Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Memudarnya budaya etnis cina

Masyarakat keturunan cina mengalamai detradisionalisasi. budaya nenek moyang mereka mulai memudar. tak lagi menganut paham keluarga besar, lebih memilih keluarga batih (ayah, ibu dan anak).

19 Februari 1994 | 00.00 WIB

Memudarnya budaya etnis cina
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
KULTUS di sekitar nenek moyang, yang merupakan ciri paling khas dan umum dalam kehidupan rohani orang Cina di mana saja, maupun di kalangan apa saja di Indonesia, makin lama makin pudar. Imlek atau Tahun Baru Cina tidak lagi berfokus pada kultus nenek moyang dan anggota keluarga yang paling tua, tapi telah menjadi hari libur biasa, bahkan ada yang tetap bekerja. Detradisionalisasi ini berarti juga modernisasi. Gejala ini terutama terlihat dari munculnya keluarga batih yang hanya terdiri dari ayah-ibu dan anak-anak. Keluarga besar, yang terdiri dari ayah-ibu, kakek-nenek, dan saudara-saudara kandung serta anak-anak, mulai menjadi sangat jarang. Biaya pendidikan yang tinggi menyebabkan tidak ada dana untuk keluarga besar dan nenek moyang. Sebab detradisionalisasi ini beragam, dan kadang kala antara gejala dan yang menyebabkannya sukar dibuat pemisahan atau pembedaan. Sebab itu, misalnya kristianisasi di kalangan etnis Cina yang berjalan cepat. Lembaga-lembaga pendidikan Kristen baik Protestan maupun Katolik ikut menyebarkan kristianisasi ini. Juga, tampaknya, itu dibantu menipisnya identitas etnis Cina selama pendudukan Jepang dan di zaman revolusi, serta gejolak nasionalisme Indonesia. Etnis Cina sedikit banyak kehilangan kedudukan dan tempatnya dalam masyarakat Indonesia baru, masyarakat pascakolonial. Kini tumbuh suatu generasi baru yang lahir dan besar dalam suasana Indonesia merdeka. Bahkan sebagian dari mereka hanya mengenal zaman 30 tahun terakhir, tidak mengenal zaman Soekarno yang penuh retorika antikolonialisme. Bagi generasi muda ini, memahami zaman kolonial mungkin hampir sama seperti kita memahami Kerajaan Sriwijaya, Majapahit, atau Mataram. Bagi mereka masa kolonial adalah sesuatu dari masa lampau yang jauh. Ini disebabkan kenyataan bahwa budaya di masyarakat Indonesia tak berakar seperti di masyarakat Barat atau Cina. Bagi generasi muda ini seakan-akan masa Indonesia merdeka satu- satunya kenyataan -- baik bagi golongan pribumi maupun etnis Cina. Aspek lain yang mempercepat detradisionalisasi dan krisis identitas di kalangan etnis Cina adalah kebijaksanaan anti budaya Cina. Misalnya pelarangan penggunaan huruf Cina dan pelarangan berbagai pertunjukan teater yang bau Cinanya kuat. Khususnya kebijaksanaan ini terlihat di zaman Orde Baru ini, yang mungkin dimulai dengan penggantian istilah "Tionghoa" menjadi "Cina". Tampaknya, golongan etnis Cina sebagai minoritas, yang selama zaman kolonial merasakan diskriminasi dan permusuhan dari kolonial, dapat dengan cepat menyesuaikan diri dengan perkembangan baru. Mungkin kalau orang lebih bersikap santai dan toleran terhadap unsur-unsur budaya Cina dan asing lainnya, persatuan nasional dapat lebih dapat terwujud secara alamiah. Untuk sementara ini, proses detradisionalisasi di kalangan etnis Cina membawa dampak besar bagi struktur masyarakat Indonesia pascakolonial. Detradisionalisasi berarti pembebasan etnis Cina dari beban sosial atau beban keluarga, dan yang lebih penting membebaskan mereka dari biaya adat. Kultus nenek moyang, perayaan ini dan itu, tak ada lagi. Beban adat dapat merupakan beban yang berat seperti bagi masyarakat Bali dan - Toraja. Pembebasan dari adat dan sosial ini dapat mempertinggi daya manajemen usaha bisnis dan keluarga. Proses detradisionalisasi atau modernisasi bisa dilihat di Jepang, lebih dari 100 tahun yang lalu. Orang Jepang -- baik yang memeluk Budha maupun yang tidak -- berbudaya Budhis. Dalam Budhisme ada larangan makan sapi. Namun, Jepang pada suatu hari menjadikan sukiyaki yang berdaging sapi menjadi makanan nasional. Maka, mereka "kehilangan agama dan menjadi kapitalis". Proses tersebut berjalan di Eropa lebih dari 200 tahun lalu, mendahului proses di Jepang dan masyarakat Cina perantau yang rupanya juga menuju jalan "kapitalis". Proses detradisionalisasi ini, pembebasan dari beban adat dan lain-lain, lambat-laun dan secara total atau hanya sebagian juga akan melanda atau sudah terjadi pada golongan etnis lain. Di masyarakat modern, demi kehidupan ekonomi dan politik modern, muncul keluarga salary-man, yakni keluarga yang tergantung gaji ayah atau ibu, atau kedua-duanya. Penghasilan ini diperlukan untuk pendidikan anak yang berbiaya tinggi. Rumah-rumah tinggal tak lagi besar, tak dimaksudkan untuk bisa menampung satu kampung. Mau tak mau, detradisionalisasi ini akan mendominasi kebudayaan dan peradaban abad ke-21 bagi sebagian besar masyarakat dunia, termasuk Indonesia. Cita-cita bahwa kebudayaan Indonesia terdiri atas puncak-puncak kebudayaan daerah mungkin akan dikalahkan oleh globalisasi. Singapura, Bangkok, Tokyo, New York, London, dan Paris lebih memiliki kemampuan memancarkan budaya mereka daripada Lombok, Sumba, Jawa, dan lain-lainnya. Proses detradisionalisasi golongan etnis Cina yang kini sedang terjadi mungkin merupakan contoh pertama detradisionalisasi budaya etnis di Indonesia. Tentu, dalam proses ini ada rugi dan untungnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus