Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MELIHAT maraknya politik uang dalam pemilihan anggota legislatif pada 9 April lalu, adagium vox populi vox dei seperti kehilangan relevansinya. Suara rakyat yang dianggap suara Tuhan itu diperjualbelikan dengan murah lewat bermacam cara.
"Serangan fajar" atawa pemberian amplop dan bahan kebutuhan pokok sebelum pemilihan merupakan modus paling primitif. Lembaga pemantau juga menemukan muslihat baru, misalnya pemberian polis asuransi dan pengiriman pulsa telepon.
Kekuatan uang juga menaklukkan para penyelenggara pemungutan suara. Calon legislator ada yang menyogok petugas pemungutan suara demi mengubah hasil pemilihan. Yang lebih celaka, di beberapa tempat petugas pemilihan malah menawarkan tambahan suara kepada calon legislator. Rekayasa jahat mengutak-atik jumlah suara itu tak ketinggalan melibatkan pula saksi-saksi di setiap tingkatan.
Sistem pemilihan proporsional terbuka, yakni pemilik kursi Dewan Perwakilan Rakyat ditentukan berdasarkan suara terbanyak, menjadi penyebab penting meledaknya politik uang. Persaingan tidak hanya melibatkan calon antarpartai, tapi juga dalam satu partai. Dengan popularitas yang pas-pasan, calon legislator perlu menyogok pemilih untuk menggalang dukungan. Gayung bersambut, sebagian masyarakat-entah karena hidup serba kurang entah menerapkan aji mumpung-sangat bersemangat menjual suara dan bahkan menuntut imbalan macam-macam untuk suara mereka.
Akibatnya, biaya politik di negeri ini menjadi sangat mahal. Calon dengan modal kecil hampir mustahil bisa menang. Kursi DPR seakan-akan milik kandidat berharta jumbo atau calon yang didukung cukong. Hanya sebagian kecil-misalnya pesohor atau mereka yang beruntung-yang berhasil memperoleh kursi tanpa perlu merogoh kantong terlalu dalam.
Politik uang tak bisa ditoleransi sedikit pun. Dalam jangka pendek, setumpuk pelanggaran pidana pemilu, terutama jual-beli suara, mesti diusut. Meskipun batas waktu penyelidikan pelanggaran pemilu tak terlalu panjang, aparat penegak hukum perlu berusaha keras membawa setiap kasus ke meja hijau. Calon yang terbukti menebar uang seharusnya didiskualifikasi. Mereka yang mendapatkan kursi DPR dengan cara melanggar hukum tidak pantas ikut membuat aturan hukum untuk mengatur kehidupan kita.
Sistem proporsional terbuka perlu pula ditinjau ulang. Sistem proporsional tertutup bisa menjadi alternatif. Calon anggota legislatif dalam surat suara ditentukan berdasarkan nomor urut yang ditetapkan partai. Sistem ini perlu dibarengi dengan kewajiban partai politik menggelar pemilihan pendahuluan. Artinya, urutan calon tidak bisa dibuat sekehendak hati pengurus, tapi berdasarkan hasil pemilihan awal. Sistem ini, selain akan memperkuat partai, membuat rakyat lebih mengenal calon yang dipilihnya.
Alternatif lain, daerah pemilihan dibuat sama persis dengan jumlah kursi DPR. Setiap partai hanya bisa mengajukan satu kandidat di satu daerah pemilihan-yang merupakan pemenang pemilihan pendahuluan. Model menyerupai sistem distrik ini mendekatkan hubungan calon terpilih dengan rakyat di daerah pemilihannya, tapi mengandung kelemahan, misalnya kelompok minoritas bisa saja tak terwakili.
Masih cukup waktu untuk mengkaji beberapa pilihan. Yang pasti, berbagai sistem itu menuntut hal yang sama: lembaga pengawas yang kuat dan transparansi keuangan partai politik. Tanpa itu, daulat uang akan muncul dengan sosok yang berbeda, dan suara rakyat tetap saja akan menjadi suara penyandang modal.
Berita terkait klik Disini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo