Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KENYATAAN ini semestinya sulit luput dari perhatian: pemilihan umum legislatif sudah di depan mata, tapi betapa sulit mencari kandidat yang bisa kita coblos tanpa ragu. Ikhtiar majalah ini untuk menyaring dan merekomendasikan calon layak pilih memastikannya dengan telak. Lewat pelbagai penjaringan, dari 6.000-an calon, hanya bisa ditemukan sebelas orang yang masuk kategori "si baik".
Jumlah yang sangat tak berarti itu bisa dilihat sekaligus sebagai bala dan harapan. Sebagai musibah, hal itu menunjukkan betapa kian minimnya peluang negara ini untuk bisa menyejahterakan rakyat dan menegakkan keadilan. Langkanya orang "baik" di Dewan Perwakilan Rakyat tak bisa berarti selain suara dari orang-orang sadik akan mudah tergulung oleh hiruk-pikuk kaum yang bekerja hanya untuk diri sendiri dan kelompoknya.
Si sadik adalah orang yang jujur dan sepenuhnya menjadikan urusan rakyat sebagai panduan dalam bertugas. Masuk kategori ini mereka yang mengutamakan kesetiaan kepada publik ketimbang loyalitas kepada partai: mereka yang menjadikan partai sebagai kendaraan untuk mencapai kemaslahatan orang ramai-orang-orang yang berani mengabaikan titah organisasi jika itu bertentangan dengan hati nurani.
Lembaga legislatif memang bukan satu-satunya penentu nasib negara. Tapi, bagaimanapun, mesti diingat bahwa ia berperan sebagai penyusun undang-undang, pembahas anggaran aneka proyek, dan pengawas kerja eksekutif. Pada peran-peran itu, banyak celah yang memungkinkan terjadinya manipulasi dan "jual-beli" kewenangan demi kepentingan sempit politik dan bisnis. Itulah yang banyak terjadi sejauh ini, yang menyebabkan kinerja anggota DPR begitu buruk-sesuatu yang berujung pada apatisme publik terhadap politik.
Berbagai kasus korupsi yang melibatkan anggota DPR memperlihatkan kait-mengait antara langkanya politikus "putih", merajalelanya sifat korup di kalangan wakil rakyat, dan watak politik oligarki yang dikuasai segelintir elite. Dalam hubungan-hubungan itu bisa dilihat bagaimana rekrutmen kader partai politik tak pernah sepenuhnya berlangsung berdasarkan prestasi, apalagi partisipasi publik. Oligarki dalam politik hanya memungkinkan naiknya orang-orang yang pandai menyenangkan bos, yang punya hubungan kekeluargaan atau pertemanan, serta kaum loyalis.
Dalam keadaan itu, politikus dan calon anggota legislatif yang lurus dan siap berfokus pada kepentingan konstituennya akan terlihat sebagai anomali. Mereka sangat boleh jadi bakal "tak terdengar" dalam seluruh proses kerja lembaga wakil rakyat.
Tantangannya adalah bagaimana membuat jumlah mereka bertambah banyak secara sistematis. Tak kalah penting adalah memastikan mereka memang muncul karena punya "tabungan" kepercayaan dari masyarakat, yang dikumpulkan dalam masa yang cukup panjang. Dengan kata lain, mereka "naik kelas" juga berkat kontribusi publik.
Suka atau tak suka, dalam hal itu, partai harus memainkan peran. Hal ini mengharuskan perubahan pola pikir secara radikal. Pandangan mendasar bahwa partai adalah alat rekrutmen calon pemimpin mesti kembali ditegakkan. Pada saat yang sama juga perlu diresapi lagi fungsi partai sebagai bagian dari gerakan sosial untuk mempengaruhi kebijakan dan mengontrol negara, bukan kendaraan politik untuk meraih kekuasaan atau mesin pengeruk uang.
Harapan dari perubahan itu adalah dipraktekkannya seleksi calon anggota legislatif yang lebih ketat. Secara internal, partai bisa membuat pedoman bahwa hanya mereka yang berprestasi secara meyakinkan di tingkat daerah yang patut dijadikan kandidat.
Bukan perkara remeh, memang. Tapi barisan "si baik" yang makin panjang itulah yang akan menentukan apakah partai makin terpuruk karena kehilangan kepercayaan atau bertahan sekaligus menghimpun suara yang lebih besar.
berita terkait di halaman 44
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo