Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

1979: Angka Mengembang, TH Mengembik 1979 Masa Transisi Kapan Habisnya?

Usaha pengendalian inflansi, peningkatan RAPBN dan penstabilan harga. Ramalan beberapa ahli astrologi tentang Indonesia. Pendapat para pengusaha tentang kenop 15. (eb)

6 Januari 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BANYAK kabar baik keluar dari Bina Graha pekan lalu. Itu terjadi tiga hari sebelum tutup tahun 1978, seusai sidang kabinet paripurna terakhir yang menelan 4 jam. Di sore 28 Desember itu, adalah Menpen Ali Murtopo yang membawa kabar paling gembira. Kepada pers yang mengerumuninya, jurubicara Kabinet Pembangunan III itu menerangkan: RAPBN 1979/1980 naik dengan 44% dibandingkan dengan APBN 1978/1979. Angka RAPBN dari tahun ke tahun memang naik terus. Tapi sekali ini, setelah meletusnya Kenop 15, kenaikan itu tak tanggung-tanggung. Para pengusaha, yang sedang liburan, banyak yang belum sempat memberi reaksi atas rekor yang dicapai Pemerintah itu. Tapi sebuah sambutan spontan keluar dari penjaga pojok Sinar Harapan: "Bukan main hebat kemajuan kita." Kalau dihitung dalam rupiah, maka kenaikan yang 44% itu berarti tambahan segede Rp 2,2 trilyun, dari APBN 1978/1979 yang mencapai Rp 4,8 trilyun. Keistimewaan RAPBN yang sekarang ini, selain angkanya membengkak menjadi Rp 7 trilyun, prosentasenya juga ikut naik. Kenaikan prosentase itu lama sudah tak terjadi. Bahkan anggaran tahun lalu, yang meningkat hanya 13,6%, merupakan kenaikan tahunan yang terkecil dalam sejarah Repelita. Namun orang tak boleh cepat terpukau dengan statistik, yang memang bisa menyesatkan. Seorang pengamat yang asyik memainkan kalkulator mininya, agaknya memperoleh gambaran 'lain'. Dihitung dalam matauang dollar, berdasarkan kurs Rp 415 per 1 $ yang berlaku waktu itu, maka jumlah APBN 1978/1979 yang Rp 4,8 trilyun itu jatuh di sekitar $ 11,6 milyar. Kini dengan RA PBN yang sekitar Rp 7 trilyun, didasarkan pada kurs valuta asing pekan lalu, yang Rp 623 per 1 $, akan diperoleh hasil -- setelah dibulatkan ke atas -- sebanyak US$ 11,3 milyar. Kalau hitungan seperti di atas itu bisa dijadikan pegangan, maka kurang tepat untuk buru-buru mengatakan wajah, ekonomi Indonesia tahun 1979 sebagai "cerah". Prof. Moh. Sadli dalam tulisan akhir tahun di Kompas menilai "tahun 1979 akan merupakan tahun prihatin, baik untuk Pemerintah maupun untuk seluruh masyarakat. " Bekas Menteri Pertambangan RI yang selama 10 tahun ikut menentukan arah ekonomi Indonesia beranggapan tahun 1979 ini "mungkin merupakan tahun yang tersulit untuk periode Repelita III." Semasih jadi Menteri, Prof. Sadli juga menyatakan bahwa tahun 1978 mencerminkan keadaan ekonomi yang tak begitu cerah. Selain karena penghasilan dari ekspor non-minyak tak sebaik tahun 1977, keprihatinan itu disebabkan karena penerimaan dari minyak yang waktu itu diperkirakan hanya akan bertambah dengan Rp 120 milyar, yang dihitung dengan kurs lama adalah sekitar $ 289 juta. Penerimaan dari pajak perseroan minyak waktu itu juga diperkirakan hanya akan mencapai Rp 2607 milyar, suatu kenaikan yang hanya 6% dari tahun anggaran sebelumnya. Kini orang tak bisa berharap banyak dari produksi minyak. Itu sudah dikemukakan sendiri oleh Presiden Soeharto ketika membawakan pidato Kenegaraan 16 Agustus lalu. Ramalan para ahli, seperti kata Sadli, memperkirakan bahwa produksi minyak tahun 1979 masih akan mundur sebelum naik lagi di tahun 1980. Sebuah sumber di Migas merasa yakin produksi minyak rata-rata sehari selama 1979 "paling pol tak melewati 1,6 juta barrel. "Kita perlu bersaba sampai setahun lagi sebelum melihat Indonesia kembali pada produksi 1,7 juta barrel sehari. Meskipun begitu sektor penerimaan dari pajak perseroan minyak, fokus RAPBN setiap tahun, diperkirakan masih akan lebih besar dari tahun lalu. Ini terutama disebabkan kenaikan harga minyak yang diputuskan sidang OPEC di Abu Dhabi. Menteri Pertambangan dan Energi Prof. Subroto, yang selama sidang di Hotel Hilton Abu Dhabi tak lupa menyisipkan kalkulator di sakunya, berharap kenaikan harga minyak yang bertahap sampai sebanyak 14,5%, dan dimulai awal Januari ini dengan 5%, akan membawa berkah sebanyak US$ 730 juta sampai dengan akhir tahun 1979 nanti. Tapi sampai di penghujung tahun 1978 belum juga keluar pengumuman resmi berapa sebenarnya kenaikan itu dalam praktek. Berbeda dengan dua tallun lalu, akhir tahun ini tidak ada konperensi pers untuk mengumumkan harga minyak baru. "Pak Menteri berpendapat keterangannya Rabu siang lalu di Bina Graha seusai bertemu Presiden sudah merupakan pengumuman resmi," kata Harjoko dari Humas Departemen Pertambangan dan Enerji. Jadi "Terserah pada Pertamina sekarang untuk memberitahu pada konsumen minyak asing kalkulasi harga baru itu," sahutnya. Kamis pekan lalu kalkulasi harga minyak mentah Indonesia diberitahukan pada penyalur asing. Seperti 2 tahun lalu, ternyata kenaikan harga rinyak mentah Indonesia lebih rendah dari keputusan OPEC. Minyak Minas yang merupakan bagian terbesar dari produksi minyak Indonesia (700 ribu barrel sehari dari keseluruhan produksi minyak Indonesia yang kini rata-rata 1,6 juta barrel sehari), naik dari $ 13.55 menjadi $ 13.90 atau hanya 2,58%. Memang ada juga yang sedikit lebih dari 5%, misalnya minyak Arjuna (100 ribu barrel sehari) dari $ 13.70 ke $ 14.40 atau 5,11%. Minyak dari lapangan Sepinggan di Kalimantan Timur malahan cuma naik 1,82% dibandingkan minyak Ataka atau Badak yang naik sampai 6,03%. Yang menarik, LSWR (low sulpbur waxy residue) -- yang terdapat dalam jenis Minas -- yang kurang laku itu toh bisa bertambah 15 sen $, dari $ 13.10 menjadi $ 13.25. Jadi kalau dihitung secara total, untuk kwartal pertama 1979, minyak mentah Indonesia naik harganya kurang dari 4%. Kalau benar demikian, ini tentunya bisa mempengaruhi jumlah penerimaan devisa yang diperkirakan akan masuk sebanyak $ 730 juta itu. Tak heran bila kenaikan harga minyak Indonesia yang "moderat" itu disambut Jepang, pembeli minyak kita terbesar. Jepang kabarnya menyambut gembira dan "menghargai sekali" sikap Indonesia ini. Harga ini menurut mereka cukup kompetitif dibandingkan dengan minyak Timur Tengah dan minyak RRC yang pelan-pelan tumbuh sebagai saingan Indonesia. Maka harga yang miring itu tentunya dimaksudkan Indonea agar minyaknya bisa laku, hingga mber devisa yang terpenting itu bisa amankan . Indonesia memang patut gembira degan naiknya harga minyak. Tapi sekalius kudu berhati-hati juga. Jumlah ruiah dari devisa minyak -- juga yang diperoleh para eksportir lainnya -- tiba-tiba melonjak keras. Ini bisa bersifat inatoir, kalau saja Pemerintah tak berati-hati dalam mengendalikan dana ini. Setidaknya bank-bank devisa di mana ana rupiah dari sektor ekspor itu menumpuk, kini mempunyai potensi yang lebih besar untuk memperluas kreditnya. Dan sudah jelas pula bahwa pemerintah akan melakukan pengendalian kredit bank itu secara ketat. Dewasa ini semua bank mempunyai batas atap (ceiling) yang tak boleh dilampaui dalam memberikan kredit kepada para nasabah. Tapi tindakan devaluasi rupiah scbanyak 50% di pertengahan Nopember itu mendadak membuat permintaan akan kredit rupiah meningkat keras. Itu terutama dirasakan para importir yang harus menyediakan dana rupiahnya 50% lebih banyak dari sebelumnya. Itu pula sebabnya hampir semua bank yang ingin sekali menolong para nasabahnya itu, telah mencapai batas maksimal dari pemberian kreditnya. Dan beberapa bank pagi-pagi malah sudah meminta pada Bank Sentral agar diperkenankan menambah batas maksimal itu. Tapi rupanya pemerintah masih menimbang-nimbang pada bidang apa saja kebolehan itu bisa dibiarkan. "Takut inflasi lagi," kata seorang di BI. Demikian ketatnya pasaran rupiah dewasa ini, hingga tingkat bunga efektif pekan lalu berkisar antara 14% sebulan di pasaran. Tadinya sebelum devaluasi tingkat bunga itu berkisar antara 10 sampai 11%. Dan kredit jangka pendek yang sebelum devaluasi rupiah bertahan antara dari 7 sampai 8%, kini menjadi 11 - 11,5%. Situasi kredit yang ketat itu memang membawa dilema buat pemerintah. Kalau kredit terus diperketat, kegiatan ekonomi akan terancam oleh resesi. Dan ini tentu saja bukan maksud dari tindakan devaluasi rupiah. Di lain pihak, pelonggaran plafon kredit kalau tak hati-hati akan menyulut inflasi dalam situasi yang memang sudah inflatoir seperti sekarang. Maka berhasil tidaknya pengendalian inflasi tahun 1979 ini sebagian akan tergantung dari bagaimana pemerintah menemukan keseimbangan di antara dua tuntutan yang berlawanan itu. Dalam hal mengerem inflasi, luar biasa prestasi para teknokrat di bawah pimpinan Menteri Ekuin Widjojo Nitisastro. Bisa diperhitungkan inflasi Indonesia untuk tahun kalender 1978 hanya berkisar 7%. Ini jauh lebih rendah dari 11,8% pada 1977. Tapi patut dicatat dari 7% tersebut, kenaikan 4% terjadi pada dua bulan terakhir, yang dipompa setelah guncangan Kenop 15. Selama sepuluh bulan sampai akhir Oktober lalu, inflasi berhasil ditekan sampai 3%. Indeks selama Nopember, bulan terjadinya devaluasi rupiah dengan 50%, inflasi melejit dengan 2,4%. Ini suatu tingkat yang paling tinggi selama 24 bulan terakhir. Sebabnya jelas karena terjadinya kekacauan di bidang harga yang timbul pada hari-hari pertama sesudah peluit Kenop-15 dibunyikan. Tindakan Pemerintah lewat Pangkopkamtib Sudomo untuk menenteramkan harga terasa sedikit terlambat, paling tidak sepuluh hari setelah 15 Nopember. Maka selepas pertengahan Nopember itu, hampir seluruh jenis barang, baik yang memiliki komponen impor maupun tidak samasekali seperti garam Madura, naik menyolok. Hanya beras dan indeks perumahan yang tampak stabil. Indeks bahan makanan naik 2,4%, pakaian naik 1% dan indeks kelompok 'lain-lain' naik 3,3%. Sebanyak 19 jenis bahan makanan mengalami kenaikan harga yang bervariasi dari kenaikan terendah 0,4% untuk gula merah, minyak goreng naik 9% sampai jajanan yang tak ada hubungannya dengan kurs dollar, menurut catatan Biro Pusat Statistik ikut naik dengan 21%. Tapi prestasi 7% inflasi tersebut harus diterima dengan beberapa catatan. Setidaknya hasil yang boleh dikatakan gemilang itu diragukan akan bisa tercapai kalau pemerintah tidak campur tangan, antara lain dengan melepas stok berasnya. Maka ada yang beranggapan upaya pemerintah itu merupakan repressed inflation (inflasi tertekan). Apapun namanya, tindakan pemerintah itu telah berhasil mengerem terjadinya psikologi inflasi, yakni meningkatnya harga barang-barang secara tak terkendali, yang biasanya mengiringi suatu tindakan devaluasi. Perasaan tenteram pun kian pulih, setelah Menteri l'erdagangan dan Koperasi Radius Prawiro mengumumkan berakhirnya masa transisi, empat hari sebelum tutup tahun 1978. Ada sejumlah 130 jenis barang -- di luar sembilan bahan pokok dan jasa seperti tarip angkutan dan ledeng-listrik -- yang secara resmi dibolehkan memasang harga baru. "Asal dalam batas-batas yang wajar," kata Radius. Menteri Perdagangan memang tak memberikan ancar-ancar berapa mustinya harga baru itu bergerak. Tapi di pasaran yang terjadi sampai di penghujung tahun adalah kenaikan yang bervariasi antara 5 sampai 35%. Tapi banyak juga yang masih bingung mnentukan harga baru. Lebih-lebih yang tak termasuk daftar 130 macam barang itu. Tapi menurut edaran pemerintah, pedoman yang sama berlaku buat "barang-barang lain yang serupa" dan "barang-barang lain yang menggunakan bahan baku/penolong yang serupa." Adapun buat barang-barang mewah yang tiada merupakan kebutuhan orang banyak, diserahkan kepada kekuatan dasar. Dengan kata lain, yang mewahewah itu disuruh bersaing tanpa ulur tangan pemerintah. Pelan-pelan banyak soal yang tadiya membingungkan itu mulai kelihat jelas. Sekalipun begitu banyak paravestor, baik yang asing maupun DN, yang masih belum pulih dari sakitnya. Bahkan banyak investor Jepang-Indonesia yang murung. Memang belum terdengar ada yang berniat lari dari sini. Tapi dari serentetan wawancara koresponden The Asian Wall Stree Journal di Tokyo, Eduardo Lachica, diperoleh kesan tak sedikit di antara 161 perusahaan patungan Jepang di sini yang akan mengendorkan operasinya. Toyota Motor Co., induknya PT Toyota-Astra Motor, sudah memutuskan untuk mengurangi paket pengiriman semua mobilnya secara terurai (CKD) dengan separoh ke Indonesia. Di samping mobil, semua perusahaan tekstil Jepang di Indonesia juga merasa terkena pukulan. Hampir semua bahan mentah dan komponen pabriknya diimpor. Di samping impor yang makin mahal, kewajiban membayar hutangnya di luar negeri yang meningkat dengan 50% itu merisaukan. Maskapai Marubeni di Jakarta, salah satu dari 10 besar Jepang di sini, juga merasa sakit kepala. Tapi itulah gambaran umum dari perusahaan apapun di Indonesia yang menggunakan bahan impor. Barangkali hanya bidang ekspor saJa yang kini merasa lebih lega. Suasananya akibat Kenop-15 itu demikian rupa, hlngga jangan-jangan semua pengusaha ingin jadi eksportir (lihat: Akibat Kenop-15: Masih Limbung). Apakah di antara perusahaan Jepang itu bakal ada yang mati, masih harus menunggu sampai akhir Maret, yang umumnya merupakan akhir dari tahun buku perusahaan-perusahaan di Jepang. Tapi di Jakarta persaingan di antara yang asing itu akan lebih seru lagi. Bayangkan kalau harga sebuah Toyota Corolla 1978, yang tadinya sekitar Rp 4,7 juta, kini sudah melonjak menjadi Rp 7 juta. Dan harga sebuah Daihatsu Charade yang tadinya Rp 3,5 juta belakangan ini dimakan orang dengan Rp 6 juta di pasaran. Mudah diduga mobil Jepang yang masih akan bertahan di pasaran, karena nilai penjualan kembalinya cukup tinggi. Tapi mobil keluaran Eropa dan Amerika akan makin termehek-mehek. Tapi omong-omong, apakah kenaikan harga mobil Jepang itu akan diikuti pula dengan naiknya harga bahan bakar (BBM)? Menteri Pertambangan Subroto sudah menyalakan lampu kuning, subsidi untuk BBM yang kabarnya bisa menelan Rp 600 milyar itu, pelan-pelan akan dikurangi. Apakah kenaikan BBM itu akan berlaku tahun 1979 ini, marilah kita tunggu sampai 1 April nanti. Banyak pengamat beranggapan kenaikan harga minyak OPEC itu, dengan sendirinya akan memperbesar subsidi BBM kalau tidak dilakukan penyesuaian. Tapi kalau harga BBM itu naik dalam tahun anggaran 1979/1980 ini, itu pasti bakal menyulut inflasi. Asal jangan sampai menyulut emosi. Insya Allah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus