Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pada 1789 meledak Revolusi Prancis yang mengusung liberté, égalité, fraternité.
Cita-cita itu gagal meski huru-hara tersebut berhasil menggulingkan raja.
Perang Saudara Prancis 1871 meletus, mengusung kembali semangat liberté, égalité, fraternité, tapi padam dalam 70 hari.
SEORANG lelaki bugil, kurus, dengan mata ditutup dan kaki diikat, tampak dalam posisi merangkak. Di punggungnya yang kerempeng duduk gembira tiga lelaki gemuk seperti asyik mengendarai kuda yang reyot....
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gambar yang aneh itu saya temukan dalam lemari kecil yang ditinggalkan bapak saya. Ketika saya belajar “sejarah dunia” di SMP, baru saya tahu, adegan yang tak enak dilihat itu dari sebuah kartun Revolusi Prancis di abad ke-18: kiasan tentang rakyat jelata, yang menderita sakit dan miskin, ditindas kekuasaan-kekuasaan besar, dan akhirnya berontak dalam revolusi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tentu gambar itu berkata lebih banyak ketimbang yang saya pahami. Tapi rasanya saya tak amat keliru: kartun itu dengan marah mengiaskan tiadanya “kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan”, liberté, égalité, fraternité, di masyarakat. Pendek kata, cerita pahit kesewenang-wenangan.
Bahwa Bapak menyimpan kartun itu saya duga ada hubungannya dengan riwayat hidupnya yang ruwet dan tak lurus: beberapa kali dipenjara, ia ikut pemberontakan komunis di tahun 1926—yang ia sangka sebuah “revolusi” dan ternyata sebuah ikhtiar yang tergopoh-gopoh. Ia ditangkap. Pemerintah kolonial membuangnya jauh ke Boven Digul bersama ribuan orang Kiri lain. Di tahun 1945, Indonesia merdeka. Bapak dan Ibu sudah kembali ke Jawa, tapi ketika pasukan Belanda merebut kembali kota kami di tahun 1947, Bapak ditangkap dan dieksekusi.
Agaknya itu juga yang membuat kartun itu membekas dalam ingatan saya. Liberté, égalité, fraternité. Semboyan itu mudah diucapkan meskipun dalam bahasa Prancis, dan dalam sejarah, mudah menggugah. Tapi bertahun-tahun saya (dan bukan hanya saya) tak juga bisa menjawab: bagaimana kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan bisa dibangun di dunia, sementara ketimpangan yang ditanggung si miskin terus-menerus terjadi?
Revolusi Prancis di tahun 1789 mengguncang peta dan sejarah. Perubahan radikal di Prancis itu mengilhami banyak perubahan sosial-politik sesudahnya. Keyakinannya beranak pinak di abad 19, 20, 21. Juga sampai ke luar Prancis: Haiti, Rusia, Tiongkok, Indonesia... dengan intensitas dan efek yang berbeda-beda.
“Tak ada yang seperti mimpi untuk menciptakan masa depan,” kata Victor Hugo, yang dalam Les Miserables mengabadikan sebuah “revolusi” di Paris.
Tapi masa depan tak bisa dipisahkan dari masa kini. Revolusi Prancis 1789 akhirnya seakan-akan berjalan mundur. Ia gagal mengukuhkan liberté, égalité, fraternité. Hanya tujuh tahun setelah raja dipotong lehernya dengan guillotine, Napoleon—seorang opsir tentara—mengambil alih kekuasaan. Ia mengangkat diri jadi Maharaja, tanpa mengizinkan uskup meresmikan penobatannya; ia sendiri meletakkan mahkota di kepala.
Dan Revolusi 1789 disetop.
Meskipun Les Miserables Victor Hugo berkisah tentang perlawanan dramatis rakyat miskin dari balik barikade-barikade di jalan raya, pemberontakan Juni 1832 itu—yang sebagian besar didukung kaum buruh yang hendak mencegah kembalinya kekuasaan monarki—berumur tak sampai seminggu. Tanpa hasil. Louis-Philippe tetap jadi raja. Monarki tetap teguh. Tak nyaring lagi pekik liberté, égalité, fraternité. Yang bergema Vive le Roi!, hidup sang baginda!
Pada 1871 meletus pembangkangan yang lebih dramatis. Marx menyebutnya sebagai “der Bürgerkrieg in Frankreich”, “Perang Saudara Prancis”: konflik berdarah yang brutal selama kurang-lebih 70 hari antara pasukan pemerintah yang bertempat di Versailles dan rakyat Paris yang membentuk sebuah “komune”. Komune ini, ditopang kaum buruh, pejuang perempuan, para cendekiawan kiri, para miskin kota, dan entah apa lagi, merasa siap menggantikan Raja Napoleon III. Raja Prancis ini toh sudah kalah secara memalukan dalam perang singkat melawan Prusia.
Dan Komune Paris tak hanya merebut kekuasaan. Ia dengan segera membawakan program liberté, égalité, fraternité yang sangat maju untuk masanya. Marx dan Engels menganggapnya sebuah tauladan. Tapi hidup komune ini seperti sejarah pembangkangan sebelumnya—juga sebentar. Bermula bulan Maret, dihabisi Mei 1871. Selama satu minggu “Pekan Berdarah”, 25 ribu orang communard dibantai tentara.
Cita-cita kesetaraan, yang diusung kaum sosialis, sekali lagi gugur.
Sampai dengan 150 tahun kemudian. Kini Prancis dan seluruh dunia bahkan memasuki zaman yang disebut Thomas Piketty sebagai “hiperkapitalis”. Menurut hitungan ekonom Prancis yang tekun dengan statistik itu, harta orang kaya di dunia sekarang tumbuh lima kali lebih cepat dibanding penghasilan global. Yang juga penting: jika di masa lalu perubahan ke arah égalité didahului jalan keras politik, kini pentas hanya diramaikan benturan yang elegan antara “kaum Brahmana Kiri” (gauche brahmane) dan para “Saudagar Kanan” (droite marchande).
Dalam Capital et idéologie, Piketty menunjukkan bahwa benturan para “brahmana” dengan “saudagar” itu tak cukup jadi katalisator kesetaraan sosial. Seraya menelaah hasil survei politik di Amerika, Inggris, Prancis, Piketty mencatat sesuatu yang lain: berjangkitnya “populisme”, pandangan dan sikap golongan yang tak cukup terdidik yang merasa diabaikan, yang umumnya marah dan curiga kepada kaum “elite”, “brahmana”, dan yang sejenis itu.
Kegetiran mereka tentu tak bisa digambarkan dalam sosok kurus yang ditunggangi orang-orang gemuk seperti di Prancis pra-Revolusi. Tapi karikatur yang saya lihat itu tetap tak terlupakan. Di sana tersirat luka panjang dalam sejarah—juga kecemasan bahwa manusia tak kunjung bisa menyembuhkannya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo