Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kemala Atmojo
Pengamat hukum entertainment
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ada yang berubah dalam rangkaian seleksi calon anggota Lembaga Sensor Film (LSF) tahun ini. Sekarang, sebelum dilakukan wawancara oleh panitia seleksi, para peserta diwajibkan mengikuti proses assessment yang dilakukan kementerian dengan bantuan assessor independen. Hasil assessment ini digunakan panitia seleksi dan kementerian sebagai referensi untuk proses selanjutnya. Masalah integritas juga menjadi perhatian kementerian, terutama bagi anggota lama yang mendaftar ulang untuk periode kedua. Hal ini tentu merupakan perkembangan yang baik dan patut diapresiasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Suka tidak suka, LSF masih ada dalam Undang-Undang Perfilman. Karena itu, ia masih eksis hingga kini. Agak aneh, memang, di zaman sekarang masih ada sensor bagi warga negara yang ingin mengekspresikan dirinya. Padahal, kebebasan masyarakat untuk menyatakan pendapat; mengembangkan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan, teknologi, seni, serta budaya; dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya dijamin oleh konstitusi dan Undang-Undang Hak Asasi Manusia.
Kebebasan ini sudah lama dinikmati para jurnalis, penulis buku, politikus, dan profesi lainnya. Herannya, untuk insan perfilman, kebebasan itu belum sepenuhnya bisa dinikmati. Hal itu terjadi karena kita gagal menuntaskan diri sebagai bangsa yang merdeka. Lembaga sensor yang dibuat pemerintah Hindia Belanda itu tetap dipertahankan ketika Indonesia merdeka.
Benar bahwa kebebasan boleh dibatasi. Tapi, dalam konteks hak asasi manusia, hak seseorang hanya boleh dibatasi melalui undang-undang, yang semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa. Jadi, dalam konteks film, jika tidak ada adegan atau dialog yang melanggar hak asasi orang lain serta hal-hal lain yang sudah disebutkan di atas, adegan atau dialog itu sebaiknya tidak dihilangkan. Penghilangan itu juga berpotensi melanggar hak moral pencipta yang diatur dalam Undang-Undang Hak Cipta. Kita tahu, salah satu unsur dari hak moral pencipta adalah soal keutuhan karyanya.
Karena itu, anggota LSF yang akan datang diharapkan tidak saja mengerti mengenai nilai intrinsik film, tapi juga harus progresif dan memahami perkembangan zaman. Jangan sampai LSF menjadi hantu bagi insan perfilman, sehingga kreativitasnya tidak bisa disalurkan. Lebih gawat lagi jika-saking takutnya kepada LSF-ide-ide mereka sudah harus dibatasi bahkan sebelum skenario ditulis dan film diproduksi.
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 14 Tahun 2019 tentang Pedoman dan Kriteria Penyensoran, Penggolongan Usia Penonton, dan Penarikan Film dan Iklan Film dari Peredaran untuk sementara bisa menjadi acuan anggota sensor periode mendatang. Di situ wajah LSF sudah lebih ramah dibanding sebelumnya. Nantinya, setelah insan perfilman memiliki kode etik produksi, seperti halnya wartawan punya kode etik jurnalistik, lembaga ini bisa lebih berfokus pada penggolongan usia penonton. Nama Lembaga Sensor Film juga bisa diganti menjadi Lembaga Klasifikasi Film.
Penggolongan usia atau rating system ini bertujuan untuk membantu orang tua dan calon penonton dalam menentukan film apa yang cocok bagi anaknya atau mereka sendiri. Di Indonesia, ada empat penggolongan usia penonton, yakni SU (semua umur), R13 (13 tahun ke atas), D17 (17 tahun ke atas), dan D21 (21 tahun atau lebih). Meski tidak sama persis, saya sering menganalogikan penggolongan usia ini sebagai "aturan pakai" dalam produk obat-obatan. Maka masyarakat juga perlu dididik agar meminum obat sesuai dengan aturan pakainya. Jangan sampai orang salah menggunakan aturan pakai, obatnya yang disalahkan, lalu memprotes, menolak, dan membuat petisi. Sikap semacam itu juga sangat menjengkelkan.
Masih berkaitan dengan seleksi calon anggota LSF, salah satu prosedur yang harus dilewati adalah konsultasi, bukan uji kelayakan dan kepatutan, dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Maka, sesuai dengan Undang-Undang Perfilman, konsultasi selayaknya dilakukan dengan komisi yang membidangi kebudayaan, bukan komisi yang mengurusi masalah keamanan, seperti yang selama ini terjadi. Salah satu tujuan perubahan aturan dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1992 menjadi Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 adalah menentukan paradigma baru: menggeser film yang sebelumnya kental unsur politiknya ke arah rumpun kebudayaan. Dalam undang-undang baru itu sudah disebutkan secara jelas bahwa menteri yang membidangi masalah perfilman adalah menteri kebudayaan, bukan menteri pertahanan dan keamanan. Jadi, jangan salah berkonsultasi.