Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Arti Nuansa Bening

Lagu “Nuansa Bening” tiba-tiba populer lagi. Apa sebetulnya arti nuansa?

2 Juni 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HARI-HARI ini, media sosial heboh oleh pembahasan mengenai lagu “Nuansa Bening”. Lagu karya Keenan Nasution ini dinyanyikan ulang oleh Vidi Aldiano dan Ahmad Dhani empat tahun lalu. Keduanya, kata warganet, memberikan nuansa baru pada lagu yang populer pada 1978 itu. Dhani, dengan vokalnya yang berat dan dalam, membuat lagu ini lebih nge-rock, sementara Vidi menjadikannya lebih ngepop. Apa pun tafsir pendengar, popularitas lagu ini memperkenalkan kembali kata nuansa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jika merujuk pada lagu “Nuansa Bening”, makna nuansa dalam lirik lagunya agak susah dicerna. Pada dasarnya lagu ini menceritakan dua orang yang awalnya berhubungan biasa saja, tapi lalu saling tertarik seiring dengan waktu. Lirik yang memuat kata itu ada di dua kalimat: “Dirimu nuansa-nuansa ilham hamparan laut tiada bertepi” dan “Menatap nuansa-nuansa bening tulusnya doa bercinta”. Jadi apa arti nuansa di sana?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memuat dua makna kata nuansa, yakni variasi atau perbedaan yang sangat halus atau kecil sekali (tentang warna, suara, kualitas); kepekaan terhadap, kewaspadaan atas, atau kemampuan menyatakan adanya pergeseran yang kecil sekali (tentang makna, perasaan, atau nilai). Dicontohkan di sana frasa nuansa makna, yang berarti perbedaan makna yang sukar dilihat dan dijelaskan.

Jika demikian, nuansa ilham dalam lagu “Nuansa Bening” berarti suasana yang memberikan ilham, sementara nuansa bening berarti gradasi yang hampir tak terlihat dari warna bening. Mungkin maksudnya “dirimu” yang menjadi subyek dalam lagu itu memberikan inspirasi dan pikiran yang kreatif bagi tokoh dalam lagu tersebut. Jatuh cinta memang membuat hidup jadi bergairah.

Kesulitan mendefinisikan nuansa barangkali terjadi karena makna kata ini lahir secara subyektif. Ia hanya bisa dirasakan. Kita merasakan nada riang dalam sebuah lagu dari musiknya yang rancak. Kenangan akan suatu peristiwa muncul kembali ketika kita mendengarkan sebuah lagu karena nadanya pas dengan suasana hati saat peristiwa yang mengesankan itu terjadi.

Nuansa diserap dari kata bahasa Inggris, nuance. Akarnya dari bahasa Latin, nubes, yang diserap oleh bahasa Prancis menjadi nuer dan kemudian berkembang menjadi nuance pada akhir abad ke-18. Kamus Oxford mengartikan nuansa sebagai “perbedaan halus atau bayangan makna, ekspresi, atau suara”. Contohnya, “nuansa ekspresi wajah dan bahasa tubuh”. KBBI mungkin menyerap makna nuansa dari bahasa Latin dan Prancis ini.

Saya mendengar kembali kata ini ketika tahun lalu mengikuti pelatihan jurnalisme konstruktif. Satu dari tiga pilar constructive journalism adalah “mencakup nuansa”, yakni “mendapatkan versi kebenaran terbaik sejauh mungkin dan melihat peristiwa dari dua sisi”. Sebuah peristiwa acap tak bisa dinilai sekadar benar atau salah. Nilainya berada di daerah abu-abu. Jurnalisme konstruktif mendorong wartawan merasakan, memahami, dan menangkap ketidakjelasan itu.

Nuansa juga bisa tampak dalam ekspresi seperti saat saya mengatakan “Saya menghargai Anda” tapi dengan gestur merendahkan, yang akan dimaknai lawan bicara saya sebagai sarkasme. Nuansa adalah temuan bahasa manusia dari komunikasi yang hidup karena melibatkan emosi yang kompleks dan rumit. Nuansa adalah, meminjam syair Toto Sudarto Bachtiar, sesuatu yang muncul ketika “kata tak cukup buat berkata”.

Kesusastraan Jawa mengenal istilah pasemon, kata yang berasal dari semu, cara ucap melalui perumpamaan sehingga maksud sebuah diksi atau kalimat menjadi samar. Maksudnya begitu, tapi tak benar-benar seperti itu. Goenawan Mohamad dan Sapardi Djoko Damono adalah penyair yang terampil memakai pasemon dalam sajak-sajak mereka. Diksinya melahirkan suasana sekaligus mengajak kita berpikir dan mengejar pengetahuan di baliknya.

Puisi barangkali merupakan teknik komunikasi dengan bahasa yang paling paripurna. Ia melahirkan nuansa, emosi, tenaga yang semuanya tak bisa ditiru dan diucapkan kembali. Serenade dalam “Nuansa Bening” pun menjadi miliknya sendiri dan memberikan nuansa berbeda ketika dilagukan oleh tiga penyanyi di masa yang berbeda.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Nuansa Bening"

Bagja Hidayat

Bagja Hidayat

Bergabung dengan Tempo sejak 2001. Alumni IPB University dan Binus Business School. Mendapat penghargaan Mochtar Loebis Award untuk beberapa liputan investigasi. Bukunya yang terbit pada 2014: #kelaSelasa: Jurnalisme, Media, dan Teknik Menulis Berita.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus