Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Hukuman Bahasa Koruptor

Istilah koruptor kini menjadi basi akibat hukuman-hukumannya yang ringan. Bahaya ketika bahasa menjadi klise.

25 September 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Hukuman Bahasa Koruptor

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Vonis ringan Juliari Batubara menghilangkan vonis bahasa kutukan.

  • Istilah koruptor kini menjadi terasa basi.

  • Dalam kosmologi, bahasa kutukan menjadi bagian hukuman bagi penjahat.

DI hadapan bahasa modern, tak bisakah seorang koruptor dikutuk sebagaimana Malin Kundang, Anglingdarma, Parasurama, dan seterusnya seperti zaman dahulu kala? Dalam sejarah Indonesia abad XXI, tampaknya belum ada yang begitu menghebohkan melebihi apa yang menimpa Juliari Batubara secara linguistik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Saat Menteri (bantuan!) Sosial itu tertangkap tangan karena mengorupsi hak 15-20 juta rakyat miskin, jutaan orang Indonesia marah akbar. Tapi gemuruh hujatan berakhir karena hakim justru menjadikan hujatan itu sebagai dalih meringankan hukuman bagi Juliari Batubara. Hakim menghancurkan penghukuman-sosial linguistik yang menjadi bagian vonis bagi kejahatan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa hukum kita juga kian terdengar kaku dan tak menggetarkan. Perhatikan diksi-diksi dalam hukum kita: “Memeriksa...”, “Menimbang...”, “Mengadili...”. Bahasa tak menjadi bagian dari vonis dalam sistem hukum modern.

Bahasa mengutuk tidak lagi dipakai untuk kejahatan berat dalam politik dan hukum modern. Filsuf Karl Bühler (1879-1963) mengatakan bahasa modern hanya berarti, pertama, berfungsi sebagai penggerak lawan bicara. Kedua, bahasa yang berfungsi ekspresif, penyalur rasa, yang lebih ditujukan untuk penutur sendiri, tidak untuk menyampaikan sesuatu (komunikatif). Ketiga, bahasa yang berfungsi mendeskripsikan atau menunjuk obyek yang berada di luar penutur atau lawan-bicara. Dari tiga fungsi bahasa ini, tak ada yang sampai mendekati fungsi kutukan, sebagaimana bahasa dalam kosmologi-religi.

Malin Kundang, Anglingdarma, Parasurama, dan seterusnya lahir dalam ekosistem bahasa yang menyatu dengan alam semesta secara kosmologis-teologis. Seseorang yang terkutuk dikeluarkan dari semesta alam dan manusia: menjadi batu, hewan, dan raksasa dengan raga yang mengerikan; makhluk lain dengan tangan berlumuran darah; dan seterusnya.

Semua perubahan itu adalah bentuk kutukan yang terwujud dalam politik pengucilan atau hukuman pembuangan. Mereka yang terkutuk akan keluar dari sistem sosial tempat mereka hidup, bahkan keluar dari status kemanusiaan. Orang yang terkutuk seorang diri menghadapi masyarakat lain atau alam liar. Ia terlepas dari sistem politik, militer, budaya, dan ekonomi yang menyangga hidupnya. Inilah yang mengerikan dari sistem kutukan sebelum sistem penjara atau hukuman material modern kita temukan.

Dalam keyakinan masyarakat adat, jika sebuah kejahatan sudah sampai pada penghukuman secara harfiah melalui bahasa kutukan, muncul tafsir betapa mengerikan dan berbahayanya kriminalitas karena menghancurkan kemanusiaan. Orang merasakan aura mengerikan dari kejahatan tersebut dan para pengutuk berada dalam posisi yang kuat secara hukum (kosmologi-religi). Hanya kejahatan atau kriminalitas luar biasa yang biasanya diberi hukuman bahasa kutukan dan pengusiran. Yang terhina bukan hanya si pelaku, tapi juga seluruh masyarakat.

Maka, dalam kasus korupsi, yang menjadi masalah bukan hanya pilihan sebutan untuk koruptor agar diganti dengan, misalnya, maling, kecu, rampok, begal, dan seterusnya. Sebab, sebutan ini bisa berkonotasi “pahlawan” bagi sebagian orang. Yang kita butuhkan adalah bahasa kutukan secara nyata dan kolektif terhadap kehidupan koruptor.

Akibat vonis yang ringan, istilah koruptor kini menjadi diksi basi, tak lagi menyimpan aura mengerikan dalam kehidupan masyarakat. Kita tahu, bahaya bahasa klise adalah hilangnya kepekaan dan menguapnya kewaspadaan pada bahaya korupsi dalam sistem ekonomi politik. Tanpa bahasa kutukan, korupsi bisa terjerembap menjadi banyolan, tanpa rasa nyeri menusuk hati nurani.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
M. Fauzi Sukri

M. Fauzi Sukri

Penulis buku Bahasa Ruang, Ruang Puitik (2018)

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus