SEBELUM pak Emil Salim dan pak Benyamin Galstoun marah-marah,
lebih baik cepat-cepat saya jelaskan bahwa yang saya bicarakan
ini bukan kancil yang tinggal di daerah territorial Ragunan dan
cagar alam lainnya, tapi kancil dalam dongeng, yang ternyata
banyak penggemarnya di negeri ini.
Kancil biasanya dianggapldan disamakan dengan orang kecil yang
cerdik. Jika dalam satu kelompok ada orang yang tubuhnya kecil
tapi selalu lolos dari segala macam kesulitan, dia akan
dipanggilkan si Kancil.
Sifat-sifat kancil dianggap sebagai suri-tauladan. Dan mungkin
ini menjadi dedengkotnya peristiwa nasional, yang sering-sering
tragis, yang sering kita baca di koran-koran.
Sebelum sampai ke sana, mari kita coba meng-kodefikasi sifat
kancil ini, melalui cerita-ceritanya yang banyak beredar.
Ternyata ada dua sifat dasar yang menonjol:
Pertama: Mencari keuntungan/kepuasan diri sendiri sambil
merugikan/mencelakakan makhluk lain. Contoh soal: membujuk
harimau memalu kenong pusaka yang tahi kerbau membujuk harimau
menabuh sarang lebah membujuk harimau mengenakan ikat pinggang
ular hidup menganjurkan buaya berbaris melintang sungai
membentuk jembatan ponton.
Kedua: Menyelamatkan diri dengan mencelakakan makhluk lain.
Contoh soal: kancil jatuh ke sumur dan membujuk agar
binatang-binatang lain juga terjun ke sumur agar kancil dapat
keluar kancil dalam kurungan membujuk anjing bertukar tempat.
Ada tabiat lain, tentu saja, namun semua tidak cukup banyak.
Sekarang mari kita baca-baca koran: pejabat A korupsi sekian
miliar, PN C rugi sekian miliar, pengusaha D menyelewengkan
kredit sekian miliar, sekian ton pupuk disalah-alamatkan, dan
sebagainya, dan sebagainya (dan saya bingung!).
Kapan saja saya ikuti melalui koran jalannya proses penyidangan
bilangan miliar-miliaran ini, tidak dapat tidak, dalam benak
saya terbayang seekor kancil yang duduk di korsi tertuduh.
Mesem-mesem. Puas dengan diri sendiri. Tentu saja bermonolog
seperti ini, "sebentar lagi juga akan ada makhluk yang akan
melemparkan saya ke luar dari sumur buntu keparat ini. Tah!
Kalau tidak. bukan kancil nama saya."
Sekarang mari kita lihat-lihat ajaran Prof. MacClelland (yang
konon pernah ke Indonesia) dan gerombolannya. Kata mereka,
maju-mundur serta kembang-bantetnya suatu kelompok manusia,
banyak sekali dipengaruhi oleh cerita-cerita yang didengar dan
dihayati anggota kelompok itu sewaktu mereka masih sangat muda.
Rupanya, nilai dan norma yang dapat tumbuh subur adalah yang
ditanamkan ketika sang calon manusia masih sangat muda, sekitar
usia tiga tahun! Pak prof ini bisa saja salah, bisa saja benar.
Tapi barangkali orang Indonesia memang sudah sejak kecil
diindoktrinasi dengan tabiat kancil. Kalau tidak kancil, ya, si
Kabayan yang WNI, atau Abu Nawas yang WNA.
Maka saya masih akan menganjurkan agar kita musnahkan saja itu
kancil. Atau kita ganti sifat-sifatnya yang busuk itu dengan
yang lebih dapat dipujikan: yang berani, yang jujur, yang tidak
merugikan makhluk lain, berkorban untuk kepentingan masyarakat,
tidak main keroyok, yang merencanakan hari depan ....Daftar ini
bisa panjang sekali.
Apa yang dibuat negeri-negeri lain mengenai hal ini? Yang
komunis menyadari dan mempraktekkannya tanpa reserve. Di saat
mereka menguasai suatu negeri, yang pertama mereka lakukan
adalah merobah buku sejarah dan buku bacaan kanak-kanak.
Negara-negara "liberal" idem dito, walaupun tidak sekasar itu
benar. Mari saya ceritakan sebuah dongeng dari Jepang, yang saya
dengar di Medan dari guru yang Melayu pada zaman Jepang:
Konon ada seorang anak yang selalu gagal belajar menulis (huruf
kanji, tentu saja). Sedih, malu dan putus asa, anak ini pergi
menyendiri ke hutan, dan duduk di tepi sebatang anak sungai. Di
situ dilihatnya seekor kodok, yang berusaha melompat ke atas
sebuah batu, yang terlalu tinggi untuknya. Gagal melompatinya,
coba lagi, gagal lagi, coba lagi gagal lagi, demikianlah
seterusnya. Akhirnya, menjelang sore, terjadilah keajaiban itu:
sang kodok melompati batunya! Anak Jepang itu tersentak,
menyadari dirinya, bertekad, dan .... anda dapat meneruskan
sendiri.
Sekarang tentunya anda ingin bertanya, berapa orang sih di
antara kami yang mengamalkan ajaran kodok itu? Tidak tahu.
Ketika cerita itu kami dengar, kami sudah duduk di kelas tiga,
umur sekitar sepuluh tahun. Jadi sudah terlalu banyak bertabiat
seperti kancil.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini