Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Arianto A. Patunru
Direktur LPEM-FEUI
PADA Juni lalu, sebuah stiker yang menampilkan aktris cantik Koyuki Kato (Taka dalam Last Samurai) terlihat di kaca belakang taksi-taksi di Tokyo. Ia berpromosi: ”Laki-laki yang memiliki JGB disenangi para wanita.” JGB adalah Japanese government bond alias surat utang yang dikeluarkan oleh pemerintah. Iklan seksis itu adalah bagian dari upaya pemerintah menjaring dana guna membiayai perekonomian yang sedang lesu.
Jepang memang sedang sendu. Masalah utamanya saat ini adalah deflasi, utang, dan keuzuran. Kelebihan kapasitas (perusahaan tak berminat investasi) serta permintaan yang loyo (rumah tangga tak suka berbelanja) menyebabkan ekonomi nyaris membeku: pertumbuhan rendah, dan harga-harga jatuh. Tapi utang telanjur besar, hampir dua kali PDB, dan naik 80 persen dalam sepuluh tahun. Walau sebagian besar datang dari investor Jepang sendiri, rasio utang pemerintah Jepang adalah yang terbesar di antara negara-negara kaya.
Dikhawatirkan, ketergantungan yang begitu besar pada utang akan memenjarakan perekonomian. Kejadian di Yunani belum lama ini ikut menambah mimpi buruk. Celakanya, pajak yang susah naik serta kebijakan moneter yang mandul memaksa Jepang terus mengandalkan utang.
Iklan Kato adalah cermin betapa negara membutuhkan tambahan utang, bahkan dari penduduknya sendiri. Penduduk Jepang, sementara itu, sedang menua dan menciut. Jumlah penduduk usia lanjut semakin besar, kelompok usia produktif menyusut dengan cepat, dan pasangan muda tidak berminat mempunyai anak. Tiba-tiba masa depan negara ini menjadi tampak redup.
Ketiga masalah itu saja sudah cukup memudarkan pamor Jepang. Ditambah lagi, pergolakan politik dalam negeri tidak membantu banyak. Dalam 20 tahun, rakyat Jepang mengalami 14 pergantian perdana menteri. Terakhir, harapan perubahan rakyat dengan pergantian dari Partai Demokrat Liberal (LDP) ke Partai Demokrat Jepang (DPJ) terbukti terlalu tinggi. Dua dekade ”hilang”, diganti catatan yang kurang manis: pertumbuhan yang stagnan serta ketimpangan yang meningkat. Supremasi Jepang di dunia berangsur pudar. Poros Tokyo-Washington, DC, mulai mengendur.
Dua ribu kilometer dari Tokyo, Beijing menggeliat. Cina baru saja menyalip Jepang sebagai negara ekonomi terbesar setelah AS. Dalam sepuluh tahun, Cina mengambil alih posisi Jepang sebagai mitra dagang utama negara-negara Asia. Pada 1995, tujuan ekspor utama barang-barang intermediate Asia adalah Jepang dan AS, sedangkan pada 2005 telah berubah menjadi Cina dan AS, dengan porsi yang lebih besar pada Cina. Cina juga salah satu pengekspor utama di tingkat global. Pada 2008, 9 persen ekspor barang nonmigas dunia datang dari Cina, kedua setelah Jerman, dan di atas AS serta Jepang.
Yang menarik, ekspor Cina mengalami perubahan komposisi yang cukup signifikan. Dominasi tekstil, kulit, dan sepatu 34 persen total ekspor pada 1995 turun menjadi hanya 17 persen pada 2006. Sedangkan ekspor radio, televisi, serta alat telekomunikasi mereka naik dari 9 persen menjadi 19 persen pada periode yang sama. Di lain pihak, komposisi ekspor Jepang tidak banyak berubah. Pada 1995, 19 persen ekspor mereka adalah radio, televisi, dan alat komunikasi, serta 17 persen kendaraan bermotor. Pada 2006, komposisinya masing-masing 15 persen dan 19 persen (Fukasaku, 2010). Ini menunjukkan Cina berangsur menaiki tangga teknologi produksi, sementara Jepang yang lebih dulu maju justru tak banyak berubah.
Bukan itu saja. Saat ini sedang terjadi proses integrasi perdagangan yang dinamis di Asia Timur. Peran Cina tampak meningkat tajam: pangsanya dalam impor Asia Timur naik hampir tiga kali lipat dari 1985 ke 2006, yaitu 6 persen ke 16 persen. Pangsanya sebagai tujuan ekspor Asia Timur juga naik dari 5 persen ke 13 persen. Sementara itu, porsi Jepang dalam impor Asia Timur turun dari 26 persen ke 14 persen, dan ekspor turun dari 17 persen ke 9 persen (Fung et al. 2010).
Tapi, apakah popularitas Cina memang sedang meningkat? Sebuah survei yang dirilis pada Mei lalu oleh Pew Research Center melaporkan bahwa 85 persen orang Nigeria berpendapat positif tentang Cina pada 2009, dibanding hanya 79 persen pada 2008. (Saat ini Cina sedang giat-giatnya berinvestasi di negara-negara Afrika). Pendapat orang Amerika juga membaik, dari 39 persen ke 50 persen, sementara opini dari Indonesia cukup stabil di sekitar 60 persen. Pendapat orang Jepang sendiri, walaupun naik, persentasenya kecil, yaitu 14 persen pada 2008 dan 26 persen pada 2009.
Dan supremasi itu bukan sekadar opini. Pada Agustus tahun lalu, majalah The Economist mengeluarkan daftar perusahaan terbesar dunia. Tempat teratas diduduki oleh perusahaan Cina, PetroChina, dengan kapitalisasi pasar mendekati US$ 400 miliar, lebih tinggi daripada ExxonMobil (AS, US$ 350 miliar). Di urutan ketiga lagi-lagi ada perusahaan Cina, Industrial & Commercial Bank of China (sekitar US$ 250 miliar).
Tentu, Cina pun tak bebas masalah. Hubungan benci-rindu antara dolar AS dan yuan Cina acap menimbulkan reaksi internasional, menempatkan Cina dalam posisi yang sulit. Di satu pihak, mereka dituduh bertanggung jawab atas ketakseimbangan global. Tapi, jika mereka melepas yuan, ada risiko kemacetan penciptaan lapangan kerja. Ekonom Yiping Huang mengatakan bahwa memang yuan tak bisa lagi dipertahankan kaku: distorsinya bisa menjadi bom waktu. Juga, yuan yang dipaksa lemah berarti Cina menyubsidi konsumsi negara lain. Namun akan sulit membuatnya fleksibel dalam waktu singkat.
Mengikuti Jepang, Cina juga mulai mengalami penuaan penduduk (ageing). Saat ini Cina masih menikmati bonus demografi. Diperkirakan, pada 2015 jumlah penduduk usia kerja di Cina mencapai 993 juta. Namun jumlah penduduk berusia 15-24 tahun dalam angkatan kerja menurun 30 persen. Sementara itu, pekerja yang berusia lebih tua enggan bermigrasi ke daerah pantai yang produktif. Pada 2040 diperkirakan umur median penduduk Cina adalah 44, sementara India, pesaing utamanya dalam demografi, 35.
Lantas bagaimana Indonesia membaca cerita Cina-Jepang ini? Setidaknya ada tiga dimensi yang berkaitan: ekonomi, politik, dan demografi. Pertama, dalam hal ekonomi, kedua negara tersebut masih sangat penting bagi Indonesia. Dari ekspor Indonesia ke Asia, 19 persen ke Jepang, dan 14 persen ke Cina. Sementara itu, 17 persen dari total impor Indonesia berasal dari Cina, dan 15 persen dari Jepang. Namun yang lebih penting adalah fakta bahwa Indonesia mau tak mau harus ikut dalam konstelasi jejaring produksi regional. Perdagangan intraregional di Asia saat ini sudah hampir mencapai 60 persen, dibanding kurang dari 50 persen dua dekade lalu.
Jejaring yang sarat perdagangan barang antara (parts and components) sedang bergerak cepat, dengan Cina sebagai lokomotif. Saat ini, Indonesia masih tertinggal: porsi barang antara dalam perdagangan Indonesia dengan Asia Timur baru sekitar 11 persen, sementara Thailand, Malaysia, dan Filipina sudah sekitar 19 persen, 23 persen, dan 29 persen (Basri dan Rahardja, 2010). Penyebab utama lambannya Indonesia merespons dinamika perdagangan regional adalah infrastruktur yang lemah serta biaya logistik yang tinggi.
Kedua, Indonesia perlu meningkatkan peran aktif dalam forum regional dan global. Dinamika Asia Timur telah membuat wilayah ini menjadi perhatian utama dunia. Maka hubungan Indonesia dengan aktor utama seperti Cina dan Jepang menjadi makin penting. Apalagi dengan potensi ketegangan di antara kedua raksasa ekonomi tersebut. Dalam sebuah forum di Beijing, Oktober 2009, ada debat keras antara delegasi Cina dan Jepang.
Cina menginginkan terciptanya ASEAN+3 (ASEAN plus Cina, Jepang, dan Korea Selatan), sementara Jepang cenderung pada ASEAN+6 (ditambah lagi dengan Australia, India, dan Selandia Baru). Jepang ingin mengajak Australia, India, dan Selandia Baru karena merasa Cina akan terlalu dominan dalam ASEAN+3, sementara Cina tampak khawatir sektor pertanian mereka terancam Australia. Apa pun jadinya, Indonesia perlu aktif mengantisipasi. Ini berlaku juga untuk proposal lain seperti Free Trade Area for Asia Pacific (FTAAP) dan Asia Pacific Community (APC), di samping forum yang sudah berjalan seperti APEC dan G-20.
Ketiga, masalah penuaan demografi di Jepang (dan berikutnya Cina) sebenarnya menciptakan kesempatan bagi pekerja Indonesia. Indonesia akan menikmati bonus demografi pada tahun 2020-30, di mana penduduk usia produktifnya bisa mencapai 70 persen. Jika mobilitas pekerja antarnegara semakin tinggi, wajar bila pekerja produktif Indonesia masuk ke negara-negara yang mengalami ageing problem.
Sebagai catatan terakhir, tulisan ini bukan ajakan keberpihakan kepada salah satu: Cina atau Jepang. Faktanya, kedua negara tersebut penting bagi Indonesia, dan peran mereka tak mungkin dinafikan. Jepang adalah matahari. Tapi matahari itu kini sedang redup. Cina, di lain pihak, adalah naga yang kini menggeliat. Seperti lakon hari dan malam, matahari akan terbit lagi. Sangat mungkin, akan datang pertunjukan barongsai dengan terang matahari. Dan kita tentu tak mau hanya menjadi penonton di bangku belakang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo