Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KASUS mutakhir yang terungkap di Taman Kanak-kanak Jakarta International School (JIS) mengharuskan siapa saja, khususnya para orang tua, menyadari betapa pedofilia memang ada dan bisa terjadi di mana saja. Mereka juga perlu mengubah persepsi bahwa berita di media yang belakangan bermunculan bukan merupakan pertanda meningkatnya frekuensi kejahatan itu, melainkan petunjuk bahwa telah banyak orang yang berani mengungkap perundungan sejenis.
Polisi telah menangkap enam petugas kebersihan, tersangka pedofilia di JIS-satu di antaranya mati dalam tahanan. Kasus ini terungkap setelah orang tua korban melaporkan kejadian yang menimpa anaknya kepada polisi, lalu membuka aib itu kepada media massa. Tabik salut perlu diberikan kepada mereka karena berani angkat bicara. Dalam banyak kasus, keluarga korban umumnya menyembunyikan peristiwa karena malu. Melapor ke polisi memang bukan bertujuan menghapus trauma si anak, melainkan untuk mencegah jatuhnya korban baru. Dengan kata lain, keluarga telah berkorban untuk kepentingan orang ramai.
Harus tegas dikatakan, pengelola JIS telah abai melindungi anak didik mereka. Masuknya William James Vahey, buron Biro Penyelidik Federal Amerika Serikat (FBI), sebagai pengajar ilmu sosial di Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas JIS pada 1992-2002 menguatkan statemen itu.
FBI menyebut Vahey sebagai predator seksual paling berbahaya. Sepanjang hidupnya, Vahey bekerja sebagai guru sekolah internasional di sembilan negara, termasuk Indonesia. Aksinya terungkap ketika polisi menemukan penyimpan data yang mendokumentasikan laku bejat sang guru kepada lebih dari seratus anak. Vahey bunuh diri setelah aksinya terbongkar. Salah satu pelaku pedofilia JIS mengaku pernah menjadi korban Vahey. Polisi menduga ada korban lain yang tak mau buka suara.
Kasus Vahey dan enam pegawai alih daya JIS semestinya menjadi dasar bagi sekolah itu untuk menata ulang rekrutmen pegawai dan guru serta memperketat sistem pengawasannya. Pengujian, yang melibatkan ahli kejiwaan, perlu dilakukan untuk memastikan masih ada atau tidaknya predator seksual anak di sekolah itu. Tindakan ini perlu dilakukan di luar pemeriksaan terhadap guru berkebangsaan asing yang dilakukan Direktorat Jenderal Imigrasi.
Upaya itu mungkin tak mampu menjamin murid sepenuhnya bebas dari predator anak-anak. Bagaimanapun, pedofil umumnya pintar menyaru menyembunyikan jati diri. Tapi, sebagai tahap awal, upaya ini bisa dilakukan untuk memberi rasa nyaman anak dan keluarganya.
Sudah semestinya penyelenggaraan sistem itu berada dalam lingkup pemantauan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Dalam pelaksanaannya, setelah peristiwa di JIS, Kementerian tak boleh lagi berpura-pura kecolongan-karena kecolongan, dipandang dari sudut mana pun, berarti lemahnya pengawasan. Ketimbang ribut di belakang, dan malah tampak tolol, kewenangan yang ada perlu dipakai sebaik-baiknya, untuk memastikan setiap sekolah adalah tempat yang ramah dan aman bagi anak.
Manajemen JIS harus bekerja sama sepenuh hati dengan polisi. Menyembunyikan kejadian ini dari publik agar citra sekolah tak tercemar adalah hal yang sia-sia. Perbuatan mengubah pintu toilet, meski belakangan diakui dikembalikan seperti semula, adalah upaya menghalang-halangi penegakan hukum. Tempat kejadian perkara adalah sesuatu yang semestinya tak diganggu gugat hingga kasus ini selesai disidik. Sekolah harus mengizinkan semua guru dan pegawainya dipotret agar wajah mereka bisa dikenali para korban untuk mengidentifikasi pelaku lain.
Polisi tak boleh berlama-lama mengusut kasus yang sudah di tangan. Bagi polisi, pedofilia jelas bukan kejahatan yang asing, karena ada kasus lain yang sebelumnya mereka tangani. Berhati-hati perlu, terutama untuk memastikan semua tersangka bisa diringkus serta memelihara psikologi korban dan keluarga. Tapi kesigapan akan membantu meyakinkan masyarakat bahwa polisi mengerahkan semua kemampuan untuk memerangi pedofilia.
Tak kalah pentingnya, kesungguhan polisi berpotensi mengirimkan pesan yang bisa membesarkan hati kepada korban-korban lain dan keluarganya yang sejauh ini masih menutup diri. Diharapkan mereka jadi lebih berani melapor dan kelak bersaksi.
Berita terkait klik Disini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo