Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sebagian besar pasir laut yang diimpor Singapura berasal dari sumber ilegal.
Cuan ekspor pasir legal dan ilegal Indonesia ke sana mencapai Rp 6,5 triliun pada 2000.
Broker ekspor pasir itu melibatkan aparat pemerintah dan elite Jakarta.
Muhamad Karim
Dosen Universitas Trilogi, Jakarta, serta peneliti Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kontroversi soal peraturan pemerintah mengenai pengelolaan hasil sedimentasi laut terus berlanjut. Pemerintah ngotot untuk memberlakukannya meski dikritik aktivis lingkungan. Konon, peraturan menteri mengenai pelaksanaannya sedang dibuat pula secara maraton. Ada apa di balik semua ini? Apakah ada kepentingan oligark dan elite politik yang mengejar rente dari bisnis ekspor pasir laut? Atau ada kaitannya dengan minat Singapura untuk berinvestasi di Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara di Kalimantan Timur?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Singapura adalah importir pasir laut terbesar di dunia. Pilkey dkk (2022) mencatat volume impornya sebesar 13 persen dari total impor pasir dunia. Pada 2018, nilainya mencapai US$ 366 juta atau setara dengan Rp 5,12 triliun. Singapura bakal memperluas daratannya hingga 30 persen sampai 2030. Negeri itu juga akan mereklamasi dan memperluas pelabuhannya, Tuas Mega Port. Rencana ini membutuhkan pasokan pasir laut sekitar 250 juta meter kubik per tahun. Bukankah cuannya fantastis jika harga ekspornya Rp 228 ribu per meter kubik (Hermawan, 2023)?
Mafia Pasir
Pilkey dkk, dalam Vanishing Sands: Losing Beaches to Mining (2022), menyajikan riset investigatif mengenai bisnis pasir di berbagai belahan dunia. Ia mengisahkan permainan mafia pasir laut yang mengendalikan bisnis tersebut, dengan Maroko dan India sebagai sarangnya. Salah satu babnya juga menyebutkan adanya "bandit" pasir laut di Singapura. Menurut Pilkey dkk, Singapura merahasiakan seluk-beluk bisnis pasir laut karena menyangkut keamanan nasionalnya. Tak mengherankan bisnis ini penuh misteri dan sulit mendeteksi transaksinya.
Keterlibatan mafia dalam produksi dan perdagangan pasir laut ke Singapura terungkap dalam riset Lamb dkk (2019), yang menemukan kesenjangan dalam data perdagangan pasir laut Kamboja dan Myanmar dengan Singapura sepanjang 2007-2016. Total impor pasir laut dari kedua negara tersebut tercatat di otoritas Singapura sebesar 107,95 juta metrik ton. Namun otoritas kedua negara melaporkan hanya mengekspor total 4,97 juta metrik ton. Jadi, ada selisih 102,98 juta metrik ton (95 persen).
Jika menggunakan patokan harga pasir pada 2017 sebesar S$ 7,5 per meter kubik, ada rente ekonomi senilai S$ 551,45 juta. Sedangkan Myanmar dan Kamboja hanya meraup pendapatan masing-masing S$ 11,78 juta dan S$ 14,83 juta.
Menurut Pilkey dkk, Malaysia, Indonesia, dan Vietnam ternyata juga mengalami hal serupa. Atas nama kerusakan lingkungan, Malaysia melarang ekspor pasir laut ke Singapura sejak 1997 hingga 2017. Pada kenyataannya, ada ekspor batu, kerikil, dan pasir senilai US$ 58 juta dari Malaysia ke Singapura selama 1997-2002. Bahkan pemerintah Singapura mencatat impor komoditas tersebut sebesar US$ 595 juta atau sepuluh kali lipat dari data ekspor Malaysia. Dengan begitu, ada selisih US$ 537 juta dalam ekspor-impor kedua negara.
Sepanjang 2003-2006, Singapura mengimpor batu, kerikil, dan pasir senilai US$ 388 juta dari Indonesia. Sayangnya, tak ada data ekspornya di Indonesia. Yang jelas, pada periode itu, Indonesia sedang menjalankan moratorium ekspor pasir laut.
Pada 2009-2016, Vietnam mengekspor batu, kerikil, dan pasir senilai US$ 126 juta. Namun Singapura menyebutkan impor komoditas tersebut sebesar US$ 756 juta. Dengan begitu, ada selisih sebesar US$ 630 juta.
Fakta-fakta inilah yang membenarkan adanya keterlibatan mafia dalam bisnis pasir laut.
Potensi Cuan
Pada 2007, saya bersama Dr Suhana menghitung potensi pendapatan negara dan broker dalam ekspor pasir laut ke Singapura. Kami menggunakan data Statistik Ekspor Pasir Riau Periode April-Desember 2000. Untuk konversi mata uang, kami mematok S$ 1,0 per meter kubik (saat itu harga pasir sekitar S$ 1-3 per meter kubik) dan kurs tengah Rp 5.600 per S$ 1. Sumber data pasir ilegal diadopsi dari laporan investigasi majalah Tempo edisi 14 Oktober 2001 dan laporan Asia Time Online pada 2003, yang memperkirakan para broker pasir laut Indonesia (aparat Kepulauan Riau dan elite Jakarta) memperoleh rente ekonomi dari bisnisnya sekitar S$ 1,50 per meter kubik.
Hitungan kami menunjukkan bahwa setiap tahun volume pasir laut yang diekspor ke Singapura sebesar 730 juta meter kubik, yang meliputi 344,8 juta meter kubik legal dan 396 juta meter kubik ilegal. Cuan rente ekonomi legal sebesar Rp 1,87 triliun dan yang ilegal Rp 2,21 triliun sehingga totalnya Rp 4,09 triliun. Menariknya, broker memperoleh cuan lebih besar 60 persen. Dari bisnis legal, broker meraup Rp 2,81 triliun dan dari yang ilegal Rp 3,6 triliun sehingga totalnya Rp 6,5 triliun.
Pada 2023, saya melacak dan menghitung nilai bisnis pasir ke Singapura selama 2001-2021 menggunakan data Observatory of Economic Complexity (OEC). Singapura adalah importir pasir terbesar di dunia selama 20 tahun terakhir. Nilai impornya sebesar US$ 2,107 juta dan ekspornya US$ 109,343 juta. Neraca perdagangannya defisit US$ 1.997,657 juta. Artinya, negeri itu memang lebih banyak mengimpor. Namun ia juga mengekspor pasir senilai US$ 109,343 juta. Dari mana sumber pasirnya?
Saya menduga jenis bisnis pasir di Singapura adalah pasir laut. Mustahil ia menggunakan lumpur sedimen buat mereklamasi daratan, pulau kecil buatan, hingga pelabuhan baru.
Bandingkan dengan Cina, yang ekspor pasirnya senilai US$ 1.783 juta dan impornya US$ 1.976 juta sehingga defisitnya US$ 193 juta. Cina juga menggunakan pasir buat kepentingan reklamasi.
Dalam kurun waktu 2001-2021, Indonesia mengekspor pasir senilai US$ 206,857 juta dan mengimpor US$ 82,05 juta. Neraca perdagangannya surplus US$ 124,807 juta. Apakah Indonesia mengekspor pasir laut atau jenis lain? Tak ada data yang menjustifikasinya. Ironisnya, Indonesia juga mengimpor pasir dalam kurun waktu tersebut.
Menariknya, pada 2021, Indonesia mengekspor pasir senilai US$ 53,1 juta dan semuanya ke Cina. Memang, sejak 2007, ekspor pasir laut Indonesia berhenti total. Namun bisnis ekspor-impor pasir, termasuk pasir laut, sejatinya tidak berhenti karena adanya Pasal 2 ayat d Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara, yang mengelompokkan "pasir laut" ke dalam batuan yang boleh ditambang melalui izin usaha pertambangan.
Pengaturan
Dari beragam fakta itu, saya menduga bisnis pasir laut bersifat misterius karena melibatkan mafia dan broker di Singapura yang dilindungi dan dijamin keamanannya oleh Singapura (Pilkey dkk, 2022). Bisnis ini menghasilkan cuan triliunan rupiah karena terus berlangsung sejak 20 tahun lalu serta melibatkan komprador dan elite penguasa yang membekingnya serta meraup rente ekonomi.
Bisnis pasir laut memang amat menggiurkan. Para mafia, broker, komprador, dan oligark bakal terus berupaya mengegolkan serta mempertahankan kebijakan ekspor pasir laut ini melalui berbagai cara. Padahal penambangan pasir laut berdampak kompleks secara ekologi, ekonomi, dan sosial, dari perubahan struktur komunitas ekosistem bentik, terumbu karang, padang lamun, habitat sumber daya ikan, hingga perubahan geomorfologi lautan yang mengubah pola arus, pasang-surut, dan gelombang.
Bencana ini ditambah lagi dengan abrasi di wilayah pesisir dan pulau kecil yang terancam tenggelam hingga mata pencarian nelayan terancam hilang. Buktinya, sejak 2002-2023, ketika moratorium atau pembekuan izin ekspor pasir laut diterapkan, kehidupan sosial-ekonomi nelayan di Kepulauan Riau belum pulih. Maka, sebaiknya pemerintahan Jokowi membatalkan peraturan pemerintah ini dan meninjau ulang ketentuan lainnya yang membolehkan ekspor pasir laut.
PENGUMUMAN
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan nomor kontak, foto profil, dan CV ringkas.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo