Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pemerintah ingin melebur Taspen dan Asabri ke BP Jamsostek.
Pengelolaan dua asuransi aparat buruk.
Mahkamah Konstitusi menolak upaya peleburan itu.
PUTUSAN Mahkamah Konstitusi membatalkan peraturan meleburkan PT Taspen (Persero) dan PT Asabri (Persero) ke Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BP Jamsostek) pantas dipertanyakan. Sebab, dengan putusannya, lembaga yang menjalankan kekuasaan kehakiman tersebut ibarat menolak keinginan pemegang saham membenahi dua perusahaan miliknya yang amburadul.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mahkamah mengabulkan permohonan uji materi empat poin di Pasal 57 dan 65 Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial karena menilai pengalihan program jaminan sosial pensiun dan tunjangan hari tua itu dapat merugikan peserta Taspen dan Asabri. Dengan demikian, kandaslah peluang negara untuk mengelola dana pensiun pegawai negeri serta Tentara Nasional Indonesia/Kepolisian RI secara lebih efektif dan efisien dalam kelembagaan tunggal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Putusan ini juga makin memperpanjang polemik soal kekuasaan berlebih Mahkamah Konstitusi. Dalam beberapa tahun terakhir muncul pertanyaan apakah lembaga tersebut memiliki kewenangan membuat norma baru dalam sebuah undang-undang (positive legislator). Sebab, menurut konstitusi, kekuasaan untuk membentuk undang-undang dimiliki oleh Dewan Perwakilan Rakyat bersama pemerintah.
Upaya meleburkan pengelolaan dana tersebut berlangsung sejak 2011, setelah kelahiran Undang-Undang BPJS. Cita-citanya, dengan tambahan aset sekitar Rp 290 triliun, terwujud badan pengelola keuangan besar seperti BPJS Kesehatan, saudara kembar BPJS Ketenagakerjaan—berganti nama menjadi BP Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) dan keluar dari bayang-bayang BPJS Kesehatan sejak dua tahun lalu. Sesuai dengan hukum bilangan besar, rencana ini akan menambah keekonomian dana kelola dan manfaat bagi peserta. Targetnya, alih kelola jaminan hari tua dan dana pensiun itu berlangsung pada 2029.
Namun, selama sepuluh tahun, semua pihak tak bergerak. Pemerintah juga abai dengan melewatkan begitu saja tenggat pembuatan peraturan soal teknis peralihan pada 2013. Kelambanan ini kemudian dipakai pengurus Taspen dan Asabri untuk bermanuver menjauhkan diri dari peleburan tersebut. Misalnya lewat kampanye perbedaan model bisnis serta risiko asuransi TNI/Polri dan masyarakat umum. Belakangan, nasabah tiap perusahaan mengajukan uji materi dan dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Putusan Mahkamah Konstitusi yang kontraproduktif tersebut membuat tertundanya momentum untuk bersih-bersih di dua perusahaan itu. Sebab, jika melebur, BP Jamsostek sudah memberi syarat menuntut penuntasan masalah keuangan di Taspen dan Asabri sampai yang paling kecil.
Sementara itu, kenyataannya borok keuangan mereka sangat besar. Lihat saja kasus korupsi Asabri. Dalam laporan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan 2019 terungkap bagaimana manajemen Asabri membiarkan Benny Tjokrosaputro dan Heru Hidayat seenaknya mengarahkan investasi triliunan rupiah yang berasal dari pemotongan gaji ratusan ribu prajurit. Ujung-ujungnya, negara merugi hingga Rp 10 triliun dan para prajurit, anggota polisi, serta pensiunan tak dapat menerima manfaat secara penuh. Ini jelas bukan kelalaian dan urusan perdata biasa, tapi merupakan pelanggaran pidana.
Pengelolaan dana pensiun tentara dan pegawai negeri yang dijalankan secara eksklusif juga rawan penyelewengan dan berisiko merugikan negara. Dengan berbentuk badan penyelenggara, akan ada dewan pengawas yang bertanggung jawab langsung kepada presiden. Maka transparansi dan akuntabilitas bisa meningkat serta lebih ada jaminan keuntungan Taspen dan Asabri kembali ke penerima manfaat, bukan ke segelintir pejabat dan pengusaha yang leluasa makan uang pensiunan prajurit dan polisi.
Dalam kalkulasi ekonomi, peleburan Taspen dan Asabri akan berdampak positif karena bakal mendongkrak dana kelolaan BP Jamsostek mencapai Rp 750 triliun. Dengan dana kelolaan sebesar itu, BP Jamsostek bakal memiliki kekuatan di pasar keuangan dan berpeluang mendapat imbal hasil besar.
Tersebab putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final, mau tidak mau pemerintah mesti menjalankannya. Namun pemerintah mesti konsisten bahwa penyatuan dua asuransi tetap akan dilakukan. Karena itu, pemerintah harus menyegerakan pembuatan undang-undang tentang format kelembagaan Taspen dan Asabri.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo