tamu mereka sekaligus terduga penyuap adalah Kepala Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan, dan Aset Daerah Musi Banyuasin Syamsudin Fei serta Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Musi Banyuasin Fasyar. Bersamaan dengan penangkapan itu, KPK menyita Rp 2,56 miliar—terdiri atas pecahan Rp 50 ribu dan Rp 100 ribu. Penyidik KPK menduga setoran ini berkaitan dengan pembahasan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Perubahan 2015.
Suap serupa diperkirakan pernah diberikan pada Januari lalu. Tersangka akan sulit mengelak karena penyidik biasanya memiliki bukti rekaman percakapan. Kini KPK sedang mengendus keterlibatan Bupati Musi Banyuasin Pahri Azhari. Dengan cara yang sama pula KPK menangkap anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Adriansyah, di Bali pada April lalu. Politikus PDI Perjuangan itu tertangkap tangan ketika menerima suap dari seorang pengusaha bertalian dengan izin tambang di Tanah Laut, Kalimantan Selatan.
Wewenang menyadap semakin terasa penting bagi KPK setelah Mahkamah Konstitusi memasukkan penetapan tersangka sebagai obyek praperadilan. Tersangka korupsi pun beramai-ramai menggugat KPK, dan banyak di antara mereka yang menang. Bekas Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Hadi Poernomo termasuk yang diuntungkan. Hadi memenangi gugatan praperadilan atas penetapannya sebagai tersangka kasus pajak BCA—perkara yang terjadi ketika ia menjabat Direktur Jenderal Pajak.
Itu bukan berarti para tersangka yang tertangkap tangan tak bisa menggugat KPK. Mereka pun bisa membawa kasusnya ke praperadilan. Tapi KPK akan memiliki posisi yang lebih baik karena bukti kejahatan mereka amat telak. Mempersoalkan hal lain, seperti keabsahan penyidik atau petugas yang menangkap, akan dengan mudah dicap sebagai mengada-ada.
Itu sebabnya, rencana merevisi Undang-Undang KPK—termasuk menghapus wewenang menyadap—merupakan langkah keliru. Sekarang saja politikus dan pejabat tak pernah jeri melakukan korupsi, bagaimana bila KPK tak lagi bisa menyadap? Untunglah rencana ini kandas setelah Presiden Joko Widodo menolaknya. Dengan hilangnya wewenang menyadap, bisa dipastikan KPK akan lumpuh. Komisi antikorupsi bakal sulit melakukan operasi tangkap tangan.
Hanya, KPK tetap perlu memperbaiki prosedur dan tata cara penyadapan. Penentuan target yang disadap harus berdasarkan kriteria yang jelas. Tak semua percakapan, apalagi yang tak berhubungan langsung dengan kejahatan korupsi, boleh disadap. KPK harus memakai senjata andalan yang tersisa ini secara hati-hati dan tepat sasaran.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo