Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Upaya Memupus Dendam

Presiden Korea Selatan Chun Doo-Hwan mengadakan kunjungan ke Jepang. Kecaman datang dari berbagai pihak. (ln)

15 September 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUA jet KAL mendarat hampir bersamaan di bandar udara Haneda, Tokyo, Kamis pekan lalu. Saat itu tak seorang pun dapat memastikan pesawat mana yang ditumpangi Presiden Chun Doo Hwan. Teka-teki baru terjawab ketika kepala negara Korea Selatan itu melangkah keluar dari pintu pesawat kedua. Tipuan ini sengaja dilakukan untuk mengelabui calon-calon pembunuh - diduga para teroris berkeliaran di Haneda siap menamatkan Chun, seperti yang mereka coba di Rangoon, Oktober lalu. Dalam hal keselamatan Presiden Chun Doo-Hwan, pemerintah Jepang dan Korea Selatan rupanya tidak mau ambil risiko. Karena alasan-alasan sekuriti pula upacara penyambutan dibatalkan. Seturun dari pesawat, Chun bergegas dibawa kemobil tahan peluru. Tidak ada tembakan meriam 21 kali, pemeriksaan barisan kehormatan, ataupun lagu kebangsaan. Untuk operasi pengamanan Chun, Jepang menghabiskan US$ 3,3 juta - lebih dari dua kali dana pengamanan presiden AS, Ronald Reagan, yang hanya US$ 1.25 juta Sebanyak 23.000 polisi anti-huru-hara dikerahkan, termasuk 10.000 petugas yang mengawal jalan raya antara Haneda dan wisma tamu sepanjang 2 km. Di sinilah Presiden Chun DooHwan disambut Perdana Menteri Yasuhiro Nakasone, yang sudah mendahului berkunjung ke Korea Selatan awal 1983. Semestinya bisa dianggap wajar bila Chun melakukan kunjungan balasan. Tapi rakyat Korea Selatan tidak berpendapat demikian. Penjajahan Jepang 35 tahun atas Korea (1910-1945) telah menorehkan dendam yang pahit, bahkan konon meracuni perasaan mereka. Tidak heran jika lawatan ke Jepang - yang pertama oleh seorang presiden Korea - ditentang keras. Chun rupanya tidak gentar. Meski tidak membawa hasil seperti yang diharapkan, sesampai di Seoul Chun memastikan bahwa kunjungan tiga hari itu benar-benar sukses. Ia mengimbau bangsanya agar melupakan kepahitan masa lampau dan belajar dari Jepang "apa saja yang bisa dipelajari". Tidak diketahui bagaimana reaksi ribuan mahasiswa yang melancarkan aksi protes sehari sebelum keberangkatannya. Mereka ini berikut sekelompok pembangkang dan sebuah orgamsasi Katolik di sana, amat kecewa setelah mendengar permintaan maaf Kaisar Hirohito yang cuma samar-samar. Dalam pidato jamuan makan malam, Hirohito memujikan lawatan Chun sebagai tonggak baru dalam sejarah kedua negara. Mengenai penjajahan Jepang atas Korea, Kaisar antara lain berkata, "Bagaimanapun juga sangat disesalkan bahwa di belakang kita terbentang masa silam yang tidak menyenangkan. Saya percaya, hal itu tidak akan terulang." Ini adalah ungkapan rasa sesal Hirohito yang ketiga (pertama kepada AS, kedua kepada Cina) yang menurut penilaian rakyat Korea Selatan kurang tulus dan terbuka. Menanggapi rasa kecewa ini Nakasone mengulangi permintaan maaf itu. Namun, keadaan tidak menjadi lebih baik. Soalnya, upaya membuka babak baru dalam lembaran hitam sejarah kedua negara ternyata juga kurang mendapat dukungan di Jepang. Kelompok ekstrem kanan Jepang berpendapat, permintaan maaf sama sekali tidak perlu. Partai Komunis dan Partai Sosialis Jepang sejak mula sudah memboikot kedatangan Chun dengan pembakaran dan ledakan-ledakan. Begitu pula serikat buruh yang berasosiasi dengan kedua partai tersebut. Selain itu, masih ada perantau Korea di Jepang yang anti-Chun. Mereka lebih bersimpati pada tokoh oposisi terkemuka Kim Dae Yung yang, karena aksi-aksinya dijatuhi hukuman 20 tahun penjara, kini hidup dalam pengasingan di AS. Harus diakui, kunjungan Chun bukan saja sangat kontroversial, tapi juga mengundang negara lain untuk bersuara jahil. Korea Utara, umpamanya, mengecam diplomasi Chun sebagai tindakan jual diri, sekaligus melabrak Presiden Chun yang menerima begitu saja penyesalan Kaisar Hirohito. Moskow bahkan menyebutnya "penyesalan basa-basi". Di balik kemarahannya, Korea Utara curiga jangan-jangan Chun Doo Hwan mengambil prakarsa untuk membina sebuah pakta militer dengan Jepang dan AS. Kecurigaan ini memang tidak berdasar. Tapi dalam perundingan Chun mengisyaratkan pada Nakasone agar Jepang berhati-hati dalam menggariskan politik luar negerinya terhadap Korea Utara. Dia pun mengharapkan supaya Jepang mendekati sekutu Pyongyang, RRC, untuk merintis jalan ke arah perdamaian di Jazirah Korea yang sudah lama dirundung permusuhan. Jawab Nakasone? Ia menegaskan, politik luar negerinya terhadap Korea Utara tidak akan berubah. Nakasone bahkan memperingatkan Chun Doo-Hwan bahwa akan berbahaya bila negeri itu dikucilkan. "Adalah penting untuk menarik Korea Utara keluar dari pengasingannya," ucap PM Jepang itu seraya menyatakan bahwa perdagangan antara swasta kedua negara tetap berlanjut seperti biasa. Dalam masalah bilateral Chun tampaknya juga kurang berhasil. Harapannya untuk menghentikan defisit neraca perdagangan dengan Jepang tidak begitu ditanggapi. Tahun 1983 saja Korea mencatat defisit US$ 2,63 milyar terhadap Jepang. Mengenai alih teknologi, para menteri Jepang terus terang mengakui tidak berhak memaksa pihak swasta Jepang membocorkan rahasia-rahasia teknologi mereka. Merasa gagal barangkali, akhirnya Chun membatalkan niatnya untuk memperjuangkan nasib 700.000 perantau Korea yang sejak setengah abad lalu bermukim di Jepang. Mereka itu diboyong ke negeri matahari terbit untuk kerja paksa dan sampai kini mengalami diskriminasi dalam status, lapangan kerja, dan kesejahteraan. Pokoknya, mereka mendapat perlakuan berbeda dibanding pribumi Jepang. Kunjungan Presiden Chun tidak dengan sendirinya melenyapkan praktek diskriminasi itu. Kalau begitu, adakah manfaat kunjungan tersebut? Ditinjau dari kegawatan di Jazirah Korea, agaknya manfaat itu ada Juga. Dalam komunike bersama Presiden Chun Doo-Hwan menggarisbawahi pentingnya keanggotaan PBB bagi Korea Selatan dan Utara karena dianggap dapat melestarikan perdamaian di sana. PM Nakasone sebaliknya berjanji akan merintis usaha ke arah peredaan ketegangan di kawasan itu. Di PBB kedua Korea, sampai kini, hanya berstatus peninjau, karena dari dulu menolak keanggotaan yang terpisah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus