Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Ogah-ogahan Merampas Aset Pelaku Pidana

Badan Legislasi DPR kembali menjegal RUU Perampasan Aset Tindak Pidana. Padahal Indonesia membutuhkannya.

9 Oktober 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ogah-ogahan Merampas Aset Pelaku Pidana

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Badan Legislasi DPR kembali menjegal RUU Perampasan Aset Tindak Pidana.

  • Indonesia membuthukan RUU Perampasan Aset untuk membuat ekonomi transparan.

  • Banyak negara maju menerapkan aturan ini.

RENDAHNYA komitmen pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat dalam melawan kejahatan ekonomi bisa dilihat pada berlarutnya pembentukan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset Tindak Pidana. Alotnya proses ini kontras dengan langkah secepat kilat ketika mereka merevisi undang-undang untuk mengebiri kekuatan Komisi Pemberantasan Korupsi pada 2019.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hampir satu dekade sejak naskah akademiknya selesai disusun Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia pada 2012, RUU Perampasan Aset Tindak Pidana baru diusulkan ke DPR pada Desember 2019. Padahal Dewan sudah memasukkannya ke Program Legislasi Nasional 2015-2019. Berganti periode keanggotaan, Dewan kembali menempatkan rancangan itu dalam Program Legislasi 2020-2024. Namun rapat Badan Legislasi pada akhir September lalu mencoretnya dari prioritas 2021. Mereka beralasan waktu untuk membahasnya terlalu singkat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dewan menyatakan akan memasukkan rancangan undang-undang itu pada prioritas tahun depan. Tapi Badan Legislasi juga memasang perangkap lain: semua fraksi harus menyetujuinya. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, yang merupakan pendukung utama pemerintah, termasuk kelompok yang ogah-ogahan. Menteri Hukum dan HAM Yasonna Hamonangan Laoly, yang merupakan kader partai berlogo kepala banteng itu, jelas tak bersungguh-sungguh mengajukannya ke DPR. Hal itu terlihat dari waktu pengajuannya yang mendekati akhir tahun.

Aturan hukum perampasan aset hasil kejahatan ini sangat dibutuhkan untuk mengejar pengembalian uang negara dari tindak pidana korupsi, narkotik, perpajakan, kepabeanan, cukai, dan kejahatan ekonomi lain. Selama ini, kekosongan hukum itu sering dimanfaatkan para pelaku untuk menyembunyikan dan menyamarkannya, lalu menguasai kembali setelah menjalani masa hukuman.

Pengejaran kerugian negara membutuhkan waktu yang lama lantaran harus melalui serangkaian proses hukum berkepanjangan. Penyitaan pun hanya bisa dilakukan terhadap aset yang merupakan barang bukti. Dalam banyak kasus, penegak hukum kesulitan memilah harta yang merupakan hasil kejahatan. Aparat selalu kalah cepat karena hartanya sudah dilarikan ke luar negeri atau berpindah tangan. Undang-Undang Perampasan Aset Tindak Pidana menyediakan terobosan karena memungkinkan perampasan aset tanpa sidang ketika terpidana gagal membuktikan asal-usul asetnya.

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan mengakui tingkat pemulihan kerugian negara rendah. Menurut kajian Indonesia Corruption Watch, kerugian negara dari tindak korupsi pada 2020 berdasarkan putusan pengadilan mencapai Rp 56,7 triliun. Sedangkan uang pengganti sebagai hukuman tambahan hanya Rp 8,9 triliun. Itu pun bukan angka riil yang bisa dikembalikan kepada negara. Kejaksaan Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi seharusnya mengumumkan realisasi putusan pengadilan itu.

Undang-Undang Perampasan Aset Tindak Pidana bukan semata untuk menyelamatkan keuangan negara, juga akan bermuara pada kemudahan pelacakan dan pertukaran informasi mengenai aset-aset gelap antarnegara. Saat ini kebanyakan negara di dunia telah menerapkan perampasan aset tanpa tuntutan pidana yang diatur dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Antikorupsi (UNCAC) tahun 2003. Pemerintah Indonesia telah meratifikasi konvensi itu pada 2006.

Tanpa aturan hukum yang mendukung pelaksanaan konvensi itu, Indonesia bisa menjadi surga penyembunyian aset. Negara ini akan menjadi negara paria. Saat ini, Indonesia merupakan satu-satunya negara G-20 yang belum diterima menjadi anggota Kelompok Kerja Aksi Keuangan untuk Pencucian Uang atau FATF. Alasannya, negara ini belum memenuhi 40 rekomendasi, termasuk mengakui pentingnya rezim perampasan aset tanpa pemidanaan.

Pemerintah dan DPR seyogianya tak menunda lagi pembahasan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana yang sudah berusia ratusan purnama itu.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus