Membicarakan Malaysia dua-tiga tahun lalu hanya akan menerbitkan kebanggaan dan—di sisi lain—perasaan iri, di Asia Tenggara maupun dunia Islam. Membicarakan Malaysia hari-hari ini, orang bertanya-tanya: inikah peluang bersejarah yang lolos dari jemari begitu mudahnya?
Grafik ekonomi Malaysia begitu mencengangkan ketika itu, menjadikannya lokomotif baru di Asia Tenggara. Menjadi salah satu produsen mikrocip terbesar dunia, Malaysia beranjak lebih maju: membangun "Super-Corridor", infrastruktur jaringan komputer yang mengusung mimpinya jadi "Lembah Silikon" terkemuka di Cekung Pasifik sebelah barat.
Namun, yang lebih penting: Malaysia punya Mahathir Mohamad dan Anwar Ibrahim, dwitunggal saling-melengkapi yang dulu tampak bisa menjamin mulusnya suksesi politik negeri itu menuju milenium baru.
Mahathir—berpengalaman kendati kontroversial—berjasa mengubah Malaysia menjadi sebuah kisah sukses ekonomi dunia. Dan Anwar, yang muda, cendekia, dan kosmopolitan, menjadikan Malaysia salah satu negeri mayoritas muslim yang tampak ramah dan siap berdialog dengan dunia selebihnya.
Dwitunggal itu runtuh bersama dengan krisis keuangan Asia. Dan drama pengadilan Anwar yang menyertainya hanya menambah luka kian parah, mencabik semua optimisme tadi. Bayangan krisis politik yang mengambang bersama dengan kabut tinggi pencakar langit Petronas—simbol kemakmuran baru—bakal merusak impian ekonomi dan teknologi yang mana pun.
Dan drama belum usai. Tak puas memvonis enam tahun penjara untuk penyalahgunaan kekuasaan, pemerintahan Mahathir kini mengejar Anwar dengan tuduhan lain: sodomi. Partai politik baru yang diluncukan Wan Azizah, istri Anwar, yang memperoleh dukungan kaum intelektual, generasi muda, dan kalangan Islam, meski terlalu dini untuk meramalkan kekuatannya, siap menyalak pula.
Kian jelas bahwa kemungkinan kompromi tak lagi ada. Mereka akan saling mencabik, dalam derajat yang kian keras, dalam medan pertempuran yang kian luas, tapi dengan pilihan yang kian sempit: Mahathir atau Anwar, status quo atau reformasi.
Penistaan terhadap Anwar telah mulai membelah tajam Malaysia. Mahathir sukses menyihir kalangan menengah—khususnya Cina dan India—untuk tetap dalam kubunya, dengan menunjuk kekacauan Indonesia pasca-Soeharto sebagai contoh betapa berbahayanya sebuah status quo yang runtuh oleh teriakan reformasi. Namun, dengan itu pula dia menyisakan hanya satu pilihan bagi kubu Anwar: berkoalisi dengan partai oposisi Muslim-Melayu PAS yang tidak selamanya ramah.
Hasilnya sama saja: ketegangan rasial dan agama yang lebih besar dengan kemungkinan kekacauan yang tidak kalah buruknya daripada runtuhnya sebuah status quo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini