BANYAK kabar baik keluar dari Bina Graha pekan lalu. Itu terjadi
tiga hari sebelum tutup tahun 1978, seusai sidang kabinet
paripurna terakhir yang menelan 4 jam. Di sore 28 Desember itu,
adalah Menpen Ali Murtopo yang membawa kabar paling gembira.
Kepada pers yang mengerumuninya, jurubicara Kabinet Pembangunan
III itu menerangkan: RAPBN 1979/1980 naik dengan 44%
dibandingkan dengan APBN 1978/1979.
Angka RAPBN dari tahun ke tahun memang naik terus. Tapi sekali
ini, setelah meletusnya Kenop 15, kenaikan itu tak
tanggung-tanggung. Para pengusaha, yang sedang liburan, banyak
yang belum sempat memberi reaksi atas rekor yang dicapai
Pemerintah itu. Tapi sebuah sambutan spontan keluar dari penjaga
pojok Sinar Harapan: "Bukan main hebat kemajuan kita."
Kalau dihitung dalam rupiah, maka kenaikan yang 44% itu berarti
tambahan segede Rp 2,2 trilyun, dari APBN 1978/1979 yang
mencapai Rp 4,8 trilyun. Keistimewaan RAPBN yang sekarang ini,
selain angkanya membengkak menjadi Rp 7 trilyun, prosentasenya
juga ikut naik. Kenaikan prosentase itu lama sudah tak terjadi.
Bahkan anggaran tahun lalu, yang meningkat hanya 13,6%,
merupakan kenaikan tahunan yang terkecil dalam sejarah Repelita.
Namun orang tak boleh cepat terpukau dengan statistik, yang
memang bisa menyesatkan. Seorang pengamat yang asyik memainkan
kalkulator mininya, agaknya memperoleh gambaran 'lain'. Dihitung
dalam matauang dollar, berdasarkan kurs Rp 415 per 1 $ yang
berlaku waktu itu, maka jumlah APBN 1978/1979 yang Rp 4,8
trilyun itu jatuh di sekitar $ 11,6 milyar. Kini dengan RA PBN
yang sekitar Rp 7 trilyun, didasarkan pada kurs valuta asing
pekan lalu, yang Rp 623 per 1 $, akan diperoleh hasil -- setelah
dibulatkan ke atas -- sebanyak US$ 11,3 milyar.
Kalau hitungan seperti di atas itu bisa dijadikan pegangan, maka
kurang tepat untuk buru-buru mengatakan wajah, ekonomi Indonesia
tahun 1979 sebagai "cerah". Prof. Moh. Sadli dalam tulisan akhir
tahun di Kompas menilai "tahun 1979 akan merupakan tahun
prihatin, baik untuk Pemerintah maupun untuk seluruh masyarakat.
" Bekas Menteri Pertambangan RI yang selama 10 tahun ikut
menentukan arah ekonomi Indonesia beranggapan tahun 1979 ini
"mungkin merupakan tahun yang tersulit untuk periode Repelita
III."
Semasih jadi Menteri, Prof. Sadli juga menyatakan bahwa tahun
1978 mencerminkan keadaan ekonomi yang tak begitu cerah. Selain
karena penghasilan dari ekspor non-minyak tak sebaik tahun 1977,
keprihatinan itu disebabkan karena penerimaan dari minyak yang
waktu itu diperkirakan hanya akan bertambah dengan Rp 120
milyar, yang dihitung dengan kurs lama adalah sekitar $ 289
juta. Penerimaan dari pajak perseroan minyak waktu itu juga
diperkirakan hanya akan mencapai Rp 2607 milyar, suatu kenaikan
yang hanya 6% dari tahun anggaran sebelumnya.
Kini orang tak bisa berharap banyak dari produksi minyak. Itu
sudah dikemukakan sendiri oleh Presiden Soeharto ketika
membawakan pidato Kenegaraan 16 Agustus lalu. Ramalan para ahli,
seperti kata Sadli, memperkirakan bahwa produksi minyak tahun
1979 masih akan mundur sebelum naik lagi di tahun 1980. Sebuah
sumber di Migas merasa yakin produksi minyak rata-rata sehari
selama 1979 "paling pol tak melewati 1,6 juta barrel. "Kita
perlu bersaba sampai setahun lagi sebelum melihat Indonesia
kembali pada produksi 1,7 juta barrel sehari.
Meskipun begitu sektor penerimaan dari pajak perseroan minyak,
fokus RAPBN setiap tahun, diperkirakan masih akan lebih besar
dari tahun lalu. Ini terutama disebabkan kenaikan harga minyak
yang diputuskan sidang OPEC di Abu Dhabi. Menteri Pertambangan
dan Energi Prof. Subroto, yang selama sidang di Hotel Hilton Abu
Dhabi tak lupa menyisipkan kalkulator di sakunya, berharap
kenaikan harga minyak yang bertahap sampai sebanyak 14,5%, dan
dimulai awal Januari ini dengan 5%, akan membawa berkah sebanyak
US$ 730 juta sampai dengan akhir tahun 1979 nanti.
Tapi sampai di penghujung tahun 1978 belum juga keluar
pengumuman resmi berapa sebenarnya kenaikan itu dalam praktek.
Berbeda dengan dua tallun lalu, akhir tahun ini tidak ada
konperensi pers untuk mengumumkan harga minyak baru. "Pak
Menteri berpendapat keterangannya Rabu siang lalu di Bina Graha
seusai bertemu Presiden sudah merupakan pengumuman resmi," kata
Harjoko dari Humas Departemen Pertambangan dan Enerji. Jadi
"Terserah pada Pertamina sekarang untuk memberitahu pada
konsumen minyak asing kalkulasi harga baru itu," sahutnya.
Kamis pekan lalu kalkulasi harga minyak mentah Indonesia
diberitahukan pada penyalur asing. Seperti 2 tahun lalu,
ternyata kenaikan harga rinyak mentah Indonesia lebih rendah
dari keputusan OPEC. Minyak Minas yang merupakan bagian terbesar
dari produksi minyak Indonesia (700 ribu barrel sehari dari
keseluruhan produksi minyak Indonesia yang kini rata-rata 1,6
juta barrel sehari), naik dari $ 13.55 menjadi $ 13.90 atau
hanya 2,58%. Memang ada juga yang sedikit lebih dari 5%,
misalnya minyak Arjuna (100 ribu barrel sehari) dari $ 13.70 ke
$ 14.40 atau 5,11%. Minyak dari lapangan Sepinggan di Kalimantan
Timur malahan cuma naik 1,82% dibandingkan minyak Ataka atau
Badak yang naik sampai 6,03%.
Yang menarik, LSWR (low sulpbur waxy residue) -- yang terdapat
dalam jenis Minas -- yang kurang laku itu toh bisa bertambah 15
sen $, dari $ 13.10 menjadi $ 13.25. Jadi kalau dihitung secara
total, untuk kwartal pertama 1979, minyak mentah Indonesia naik
harganya kurang dari 4%. Kalau benar demikian, ini tentunya bisa
mempengaruhi jumlah penerimaan devisa yang diperkirakan akan
masuk sebanyak $ 730 juta itu.
Tak heran bila kenaikan harga minyak Indonesia yang "moderat"
itu disambut Jepang, pembeli minyak kita terbesar. Jepang
kabarnya menyambut gembira dan "menghargai sekali" sikap
Indonesia ini. Harga ini menurut mereka cukup kompetitif
dibandingkan dengan minyak Timur Tengah dan minyak RRC yang
pelan-pelan tumbuh sebagai saingan Indonesia. Maka harga yang
miring itu tentunya dimaksudkan Indonea agar minyaknya bisa
laku, hingga mber devisa yang terpenting itu bisa amankan .
Indonesia memang patut gembira degan naiknya harga minyak. Tapi
sekalius kudu berhati-hati juga. Jumlah ruiah dari devisa minyak
-- juga yang diperoleh para eksportir lainnya -- tiba-tiba
melonjak keras. Ini bisa bersifat inatoir, kalau saja Pemerintah
tak berati-hati dalam mengendalikan dana ini.
Setidaknya bank-bank devisa di mana ana rupiah dari sektor
ekspor itu menumpuk, kini mempunyai potensi yang lebih besar
untuk memperluas kreditnya. Dan sudah jelas pula bahwa
pemerintah akan melakukan pengendalian kredit bank itu secara
ketat. Dewasa ini semua bank mempunyai batas atap (ceiling) yang
tak boleh dilampaui dalam memberikan kredit kepada para nasabah.
Tapi tindakan devaluasi rupiah scbanyak 50% di pertengahan
Nopember itu mendadak membuat permintaan akan kredit rupiah
meningkat keras. Itu terutama dirasakan para importir yang harus
menyediakan dana rupiahnya 50% lebih banyak dari sebelumnya.
Itu pula sebabnya hampir semua bank yang ingin sekali menolong
para nasabahnya itu, telah mencapai batas maksimal dari
pemberian kreditnya. Dan beberapa bank pagi-pagi malah sudah
meminta pada Bank Sentral agar diperkenankan menambah batas
maksimal itu. Tapi rupanya pemerintah masih menimbang-nimbang
pada bidang apa saja kebolehan itu bisa dibiarkan. "Takut
inflasi lagi," kata seorang di BI.
Demikian ketatnya pasaran rupiah dewasa ini, hingga tingkat
bunga efektif pekan lalu berkisar antara 14% sebulan di pasaran.
Tadinya sebelum devaluasi tingkat bunga itu berkisar antara 10
sampai 11%. Dan kredit jangka pendek yang sebelum devaluasi
rupiah bertahan antara dari 7 sampai 8%, kini menjadi 11 -
11,5%.
Situasi kredit yang ketat itu memang membawa dilema buat
pemerintah. Kalau kredit terus diperketat, kegiatan ekonomi akan
terancam oleh resesi. Dan ini tentu saja bukan maksud dari
tindakan devaluasi rupiah. Di lain pihak, pelonggaran plafon
kredit kalau tak hati-hati akan menyulut inflasi dalam situasi
yang memang sudah inflatoir seperti sekarang. Maka berhasil
tidaknya pengendalian inflasi tahun 1979 ini sebagian akan
tergantung dari bagaimana pemerintah menemukan keseimbangan di
antara dua tuntutan yang berlawanan itu. Dalam hal mengerem
inflasi, luar biasa prestasi para teknokrat di bawah pimpinan
Menteri Ekuin Widjojo Nitisastro. Bisa diperhitungkan inflasi
Indonesia untuk tahun kalender 1978 hanya berkisar 7%. Ini jauh
lebih rendah dari 11,8% pada 1977. Tapi patut dicatat dari 7%
tersebut, kenaikan 4% terjadi pada dua bulan terakhir, yang
dipompa setelah guncangan Kenop 15. Selama sepuluh bulan sampai
akhir Oktober lalu, inflasi berhasil ditekan sampai 3%.
Indeks selama Nopember, bulan terjadinya devaluasi rupiah dengan
50%, inflasi melejit dengan 2,4%. Ini suatu tingkat yang paling
tinggi selama 24 bulan terakhir. Sebabnya jelas karena
terjadinya kekacauan di bidang harga yang timbul pada hari-hari
pertama sesudah peluit Kenop-15 dibunyikan. Tindakan Pemerintah
lewat Pangkopkamtib Sudomo untuk menenteramkan harga terasa
sedikit terlambat, paling tidak sepuluh hari setelah 15
Nopember.
Maka selepas pertengahan Nopember itu, hampir seluruh jenis
barang, baik yang memiliki komponen impor maupun tidak
samasekali seperti garam Madura, naik menyolok. Hanya beras dan
indeks perumahan yang tampak stabil. Indeks bahan makanan naik
2,4%, pakaian naik 1% dan indeks kelompok 'lain-lain' naik 3,3%.
Sebanyak 19 jenis bahan makanan mengalami kenaikan harga yang
bervariasi dari kenaikan terendah 0,4% untuk gula merah, minyak
goreng naik 9% sampai jajanan yang tak ada hubungannya dengan
kurs dollar, menurut catatan Biro Pusat Statistik ikut naik
dengan 21%.
Tapi prestasi 7% inflasi tersebut harus diterima dengan beberapa
catatan. Setidaknya hasil yang boleh dikatakan gemilang itu
diragukan akan bisa tercapai kalau pemerintah tidak campur
tangan, antara lain dengan melepas stok berasnya. Maka ada yang
beranggapan upaya pemerintah itu merupakan repressed inflation
(inflasi tertekan).
Apapun namanya, tindakan pemerintah itu telah berhasil mengerem
terjadinya psikologi inflasi, yakni meningkatnya harga
barang-barang secara tak terkendali, yang biasanya mengiringi
suatu tindakan devaluasi. Perasaan tenteram pun kian pulih,
setelah Menteri l'erdagangan dan Koperasi Radius Prawiro
mengumumkan berakhirnya masa transisi, empat hari sebelum tutup
tahun 1978. Ada sejumlah 130 jenis barang -- di luar sembilan
bahan pokok dan jasa seperti tarip angkutan dan ledeng-listrik
-- yang secara resmi dibolehkan memasang harga baru. "Asal dalam
batas-batas yang wajar," kata Radius.
Menteri Perdagangan memang tak memberikan ancar-ancar berapa
mustinya harga baru itu bergerak. Tapi di pasaran yang terjadi
sampai di penghujung tahun adalah kenaikan yang bervariasi
antara 5 sampai 35%.
Tapi banyak juga yang masih bingung mnentukan harga baru.
Lebih-lebih yang tak termasuk daftar 130 macam barang itu. Tapi
menurut edaran pemerintah, pedoman yang sama berlaku buat
"barang-barang lain yang serupa" dan "barang-barang lain yang
menggunakan bahan baku/penolong yang serupa." Adapun buat
barang-barang mewah yang tiada merupakan kebutuhan orang banyak,
diserahkan kepada kekuatan dasar. Dengan kata lain, yang
mewahewah itu disuruh bersaing tanpa ulur tangan pemerintah.
Pelan-pelan banyak soal yang tadiya membingungkan itu mulai
kelihat jelas. Sekalipun begitu banyak paravestor, baik yang
asing maupun DN, yang masih belum pulih dari sakitnya. Bahkan
banyak investor Jepang-Indonesia yang murung. Memang belum
terdengar ada yang berniat lari dari sini. Tapi dari serentetan
wawancara koresponden The Asian Wall Stree Journal di Tokyo,
Eduardo Lachica, diperoleh kesan tak sedikit di antara 161
perusahaan patungan Jepang di sini yang akan mengendorkan
operasinya. Toyota Motor Co., induknya PT Toyota-Astra Motor,
sudah memutuskan untuk mengurangi paket pengiriman semua
mobilnya secara terurai (CKD) dengan separoh ke Indonesia.
Di samping mobil, semua perusahaan tekstil Jepang di Indonesia
juga merasa terkena pukulan. Hampir semua bahan mentah dan
komponen pabriknya diimpor. Di samping impor yang makin mahal,
kewajiban membayar hutangnya di luar negeri yang meningkat
dengan 50% itu merisaukan.
Maskapai Marubeni di Jakarta, salah satu dari 10 besar Jepang di
sini, juga merasa sakit kepala. Tapi itulah gambaran umum dari
perusahaan apapun di Indonesia yang menggunakan bahan impor.
Barangkali hanya bidang ekspor saJa yang kini merasa lebih lega.
Suasananya akibat Kenop-15 itu demikian rupa, hlngga
jangan-jangan semua pengusaha ingin jadi eksportir (lihat:
Akibat Kenop-15: Masih Limbung).
Apakah di antara perusahaan Jepang itu bakal ada yang mati,
masih harus menunggu sampai akhir Maret, yang umumnya merupakan
akhir dari tahun buku perusahaan-perusahaan di Jepang. Tapi di
Jakarta persaingan di antara yang asing itu akan lebih seru
lagi. Bayangkan kalau harga sebuah Toyota Corolla 1978, yang
tadinya sekitar Rp 4,7 juta, kini sudah melonjak menjadi Rp 7
juta. Dan harga sebuah Daihatsu Charade yang tadinya Rp 3,5 juta
belakangan ini dimakan orang dengan Rp 6 juta di pasaran. Mudah
diduga mobil Jepang yang masih akan bertahan di pasaran, karena
nilai penjualan kembalinya cukup tinggi. Tapi mobil keluaran
Eropa dan Amerika akan makin termehek-mehek.
Tapi omong-omong, apakah kenaikan harga mobil Jepang itu akan
diikuti pula dengan naiknya harga bahan bakar (BBM)? Menteri
Pertambangan Subroto sudah menyalakan lampu kuning, subsidi
untuk BBM yang kabarnya bisa menelan Rp 600 milyar itu,
pelan-pelan akan dikurangi. Apakah kenaikan BBM itu akan berlaku
tahun 1979 ini, marilah kita tunggu sampai 1 April nanti. Banyak
pengamat beranggapan kenaikan harga minyak OPEC itu, dengan
sendirinya akan memperbesar subsidi BBM kalau tidak dilakukan
penyesuaian. Tapi kalau harga BBM itu naik dalam tahun anggaran
1979/1980 ini, itu pasti bakal menyulut inflasi. Asal jangan
sampai menyulut emosi.
Insya Allah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini