Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SATU kata mampu memberikan efek berbeda bagi setiap orang. Ada pengalaman, status sosial dan ekonomi, serta latar pendidikan yang menentukan, bisa juga trauma. Frasa “patah tulang”, misalnya, hanya akan dianggap biasa oleh para petugas medis ketimbang efek kata itu pada masyarakat awam. Bagi mereka yang setiap hari berhadapan dengan kecelakaan parah, bahkan maut, “patah tulang” tidak ada apa-apanya, apalagi kalau hanya fraktur (retak tulang).
Satu postingan kawan di beranda akun Facebook-nya pun mengingatkan saya perihal dampak sebuah kata bagi seseorang. Pada postingan itu ia bercerita bagaimana ia dan istrinya memiliki referensi berbeda terhadap kata bungkus. Bagi sebagian besar dari kita, kata bungkus mungkin memberi impresi yang menggembirakan hati: membungkus kado ulang tahun, kejutan untuk orang yang disayangi, dan hal-hal menyenangkan lain. Kawan saya yang lebih suka dilabeli pelapak buku daring itu memaknai kata bungkus sebagai pekerjaan kemas-mengemas buku yang dipesan pembeli, sementara bagi istrinya yang bekerja sebagai perawat, kata itu memberi beban yang jauh berbeda, yakni kematian. Sementara bagi kawan saya bungkus berarti adanya pesanan, bagi istrinya, kata itu justru mengingatkan pada jam-jam yang dihabiskan di rumah sakit untuk membungkus mayat saat masa pandemi Covid-19. Dari cerita kawan itu, istrinya bisa “membungkus” sampai 16 mayat dalam sehari.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo