Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Pendapat

Maladministrasi Penanggulangan Banjir

Hari pertama pergantian tahun ditandai dengan bencana banjir di beberapa wilayah Tanah Air, khususnya di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi.

9 Januari 2020 | 07.00 WIB

Petugas UPK Badan Air Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta membersihkan sampah yang tersangkut di aliran Kanal Banjir Barat Ciliwung, Jakarta, Rabu, 8 Januari 2020. Pembersihan sampah di aliran kanal tersebut sebagai salah satu upaya untuk mencegah banjir di Jakarta. ANTARA/Indrianto Eko Suwarso
Perbesar
Petugas UPK Badan Air Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta membersihkan sampah yang tersangkut di aliran Kanal Banjir Barat Ciliwung, Jakarta, Rabu, 8 Januari 2020. Pembersihan sampah di aliran kanal tersebut sebagai salah satu upaya untuk mencegah banjir di Jakarta. ANTARA/Indrianto Eko Suwarso

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Dominikus Dalu Sogen
Asisten Utama Ombudsman Republik Indonesia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Hari pertama pergantian tahun ditandai dengan bencana banjir di beberapa wilayah Tanah Air, khususnya di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana per 4 Januari 2019 menunjukkan jumlah korban meninggal akibat banjir dan tanah longsor di DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten mencapai 60 orang, belum lagi kerugian materiil dan imateriil.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Karena relatif bisa diprediksi, bencana banjir seharusnya dapat diantisipasi sehingga jumlah korban bisa diminimalkan. Mitigasi bencananya juga bisa dipersiapkan lebih baik. Hal ini bisa dilihat secara sederhana dari tingkat curah hujan yang tinggi dengan sarana dan prasarana mengatasi banjir yang tersedia, seperti normalisasi sungai, kebersihan lingkungan dan sampah, kesiapan pompa air, petugas yang siaga, dan koordinasi antisipasi oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah, hingga kesiapan warga yang terkena dampak. Ada kesan bahwa setiap berganti pemerintahan, baik pusat maupun daerah, sinkronisasi kebijakan kebencanaan belum menjadi prioritas utama, padahal ancaman bencana alam ada di depan mata.

Tidak usah malu belajar mengelola banjir atau bencana alam pada umumnya dari negara lain. Misalnya Jepang. Negara itu punya tipologi daerah bencana, sama halnya dengan Indonesia. Kota Tokyo, misalnya, membangun katedral banjir yang berada di bawah tanah dengan kedalaman 22 meter serta menjadi bagian dari Metropolitan Area Outer Underground Discharge Channel yang terkenal sangat canggih.

Mereka belajar dari bencana alam, khususnya banjir, yang terus-menerus melanda Tokyo, sehingga alokasi anggaran negara dan daerah setidaknya memiliki porsi yang memadai untuk mengantisipasi bencana. Katedral banjir ini memiliki 78 pompa dan 59 pilar beton, yang memungkinkan 20 ton air berpindah tiap detiknya untuk disalurkan ke Sungai Edo, yang kemudian dibuang ke laut. Katedral banjir ini berdampingan dengan jalur kereta bawah tanah dan pipa gas di seluruh Kota Tokyo. Pengerjaannya menelan biaya lebih dari Rp 20 triliun dan selesai pada 2006.

Tulisan ini menyoroti antisipasi Kota Jakarta dalam menghadapi bencana banjir. Ibu kota negara biasanya selalu menjadi prioritas dalam segala hal karena menjadi etalase negara. Berbagai upaya pemerintah DKI Jakarta dengan dukungan pemerintah pusat sudah dilakukan setidaknya dalam satu dekade terakhir, seperti pembangunan kanal banjir di wilayah timur dan barat, yang sayangnya belum berfungsi secara maksimal. Hal inilah yang dirasakan masyarakat saat ini.

Pemerintah, khususnya pemerintah daerah, dianggap belum cukup serius mengupayakan penanggulangan bencana banjir. Entah apa yang menjadi prioritas pemerintah DKI saat ini. Sudah menjadi pengetahuan umum, yang menjadi viral di media sosial, bagaimana tidak berfungsinya pasukan kebersihan selama era pemerintahan Gubernur DKI Anies Baswedan. Semua pompa air bahkan tidak berfungsi sebagaimana mestinya karena petugas yang tidak siap. Pengerukan sungai tidak berjalan maksimal atau bahkan tidak dilakukan sama sekali.

Bila berita tersebut benar dan pemerintah abai dalam mengantisipasi banjir, apa konsekuensinya? Pemerintah yang baik seharusnya bertanggung jawab atas bencana yang terjadi. Sudah ada kelompok masyarakat yang bersuara untuk melakukan gugatan class action kepada pemerintah DKI dan kita tunggu saja kelanjutannya.

Setidaknya terdapat tiga hal yang dapat dilakukan saat ini dan pada masa depan. Pertama, semua kebutuhan korban harus diperhatikan pemerintah sebagai bentuk tanggap bencana. Setidaknya kebutuhan pokok diprioritaskan lebih dulu, termasuk bagi anak-anak dan kelompok rentan.

Kedua, pemulihan kondisi pasca-bencana, terutama rumah penduduk dan fasilitas umum, agar dapat digunakan sebagaimana sediakala dan pelayanan publik dapat berfungsi kembali. Ketiga, antisipasi dan persiapan untuk masa yang akan datang. Setidaknya ada sinergi antar-instansi, baik di pusat maupun daerah, termasuk dengan provinsi tetangga yang juga terkena bencana banjir, yaitu Jawa Barat dan Banten. Bila perlu, dibangun semacam lembaga atau konsorsium lintas pemerintahan yang melibatkan partisipasi masyarakat untuk membangun peta jalan mitigasi kebencanaan Ibu Kota dan sekitarnya, termasuk membangun infrastruktur antisipasi bencana.

Setidaknya hal baik yang sudah dibangun dipertahankan dan terus diperbaiki, bukannya diabaikan atau malah dibiarkan dan tidak dikelola dengan baik. Pemerintah yang melakukan pembiaran dan tidak cakap dalam tata kelola penanggulangan banjir termasuk melakukan tindakan maladministrasi. Mereka seharusnya sadar diri dan mempertanggungjawabkan perbuatannya dengan bekerja lebih baik atau mengundurkan diri bila merasa gagal atau tidak mampu bekerja dengan baik.

Tulisan Ini Merupakan Pendapat Pribadi

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus