Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JIKA Jumat pekan lalu Komisi Yudisial membentuk tim untuk memeriksa putusan hakim terhadap kasus jaksa Esther dan Dara, itu suatu tindakan bagus. Tapi tentu kita tak perlu bersorak lebih dulu, karena masyarakat sudah lama tak percaya pada sistem peradilan di negeri ini. Sudah begitu banyak putusan yang semakin jauh dari rasa keadilan masyarakat.
Kasus jaksa Esther Tanak dan Dara Veranita merupakan salah satunya. Kasus ini berakhir seperti sebuah film dengan skenario buruk. Putusan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara atas kasus penggelapan 343 butir ekstasi yang melibatkan dua jaksa itu terasa tidak wajar. Vonis bagi mereka berdua sungguh ringan: Esther divonis satu tahun penjara dan denda Rp 5 juta, sedangkan Dara mendapat vonis bebas.
Bila Ketua Komisi Yudisial menganggap ada yang berbau anyir dari vonis hakim itu, tentu ia mewakili pandangan kebanyakan orang. Kasus penggelapan 343 butir ekstasi ini telah menjadi sorotan masyarakat karena penegak hukum tersangkut. Kasus ini melibatkan Irfan, anggota Kepolisian Sektor Pademangan, Jakarta Utara; Jenanto, kurir yang bertugas menjual ekstasi itu; serta dua jaksa Esther Tanak dan Dara Veranita. Bersama Irfan dan Jenanto, Esther dituduh bersekongkol menggelapkan barang bukti ekstasi dari perkara yang tengah ia tangani. Ekstasi itu, menurut tuduhan, dibarter dengan telepon seluler BlackBerry Bold dan Nokia.
Kasus ini mulai terasa ganjil ketika beberapa bulan silam jaksa Esther Tanak dan Dara Veranita, yang berada dalam tahanan polisi, dilepas dengan alasan yang terkesan dibuat-buat: belum ada surat izin Jaksa Agung untuk memperpanjang penahanan dua jaksa itu. Kasus terasa semakin aneh ketika Esther dan Dara dituntut jauh lebih ringan ketimbang ancaman hukumannya. Esther dituntut satu tahun enam bulan penjara dan Dara dituntut sepuluh bulan penjara.
Dalam sidang sebelumnya, Agus Sirait, jaksa penuntut kasus ini, menyatakan bahwa dengan bukti-bukti yang ada, kedua jaksa itu terbukti bersekongkol mengedarkan bahan terlarang psikotropika. Terakhir, hakim menjatuhkan vonis ringan kepada Esther dan putusan bebas untuk Dara. Padahal seharusnya penegak hukum, yang diharapkan sebagai penjaga sistem hukum kita, menjadi benteng terdepan penegakan hukum. Sungguh ganjil dan berbau anyir.
Ketidakadilan semakin nyata manakala kita bandingkan vonis untuk Esther dengan vonis untuk Amir Machmud. Sopir Badan Narkotika Nasional itu diganjar empat tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Barat gara-gara menyimpan sebutir ekstasi. Sebutir! Sedangkan Esther berurusan dengan 343 butir ekstasi dan hukumannya hanya setahun.
Dengan bau anyir yang luar biasa itu, pembentukan tim oleh Komisi Yudisial untuk menelisik kasus ini merupakan keharusan. Tim perlu didukung dan dimonitor. Menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004, Komisi Yudisial merupakan lembaga negara yang bersifat mandiri. Dalam pelaksanaan wewenangnya, Komisi bebas dari campur tangan atau pengaruh kekuasaan lainnya. Artinya, dalam melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim, Komisi tak boleh diganggu oleh pihak mana pun. Kita menanti kerja Komisi Yudisial bukan hanya untuk menghilangkan bau anyir pada setiap vonis yang ganjil, melainkan juga untuk mengembalikan sistem peradilan pada tujuan mulianya: berlaku adil pada siapa pun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo