Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

G20 dan Skema Utang Biru

Bagaimana kebijakan ekonomi biru malah akan membebani negara, merusak laut, dan meminggirkan nelayan.

26 Oktober 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Tempo/Rudy Asrori

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Muhamad Karim
Dosen Universitas Trilogi dan Peneliti Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pertemuan puncak G20 di Bali akan berlangsung pada November mendatang. Salah satu agenda penting yang diusung Indonesia adalah ekonomi biru. Esensinya adalah bagaimana mengelola sumber daya kelautan secara berkelanjutan tanpa limbah (zero waste). Tapi, di balik gagasan ekonom biru yang kini menghegemoni ekonomi dunia, terselip agenda neoliberalisme ekonomi kelautan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Negara-negara maju (G20) dan lembaga keuangan internasional—Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia (ADB), The Nature Conservations (TNCs)—telah menyediakan skema keuangan global buat menyukseskan ekonomi biru. Namanya "blue finance", yang berbentuk utang dan surat utang biru (blue bond). Negara-negara berkembang dan terbelakang bakal mendapat tawaran utang dan menerbitkan surat utang jika hendak menggarap investasi di sektor kelautan dan perikanan.

Utang Berlabel Biru

Demam ekonomi biru telah menghegemoni berbagai pemangku kepentingan di seluruh dunia, dari pejabat pemerintahan (eksekutif), korporasi transnasional atau multinasional, lembaga pendidikan tinggi, hingga gerakan masyarakat sipil. Lantas, ada apa di balik masifnya ekonomi biru ini?

Publikasi jurnal, dokumen, dan situs web lembaga-lembaga keuangan internasional serta gerakan masyarakat sipil global menunjukkan bahwa di balik masifnya gerakan ekonomi biru, terselip agenda tersembunyi yang mengusung gagasan neoliberalisme. Mereka mengusungnya sejak Konferensi Tingkat Tinggi Pembangunan Berkelanjutan Rio+20 di Rio de Janeiro pada 2012. Sejak saat itulah mereka mengembangkan skema utang berlabel ekonomi biru. Ada yang dinamakan keuangan biru (blue finance) dan surat utang biru (blue bond). Semuanya ditujukan untuk membiayai investasi langsung (foreign investment) dalam bisnis ekonomi industri kelautan, konservasi, hingga untuk mengatasi dampak perubahan iklim.

Umpamanya, bila suatu negara mereboisasi mangrove di pesisirnya, nilainya dikonversikan sebagai pelunasan utang yang dipinjamkan atau surat utang (Washington Consensus). Investasinya pun berlabel biru untuk beberapa hal. Pertama, ekonomi kelautan yang berkelanjutan sebagai katalisator pencapaian target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Kedua, menciptakan mekanisme pembagian keuntungan dengan negara-negara pemilik sumber daya kelautan dan mengatasi dampak perubahan iklim.

Investasi biru ini nantinya diharapkan menciptakan keadilan dan kesejahteraan rakyat. Masalahnya, keadilan dan kesejahteraan itu buat siapa? Inilah masalah struktural yang gagal dipahami dan disadari pengambil kebijakan negeri ini, atau mereka sengaja diam seribu bahasa supaya publik tak menyorotinya karena agenda ekonomi biru sejatinya menambah utang.

Skema utang biru dan surat utang biru dari lembaga keuangan internasional ini dikendalikan negara-negara maju, termasuk anggota G20. Sepanjang 2013-2017, mereka menggelontorkan utang ke berbagai negara untuk pembiayaan publik. Sumbernya adalah Green Climate Fund (GCF), Global Environmental Facility (GEF), dan Bank Dunia.

Dana ini diperuntukkan buat investasi, konservasi laut, dan program aksi perubahan iklim. Nilainya melonjak drastis dari US$ 500 juta pada 2013 menjadi US$ 2 miliar pada 2017 (ROCA, 2019). Beberapa negara pengutangnya adalah Kepulauan Karibia sebesar US$ 56 juta dari Bank Dunia, Maroko US$ 350 juta dari Bank Dunia, Portugal 2,5 miliar euro selama 2019-2023 dari European Investment Bank, dan negara-negara Asia-Pasifik US$ 5 miliar dari ADB berbentuk surat utang. Bahkan Rabobank memberikan pinjaman berlabel "green and social" senilai US$ 100 juta kepada perusahaan salmon terbesar kedua dunia, Agrosuper, di Cile (Virdin et al., 2021).

Jika dicermati, paradigma ekonomi biru hanyalah dalih untuk menciptakan ketergantungan dan ketidakadilan baru di sektor ekonomi kelautan. Bentuknya adalah utang luar negeri. Ironisnya, negara-negara berkembang yang kaya sumber daya kelautan, termasuk Indonesia, tak menyadarinya. Mereka malah berlomba-lomba mengadopsi ekonomi biru sebagai mazhab pembangunan ekonomi yang diklaim menyelamatkan bumi. Indonesia pun tak mau ketinggalan dan telah meluncurkan kebijakan ekonomi biru pada 2021 lewat Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) bersama OECD, yaitu Blue Economy Development Framework for Indonesia's Economic Transformation.

Sayangnya, pengalaman berbagai negara pengusung ekonomi biru justru menunjukkan bahwa dana tersebut menimbulkan masalah struktural dan kultural. Berikut ini pengalaman di berbagai negara tersebut.

Seychelles, negara kepulauan di Samudra Hindia, memposisikan laut sebagai ruang pembangunan demi mengejar pertumbuhan ekonomi lewat eksplorasi dan eksploitasi sumber daya perikanan tuna. Akibatnya, industri perikanan tunanya dikuasai armada Uni Eropa dan perikanan skala kecil hingga masyarakat adat malah terpinggirkan (Schutter et al., 2021).

Afrika Selatan menjalankan Operasi Phakisa pada 2014 yang dirancang McKinsey. Proyeknya adalah investasi pelayaran dan infrastruktur pelabuhan, ekstraksi minyak dan gas lepas pantai, serta penambangan dasar laut. Dampaknya malah mendorong perubahan iklim: peningkatan suhu pantai secara ekstrem, pemanasan dan pengasaman air laut (ancaman pemutihan terumbu karang), kenaikan permukaan lautan, serta kekeringan di kota wisata Cape Town. Sampah plastik menumpuk di badan air dan pesisir pantai yang mengancam kehidupan biota laut. Lahan komunitas desa pesisir Xolobeni juga dirampas untuk area penambangan titanium (Bond, 2019).

Di sejumlah negara, kebijakan ekonomi biru memposisikan laut sebagai modal alamiah, sumber mata pencarian, serta lahan bisnis terbaik dan pendorong inovasi. Akibatnya terjadi peningkatan tekanan lautan serta perubahan iklim hingga ancaman antropogenik imbas penangkapan ikan berlebihan, kerusakan habitat, dan polusi (Voyer et al., 2018).

Zanzibar, Tanzania, Cile, Prancis, dan Inggris menerapkan tata kelola berbasis ekonomi biru. Dampaknya, terjadi diskriminasi gender yang meminggirkan partisipasi perempuan dalam tata kelola perikanan melalui ketidakadilan prosedural pada perikanan skala kecil (Gustavsson, 2021).

Adapun Papua Nugini menerapkan kebijakan pertambangan emas dan tembaga di perairan laut dalam sedalam 1.600 meter di Kepulauan Duke of York. Dampaknya adalah tergerusnya makna geo-spiritual masyarakat pulau, terganggunya keberlanjutan mata pencarian masyarakat, degradasi sumber daya alam, dan kerusakan ekologi pulau kecil (Szerszynski, 2017; Childs, 2019).

Ha-hal di atas membuktikan bahwa kebijakan ekonomi biru sebenarnya malah mengorbankan serta meminggirkan nelayan skala kecil, masyarakat pesisir, perempuan nelayan, dan masyarakat adat.

Ketidakadilan

Karena itu, kelompok masyarakat sipil perlu mengantisipasinya melalui gerakan keadilan biru (blue justice movement). Ranahnya mencakup tiga dimensi (Ertör, 2021). Pertama, ketidakadilan material dan biofisik. Penyebabnya, antara lain, adalah penangkapan ikan secara industri komersial, serta pencemaran laut dan perairan samudra akibat industrialisasi perairan lepas pantai serta pesisir. Contohnya, tumpahan minyak dan fasilitas industri ekstraksi di pesisir. Penyebab lainnya adalah pertambangan dan eksploitasi energi di pesisir pantai serta peningkatan produksi metabolisme sosial dan limbah di lautan akibat aktivitas budi daya laut intensif, seperti pertambakan di pesisir yang mendegradasi kesuburan lahan serta penggunaan pakan berlebihan yang memicu tingginya endapan bahan-bahan beracun. Ditambah lagi dengan konflik lahan (agraria) antara petambak tradisional dan petambak modern.

Kedua, ketidakadilan dimensi spasial. Penyebabnya adalah perebutan ruang laut (kontrol) dalam proyek investasi yang diputuskan secara atas-bawah tanpa mekanisme partisipasi masyarakat secara egaliter. Dampaknya, ruang penangkapan ikan dan hidup nelayan kian terbatas hingga mengubah wilayah tangkapan ikan disertai disalokasi dan perampasan ruang hidup komunitas nelayan. Contohnya adalah reklamasi Teluk Jakarta.

Ketiga, ketidakadilan dimensi otonomi penentuan nasib sendiri dan kedaulatan. Penyebabnya adalah kurangnya "pengakuan" atas hak-hak nelayan sebagai aktor utama dalam penyediaan pangan protein laut serta kemampuan mereka mengatur dan memutuskan jenis mata pencariannya sendiri serta mempertahankan identitasnya. Dimensinya terkait dengan gerakan "kedaulatan pangan" (Levkoe, Lowitt, & Nelson, 2017). Maka, di tingkat nelayan, masyarakat adat dan perempuan nelayan seyogianya membangun identitas kolektif serta persatuan sebagai manifestasi hak-hak mereka dalam menentukan nasib sendiri, memperkuat mobilisasi, hingga kapasitas politiknya dalam melawan proses peminggiran.

Gerakan perjuangan ini bertujuan memperkuat hak-hak politik serta pengakuan terhadap masyarakat pesisir, nelayan skala kecil, masyarakat adat, dan perempuan nelayan. Hal ini juga untuk menghindari dampak ekonomi biru berbasis utang yang akan membebani negara.

 



PENGUMUMAN

Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Kirim tulisan ke e-mail [email protected] disertai dengan nomor kontak dan CV ringkas.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Muhamad Karim

Muhamad Karim

Dosen Universitas Trilogi Jakarta dan peneliti Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus