TIAP bangsa, akhirnya, punya kekejamannya sendiri. Hanya kita tak tahu bagaimana mengakuinya. Lihat saja Jepang. Di Taman Hiburan Disneyland agak di luar Tokyo, salah satu pertunjukan yang tak dicangkok dari Walt Disney berlangsung di sebuah gedung di arah kanan Main Street. Di sana suatu sajian audio-visual yang menakjubkan bercerita tentang sejarah Jepang: suatu pelajaran, sekaligus suatu dongeng sebelum tidur. Sepasang anak duduk di pantai. Seekor burung bangau putih hinggap. Suatu dialog terjadi. Dan bangau ajaib itu pun membawa kedua anak itu ke masa silam. Di layar sosok tiga dimensi seakan-akan hadir. Ruang bergerak. Penonton seakan ikut dalam sebuah mimpi yang penuh warna. Masa prasejarah. Masa hubungan diplomasi pertama-tama. Masa ketika Tokugawa memerintah dan Jepang tertutup. Adegan ketika orang Barat pertama tiba mengetuk. Lalu modernisasi Meiji. Lalu . . . Militerisme ? Perang "Asia Timur Raya"? Penjajahan Jepang di pelbagai wilayah? Tidak. Ketika sejarah di layar itu menginjak masa sekitar Peran Dunia II yang mengerikan, yang tampak hanya meriam. Lalu layar hitam kelam. Tak ada cerita pasukan Dai Nipponyang menyerbu. Tak ada kisah penindasan, kekejaman, dan kemiskinan di negeri jauh yang jatuh. Hitam yang menggelapkan layar itu seakan-akan isyarat, agar yang hadir memejamkan mata sejenak untuk suatu bagian di masa silam. Terlalu dahsyat rasa malu itu, mungkin juga terlalu pahit kekalahan itu kita tak tahu. Mungkin orang Jepang sendiri tak tahu. Dan saya kira Kaisar Hirohito juga tak tahu. Di depan jamuan makan kehormatan untuk presiden Korea Selatan, maharaja yang bertahta sejak akhir 1926 itu hanya mengatakan "menyesal" atas "masa lampau yang sial". Tampaknya kata itu saja yang bisa dikemukakannya buat melukiskan tindakan Jepang di masa silam terhadap bangsa sekitarnya. Di tahun 1968, buat pertama kalinya, ia menyebut kata "sial" itu (fuko-na) di depan Presiden Soeharto yang berkunjung. Kemudian di tahun 1974, di depan Presiden Ford. Lalu di tahun 1978, di depan Deng Xiao-p'ing. Dan akhirnya 1984, di depan Presiden Chun. Orang Korea sebenarnya ingin sang Kaisar minta maaf. Bagi mereka jelas betuI siapa sebenarnya yang bertanggung jawab atas "masa lampau yang sial",fuko-na-kako, itu. Siapa yang menjajah Korea selama 36 tahun sejak 29 Agustus 1910. Siapa yang membunuh 6.000 orang Korea yang terlibat "Gerakan I Maret 1919". Dan siapa pula yang mengangkut sejuta lebih manusia ke Jepang bagaikan mengangkut budak, melarang bahasa Korea, tradisi Korea, dan bahkan namanama asli Korea dari muka bumi. Tapi beban dosa Hirohito-kah semua itu? Sering kita lupakan, memang, bahwa dalam perjalanan sejarah, tak ada bangsa yang tungal dan tetap. Ukuran baik-buruk berubah, demikian pula yang membawakannya. Maka, maaf macam apa? "After such knowledge, what forPiveness?", kata Pak Tua dalam puisi T.S. Eliot Gerontion. Sejarah punya banyak lorong yang licin, yang tak bisa kita kuasai sepenuhnya. History has many cunning passages . . . Dan Hirohito pernah berdiri di iorong seperti itu. Dan ia juga tak menguasainya. Jenderal Honjo Shigeru, yang jadi ajudannya menjelang maraknya militerisme Jepang, adalah saksi yan kukuh tentang tak berdayanya seorang kaisar. Catatan hariannya dari periode 1933-1936, Honjo Nikki (diterjemahkan ke bahasa Inggris tahun 1982), menampilkan seorang baginda yang lembut hati, yang mengagumi Inggris, yang menghendaki perdamaian, yang menyadari tugas dan tak menyenangi kalangan militer yang radikal. Tapi sekaligus juga terlihat: kaisar ini, yang dianggap kami (dewa), justru harus mengambil jarak dari sengketa pendapat dan kerja sehari-hari. Dan seperti kecenderungan orang Jepang khususnya kalangan istananya, ia pun Ikut saja dalam pasang peristiwa, tasei. Sejarawan Mikiso Hane menyebut satu kata fatalistis untuk itu, yamu o enai, "apa boleh buat". Apa boleh buat. Tapi bangsa punya kekejamannya sendiri. Tapi barangkali maaf dari seseorang - biarpun si orang adalah simbol - justru bukan hal yang diperlukan lagi. Sebab, hal-hal besar, seperti perang, militerisme, dan penindasan modern, memang tak timbul dan tak berubah hanya karena niat satu dua individu. Goenawan Mohamad.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini