Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah kebakaran jenggot ketika mendapati pendidikan anak usia dini di Jakarta International School (JIS) terselenggara tanpa izin. Kondisi itu baru dianggap sebagai masalah setelah pendidikan berjalan lebih dari 20 tahun. Perizinan diungkit setelah kasus kekerasan seksual terjadi di lingkungan sekolah elite di kawasan mentereng, yakni Pondok Indah, Jakarta Selatan, itu.
Pada 1992, tepat ketika pendidikan tingkat usia dini tersebut dibuka, JIS sudah mendapat perhatian khusus dari pemerintah pusat. Saat itu, pemerintah menyatakan tak mau berkompromi lagi dalam melarang orang Indonesia "menyusup" belajar di sekolah asing atau sekolah internasional di Indonesia, termasuk JIS.
Ketika itu, menurut Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Fuad Hassan, setelah Presiden Soeharto keberatan terhadap masuknya anak-anak Indonesia ke sekolah untuk orang berpaspor asing itu, langkah-langkah penanganan pun disiapkan. Menteri Kehakiman, misalnya, telah membentuk tim koordinasi. Tim yang terdiri atas unsur dari Departemen Kehakiman, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Departemen Luar Negeri, Departemen Keuangan, serta Badan Koordinasi Intelijen Negara itu bertugas menertibkan sekolah asing dan internasional di Indonesia.
Hasilnya, ditemukan banyak pelajar lokal yang belajar di sekolah internasional. Di Jakarta International School Jakarta Selatan, sekolah berkurikulum Amerika Serikat, ditemukan 40 pelajar Indonesia. JIS dikenal dengan kurikulum K12 atau Kindergarten 12. Artinya, murid di sana bersekolah dari kelas taman kanak-kanak sampai kelas 12, yang berbeda dengan kurikulum bagi sekolah di Indonesia. Sayang, pimpinan JIS, ketika Tempo mencoba menghubunginya, belum bersedia berkomentar soal 40 siswanya yang kena "tilang" itu.
Dengan turunnya tim penertiban itu, 40 siswa yang terbukti tak berhak belajar di JIS harus keluar. "Ini keterlaluan karena semuanya warga negara Indonesia. Untuk orang asing saja syaratnya harus yang tinggal sementara," kata Menteri Ismail Saleh.
Sekolah internasional seperti JIS, menurut surat keputusan bersama tiga menteri (Menteri Luar Negeri, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, serta Menteri Keuangan) tahun 1975, memang hanya diperuntukkan bagi warga negara asing yang tak menetap di Indonesia. Karena itu, siswa di sekolah internasional mutlak harus memegang kartu izin menetap sementara (KIMS).
Namun, kenyataannya, di lapangan banyak sekolah yang melanggar peraturan itu. Selain di Jakarta Selatan, tim menemukan penyimpangan serupa di JIS Jakarta Utara. Dari sekitar 250 siswa, ada 8 anak pemegang paspor wisatawan dan 17 anak dengan visa kunjungan kebudayaan yang belajar di situ.
Bahkan visa turis dan kunjungan kebudayaan semacam itu pun tak boleh dipakai untuk sekolah asing, semacam Gandhi Memorial International School (GMIS), yang sebelum 6 Mei lalu masih berstatus sekolah internasional. Di GMIS Ancol, Jakarta Utara, terjaring 11 siswa yang belajar dengan visa kunjungan sosial budaya. Ditemukan pula 20 siswa yang ternyata telah memegang surat keterangan kependudukan (SKK) atau yang pernah menetap sedikitnya 15 tahun di sini.
Sebenarnya pemegang SKK masih boleh bersekolah di sekolah asing yang kebanyakan siswanya berkewarganegaraan sama, seperti GMIS untuk keturunan India. "Tapi kami mengharapkan pemegang SKK itu belajar di sekolah Indonesia," ujar Ismail.
Tampaknya minat masuk sekolah internasional atau asing memang besar. Menurut temuan tim penertiban itu, selama tiga bulan ditemukan tujuh kasus pemalsuan KIMS agar bisa masuk sekolah asing.
Jumlah pelanggaran mungkin akan bertambah karena sekolah yang diperiksa tim itu baru sebagian kecil dari 42 sekolah asing di Indonesia. "Dalam waktu dekat kami akan mengecek ke sana," kata Sarjono Sigit, Direktur Sekolah Swasta dari Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo