Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SATU kata mampu memberikan efek berbeda bagi setiap orang. Ada pengalaman, status sosial dan ekonomi, serta latar pendidikan yang menentukan, bisa juga trauma. Frasa “patah tulang”, misalnya, hanya akan dianggap biasa oleh para petugas medis ketimbang efek kata itu pada masyarakat awam. Bagi mereka yang setiap hari berhadapan dengan kecelakaan parah, bahkan maut, “patah tulang” tidak ada apa-apanya, apalagi kalau hanya fraktur (retak tulang).
Satu postingan kawan di beranda akun Facebook-nya pun mengingatkan saya perihal dampak sebuah kata bagi seseorang. Pada postingan itu ia bercerita bagaimana ia dan istrinya memiliki referensi berbeda terhadap kata bungkus. Bagi sebagian besar dari kita, kata bungkus mungkin memberi impresi yang menggembirakan hati: membungkus kado ulang tahun, kejutan untuk orang yang disayangi, dan hal-hal menyenangkan lain. Kawan saya yang lebih suka dilabeli pelapak buku daring itu memaknai kata bungkus sebagai pekerjaan kemas-mengemas buku yang dipesan pembeli, sementara bagi istrinya yang bekerja sebagai perawat, kata itu memberi beban yang jauh berbeda, yakni kematian. Sementara bagi kawan saya bungkus berarti adanya pesanan, bagi istrinya, kata itu justru mengingatkan pada jam-jam yang dihabiskan di rumah sakit untuk membungkus mayat saat masa pandemi Covid-19. Dari cerita kawan itu, istrinya bisa “membungkus” sampai 16 mayat dalam sehari.
Perihal beban kata ini, untuk merujuk pada konteks yang lebih menyenangkan dapat kita lihat pada perbedaan reaksi orang-orang yang baru patah hati terhadap lagu Tulus, “Hati-hati di Jalan”, dengan mereka yang sedang berbahagia karena cintanya tidak bertepuk sebelah tangan.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring, lema bungkus diberi arti 1) n kata penggolong untuk benda yang dibalut dengan kertas (daun, plastik, dan sebagainya); pak: tiga -- nasi; dua -- rokok, dan 2) n bahan yang dipakai untuk membalut: daun -- nasi. Sementara itu, pada laman corpora.uni-leipzig.de, kata bungkus berkorelasi dengan 14 hal: kemasan, instan, plastik, berisi, rokok, Rp, permen, kertas, mie, gram, nasi, ganja, per, dan makanan. Lalu, bila kita cek pada laman tesaurus.kemdikbud.go.id, kata bungkus justru dikaitkan dengan ilmu gaib: hantu air, hantu blau, hantu angin, hantu api, hantu aru-aru, hantu bungkus, hantu bunian, hantu denah, hantu gunung, hantu haru-haru, hantu jamblang, hantu kangkung ngeang-ngeang, hantu kocong, hantu pemburu, hantu pocong, hantu puaka, hantu raya, hantu rimba, hantu suluh, hantu sungai, hantu tanah, siluman, dan tuyul. KBBI Daring, Pusat Korpus Data Leipzig, dan tesaurus memberi kita referensi yang kaya nan beragam.
Di dunia kerja, kita sering mendengar kata bungkus diucapkan ketika tercapai kesepakatan mengenai suatu ide atau proyek. Hal itu lalu merembes di percakapan WhatsApp dan Telegram. Tatkala ada seseorang yang menanyakan pendapat mengenai suatu ide, anggota grup yang setuju akan mengetik kata “Bungkus!” alih-alih mengetik “Setuju”.
Di ranah jual-beli, kata bungkus bermakna lain lagi. Di warung makan, misalnya, para pemilik warung cukup berkata “bungkus?” untuk mengetahui apakah pembeli berniat membawa pulang makanan yang dipesannya atau menyantap makanan itu di warungnya. Bahasa Inggris juga memiliki istilah untuk hal ini, for here yang berarti “makan di tempat” dan to go yang merujuk pada kata bungkus tersebut. Di beberapa daerah tertentu, kata bungkus berarti membawa pulang ke rumah makanan sisa pesta. Biasanya yang empunya hajatan sudah menyiapkan wadah dan tas plastik kecil untuk digunakan tamu-tamunya membungkus makanan.
Dalam perkembangan selanjutnya, perkara bungkus-membungkus dalam usaha makanan tidak lagi sekadar berfungsi sebagai pelindung semata, atau media promosi, tapi juga memuat identitas, citra yang hendak ditanamkan ke benak para pelanggan. Bahkan perihal bungkus-membungkus bergeser ke ranah penyediaan jasa prostitusi. Pada 20 Juni 2022, terkuak satu layanan spa di Jakarta Selatan yang punya acara “Bungkus Night”. Kata bungkus di sini tidak merujuk pada aktivitas bungkus-membungkus makanan di malam hari, tapi mengacu pada istilah “berhubungan badan”. Lagi-lagi bahasa dibengkokkan (meminjam istilah Chairil Anwar) untuk mencapai tujuan tertentu: dalam kasus layanan spa tersebut, digunakan untuk menghindari penindakan hukum.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo