Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Homo Rhetoricus

Makna retorika tergelincir menjadi buruk. Padahal manusia tidak mungkin menghayati diri sebagai makhluk politik tanpa retorika.

9 Oktober 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Homo Rhetoricus

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Manusia adalah homo rhetoricus.

  • Makna retorika direduksi kamus sebagai keterampilan teknis memakai bahasa.

  • Perlu mengembalikan makna retorika agar politiik menjadi bermakna.

RETORIKA telanjur buruk. Dalam berita, retorika acap disandingkan dengan frasa “jangan hanya”. Pemimpin jangan hanya beretorika, misalnya. Sebuah portal berita menulis judul “Pancasila Masih Sebatas Retorika”. Dengan kata “masih” dalam judul itu, penulisnya menganggap Pancasila berhenti sebagai kata-kata, tanpa realisasi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di sini, retorika juga jadi identik dengan predikat “pandai bicara”. Orang yang pandai berbicara biasanya dianggap orang yang tidak pandai bekerja atau tidak jujur. Maka retorika pun dimaknai sebagai omong kosong, bahkan nyaris bohong. Retorika dimaknai sebagai ucapan yang tangkas dengan nilai kebenaran yang rendah bahkan nihil.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Merosotnya makna kata retorika dimulai oleh definisi Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). KBBI mendefinisikan retorika dalam tiga arti: keterampilan berbahasa secara efektif, studi pemakaian bahasa secara efektif dalam karang-mengarang, dan seni berpidato yang muluk-muluk dan bombastis. Dari tiga definisi ini, retorika diposisikan sebagai keterampilan teknis dan studi mengenai ketrampilan teknis memakai atau memanipulasi bahasa. Dengan mendefinisikan retorika lebih sebagai instrumen teknis, KBBI mengusir kebenaran dan nilai-nilai dalam retorika. Retorika dipandang sebagai pedang yang bisa dipakai garong, bisa juga dipakai pendekar budiman.

Peyorasi kata retorika sebagai hal yang nilai kebenarannya rendah bahkan nihil sedikit-banyak dipengaruhi oleh penggunaannya sebagai nama majas dalam bahasa Indonesia: majas retoris. Majas retoris diekspresikan melalui pertanyaan yang tidak memerlukan jawaban. Makna positif dan estetis pertanyaan retoris dimengerti dan terasa ketika ia dipakai dalam percakapan (sebagai parole).

Ketika difungsikan sebagai langue, definisi dan makna majas retoris sebagai pertanyaan yang tak memerlukan jawaban jatuh sebagai omong kosong. Dalam logika bahasa, pertanyaan yang tidak memerlukan jawaban secara definitif adalah pertanyaan yang tidak penting. Walhasil, kata retoris dalam frasa majas retoris memperparah kemerosotan makna retorika: yang retoris menjadi yang remeh, bohong, dan tanpa arti penting. Padahal pada mulanya retorika bersifat konstitutif, tidak hanya bagi politik, tapi juga penemuan manusia sebagai makhluk politik. 

Sebagai praktik ataupun ilmu, retorika mula-mula berkembang pada era demokrasi Yunani klasik, sekitar abad ke-5 sebelum Masehi. Pada masa itu, retorika menjadi praktik dan strategi yang sistematis untuk membangun komunikasi persuasif di arena politik, hukum, dan pendidikan. Semua filsuf dan sejarawan bersepakat bahwa kemunculan retorika bertaut erat dengan pendirian sistem demokrasi konstitusional di Yunani, yang mengharuskan setiap warga negara berpartisipasi dalam pengambilan keputusan.

Retorika pun menjadi konsekuensi logis dari cara baru dalam memaknai relasi manusia dengan politik. Dalam demokrasi Yunani, warga negara dikonsepsikan sebagai zoon echon logon, yakni makhluk yang memiliki logos, yang bukan lain adalah zoon politicon itu sendiri. Dengan begitu, politik pertama-tama hanya mungkin di dalam bahasa. Dengan kata lain, retorika adalah syarat dasar bagi politik. Politik ada di dalam retorika, retorika ada di dalam politik.

Dimensi substantif retorika ditegaskan lebih jauh oleh filsuf Jerman, Martin Heidegger. Dia mengatakan bahwa penyingkapan kebenaran hanya mungkin terjadi di dalam legein (bahasa, kata). Dengan berbicara, manusia mengekspresikan diri dan dunianya. Dengan begitu, legein merupakan basis konstitutif manusia (dasein). Heidegger mengkritik tafsir sempit yang memposisikan logos semata-mata sebagai rasio dan pengetahuan. Dalam filsafat Aristoteles, menurut Heidegger, logos tidak pernah diartikan sebagai “akal budi”, melainkan diskursus dan percakapan (rede, gespräch).

Ringkasnya, retorika pada hakikatnya adalah satu-satunya upaya etis-estetis manusia terlibat dalam politik. Menurut Aristoteles, syarat retorika, salah satunya, adalah syarat estetis yang meliputi elemen logos (argumentasi, data), ethos (kredibilitas), dan pathos (emosi).

Maka retorika sama sekali bukan omong kosong. Reduksi definisi oleh KBBI yang tak menangkap makna dasarnya membuat retorika acap dipakai dan dipahami secara salah kaprah. Padahal ia cara kita berekspresi dan berargumentasi. Sejauh politik dihayati sebagai yang retoris, terlepas dari kualitas estetisnya, retorika adalah pemisah yang legitim antara politik dan kekerasan.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Robertus Robet

Robertus Robet

Sosiolog Universitas Negeri Jakarta

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus