WANlTA-wanita telanjang yang digiring masuk ruang gas Zyklon D,
tempat sehari 10 ribu orang bisa dibunuh (Auschwitz, 1941-1944),
tetap terpisah dari laki-laki telanjang yang mengalami nasib
sama. Tata susila tetap diperhatikan, dan Fritz Lan alias
Rudolf Hoess justru dipilih Himmler sebagai arsitek pembunuhan
massal karena Lang punya ein rigoroeses Gewissen, keyakinan
susila yang kuat. Lang - menurut profil dari Kotulla dalam Aus
einem Deutschen Leben - mencoba tiga kali lari ke medan
pertempuran, tapi ditolak karena masih terlalu muda, diusir dari
pabrik oleh teman-temannya karena bekerja terlalu keras, dan
mencintai tanah airnya demikian rupa sehingga dengan hati dingin
menembak seorang veteran Perang Dunia Pertama yang membela
Republik Weimar.
Dalam ideologi Nazi, sang Hoess bisa berkembang sempurna karena
justru ideologi Hitler menggabungkan kekejaman tak terbatas
dengan patriotisme yang kuat. Kalau Himmler menyuruh engkau
membunuh anakmu sendiri (begitulah pertanyaan istri Rudolf Hoess
alias Fritz Lang, kepada suaminya) apakah engkau membunuh anak
itu ? Naturlich, kata suaminya. Tanpa ragu-ragu - perintah ialah
perintah.
Sesudah drama selesai, dan Hoess ditangkap, dipenjarakan dan
diinterogasi opsir Amerika, dia ditanya sudah yakinkah dia bahwa
pembunuhan empat juta orang di Auschwitz suatu kesalahan. Sang
penjahat menjadi ragu-ragu, dan mengatakan mungkin. Mengapa
salah, begitu pertanyaan opsir. Sebab Himmler membunuh diri
artinya, dia bukan pemimpin yang baik, sehingga waktu dia
mengatakan pembunuhan Yahudi hal yang baik, mungkin dia bohong.
Memang sulit menerangkan distorsi kata hati yang begitu besar.
Haruskah Eichmann, Hoess, dan Himmler dianggap sebagai pembunuh
keji dan penjahat besar? Empat juta anak, wanita, dan laki-laki
yang dilikuidasi dalam industri maut yang berorganisasi baik,
bukan perkara kecil. Kalau orang harus diadili berdasar
keyakinannya sendiri, Lang memang tidak salah. Eichmann melihat
dirinya sendiri seorang ahli tata buku yang mengorganisasikan
transpor berjuta orang ke pusat-pusat pembunuhan. Lang merasa
dirinya seorang teknikus yang mendapat ilham yang baik: membunuh
orang tidak dengan dinamit (yang dicoba), melainkan gas.
Himmler, sang Reichsfuehrer, menurut pendapatnya sendiri,
seorang ahli politik yang melaksanakan perintah kepala negara.
Perintah ialah perintah, Befehl ist Befehl.
Memang, orang harus meperhatikan jiwa orang Jerman yang dulu
dididik dalam suasana patriarkal yang kuat, tapi terap muncul
soal: bagaimana kejahatan yang begitu besar menjadi mungkin?
Salah satu hal yang penting ialah segi bahasa. Para korban bukan
manusia, melainkan unit-unit. Pembunuhan bukan pembunuhan,
melainkan likuidasi, dan cara pembunuhan bukan kejahatan,
melainkan organisasi teknis. Lang diobsesi angka-angka. Dalam
film buatan Kotulla, dengan sangat baik diperlihatkan pembunuh
yang sampai larut malam mempelajari angka-angka dari para unit
supaya ada suatu ukuran baik bagi mutu likuidasi.
Kalau wajah korban dilihat, permainan rusak (Levinas: Muka
Manusia). Dalam karya seni buatan Kotulla, kita melihat suatu
adegan: Himmler mengunjungi Auschwitz. Seorang laki-laki -
dengan muka seorang dokter atau rohaniwan - melihat muka Himmler
dan Himmler melihat muka sang korban. Sebentar Himmler melihat
seorang manusia, dan sebentar menjadi bingung. Dengan segera
sang korban menjadi unit kembali, dan organisasi diselamatkan.
Pembunuhan - likuidasi - bisa diteruskan.
Levinas, yang sendiri berada di antara para korban teror Nazi,
berpendapat bahwa bukan to on (hal mengada) merupakan entitas
dasar dari ciptaan ilahi. Melainkan muka manusia, yang
menghindarkan segala keterangan. Bagi pembunuh massal, hal
semacam itu harus dihindari. Hanya orang yang dicap murtad bisa
dibakar (inquisitio) hanya pemuda yang dicap ateis (pembunuhan
1965) bisa dipotong lehernya hanya anak yang diubah menjadi
unit bisa digas. Kalau dalam pengajaran sejarah dikatakan Hitler
membunuh tujuh juta Yahudi, tidak ada satu mahasiswa yang
menjadi dingin atau panas. Tujuh juta bukan tragedi tujuh juta
hanya statistik. Umat manusia sibuk mempersiapkan pembunuhan
yang paling besar yang pernah direncanakan. Alatnya bukan api,
pisau, atau gas yang dipergunakan ialah atomic energy.
Dalam analisa kegilaan itu, Robert Jay Lifton memakai teori
represi Sigmund Freud untuk menerangkan kemunkinan psikosis
itu. The use of nuclear weapons goes beyond politica and
militar considerations. Pemakaian tenaga nuklir untuk
pembunuhan lebih dari soal politik atau militer saja. Bagi
Lifton barangkali tapi tidak bagi Reagan atau Andropov cs.
Mereka hanya melihat unit yang harus dilikuidasi. Memang benar,
represi memegang peranan dalam kegilaan itu malapetaka begitu
besar sehingga kita tidak tahu apa-apa tentang soal itu, juga
tidak ingin tahu soal itu. Menutup mata di muka hantu bukan
reaksi anak saja - itulah reaksi kita semua.
Tapi kalau dunia akan hancur dengan likuidasi berdasar advanced
technology, itu tidak hanya mungkin berdasar represi. Yang
paling penting ialah perubahan type fication (pengecapan)
bahasa. Kalau Anne Frank bukan gadis cantik dan lemah lembut,
tapi diubah menjadi suatu unit, dia gampang dilikuidasi. Kalau
kita melihat tata buku Eichmann dan Hoess, hati kita tetap
dingin yang dilihat ialah unit dan statistik. Baru waktu orang
melihat bukit sepatu-sepatu kecil yang ditinggalkan anak-anak
yang dibunuh di Teresienstadt, kita sekonyong insaf bahwa
unit-unit itu bisa ketawa dan menangis.
Pengecapan bahasa, menurut Berger, penting sekali karena dengan
bicara manusia menciptakan realitas. Makhluk yang diberi nama
ayah tidak hanya disebut ayah, melainkan dialah ayah. Makhluk
yang disebut Fuehrer tidak hanya mendapat nama baru, tapi
berubah sehingga bisa menghilangkan 50 juta orang dari muka
bumi. Seorang dokter, ulama, insinyur, pegawai, atau guru yang
disebut unit berubah dan gampang dilikuidasi. Kalau sesudah
ledakan nuklir masih ada orang yang bisa menganalisa kejadian
itu, dan penuh heran bertanya bagaimana mungkin manusia sebagai
animal rationale menghancurkan dirirya sendiri, justru segi
bahasa kegilaan itu harus diperhatikan.
Bahasa bukan hanya omong. Bahasa ialah penciptaan realitas.
Karena itu, permainan dengan kemerdekaan pers begitu dahsyat.
Sensor, atau pers bertanggung jawab, atau penjajahan media,
ialah serangan langsung atas realitas. Dunia Ketiga cukup acuh
tak acuh terhadap persenjataan nuklir. Mungkin berpendapat luput
dari kehancuran itu, sehingga harga karet lebih dipentingkan
dari nasib generasi yang akan datang. Pengecapan palsu pers
langsung bertanggung jawab untuk sikap itu. Kalau nanti Reagan
datang dia akan disambut dengan banyak epiteta ornantia. Mungkin
lebih baik dengan otak dingin menilai realitas yang nyata.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini