Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Karena Presiden Tak Bisa Terus Mengelak

Presiden jangan terus menghindar dalam urusan pegawai KPK yang tak lolos tes wawasan kebangsaan. Turuti rekomendasi Ombudsman.

9 Oktober 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Karena Presiden Tak Bisa Terus Mengelak

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Presiden Joko Widodo tak selayaknya lepas tangan menangani pegawasi KPK yang disingkirkan memakai tes wawasan kebangsaan.

  • Kewenangan ada di tangan Jokowi jika ia benar pro pemberantasan korupsi.

  • Harapan yang muluk?

PRESIDEN Joko Widodo tak bisa lagi bersikap masa bodoh terhadap nasib 57 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi. Pemecatan sewenang-wenang yang para pegawai itu alami tak hanya mengakhiri karier mereka di komisi antirasuah, tapi juga makin membenamkan agenda pemberantasan korupsi di negeri ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Akhir September lalu, Ketua KPK Firli Bahuri memecat 57 pegawai yang dianggap tidak lulus tes wawasan kebangsaan. Firli tak hanya menutup telinga terhadap semua kritik. Dia bahkan mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi bahwa alih status menjadi aparatur sipil negara jangan sampai merugikan pegawai komisi antirasuah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Peragaan kekuasaan sewenang-wenang yang dilakukan Firli, mau tidak mau, membuat kita menoleh kepada Presiden Joko Widodo. Sebab, berdasarkan undang-undang hasil revisi, KPK kini menjadi bagian dari pemerintah.

Pada Mei lalu, ketika penggusuran 57 pegawai KPK lewat tes wawasan kebangsaan baru bergulir, Presiden melalui akun YouTube menyatakan sependapat dengan Mahkamah Konstitusi. Jokowi juga memerintahkan pimpinan KPK, Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, serta Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) merancang tindak lanjut alih status semua pegawai yang dianggap tidak lulus tes. Namun para pejabat bawahan Presiden mengabaikan perintah tersebut. Jokowi pun tidak melakukan tindakan apa pun.

Menjelang tenggat pemecatan pegawai KPK, Kepala Kepolisian RI Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengklaim bahwa Presiden menyetujui usul untuk merekrut para pegawai itu menjadi aparatur sipil negara di kepolisian. Jika terlaksana, gagasan Listyo boleh jadi menjadi exit strategy bagi pemerintah, di tengah kritik publik yang terus bergema. Nyatanya, rencana Listyo tak kunjung jelas ujungnya. Kesan yang segera muncul, Listyo seperti terkunci dalam permainan kekuasaan di balik penggusuran pegawai KPK.

Sudah cukup buat Jokowi menjadi bagian dari kelompok pejabat dan politikus yang turut melemahkan KPK, lewat revisi undang-undang serta pengangkatan Firli dan kawan-kawan menjadi pemimpin lembaga itu. Kini Jokowi seharusnya tidak membiarkan Firli berlaku sewenang-wenang. Sebab, hal itu akan makin menggerus wibawa Presiden saja.

Untuk menyelamatkan marwah sebagai kepala pemerintahan, Jokowi bisa memulai dari rekomendasi Ombudsman Republik Indonesia. Pada Juli lalu, Ombudsman menemukan pelanggaran administrasi dalam proses pembentukan aturan hingga pelaksanaan tes wawasan kebangsaan. Karena itu, Ombudsman meminta Ketua KPK dan Kepala BKN membenahi prosedur seleksi dan memulihkan status kepegawaian staf KPK tersebut. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia belakangan memperkuat temuan dan rekomendasi Ombudsman.

Namun KPK dan BKN mengabaikan catatan kedua lembaga itu. Padahal Pasal 38 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman, misalnya, mewajibkan pejabat terlapor dan atasan terlapor melaksanakan rekomendasi lembaga ini. Presiden sebagai atasan KPK dan BKN semestinya memastikan kedua lembaga tersebut mematuhi rekomendasi Ombudsman. Presiden yang mengabaikan perintah undang-undang jelas contoh buruk bagi masyarakat.

Jokowi seharusnya tidak terus mengelak, misalnya dengan mengatakan, “Jangan apa-apa ditarik ke Presiden.” Dari sisi kemanusiaan, Jokowi bertanggung jawab memastikan bahwa hak Novel Baswedan dan kawan-kawan pegawai KPK tidak dirampas secara tidak adil. Lebih dari itu, Jokowi punya kewajiban hukum, politik, dan etis untuk mencegah pembusukan agenda pemberantasan korupsi di negeri ini.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus