Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INILAH yang terjadi jika vonis hakim mengusik rasa keadilan: rakyat bergerak. Caranya kreatif, unik, dan jatmika—dengan judul ”Koin Keadilan Prita”. Gerakan spontan masyarakat mengumpulkan recehan ini dipicu oleh vonis perdata Pengadilan Tinggi Banten, yang mendenda Prita Mulyasari Rp 204 juta. Ibu dua anak itu didakwa mencemarkan nama baik dua dokter Rumah Sakit Omni Internasional.
Gerakan masyarakat ini layak didukung karena bertujuan mulia dan egaliter. Ia semata-mata diniatkan membantu meringankan beban Prita, yang harus membayar denda tak masuk akal bila dibandingkan dengan penghasilannya. Publik merasa vonis itu tidak adil, dan tidak seharusnya Prita mendapatkannya. Apalagi masyarakat melihat proses persidangan diwarnai banyak kejanggalan.
Para hakim, baik di tingkat pengadilan negeri maupun pengadilan tinggi, misalnya, terkesan enggan melihat permasalahan ini secara menyeluruh, tak mau menelusuri kasus ini dengan jernih dan tidak berpihak. Hakim sama sekali tak melihat alasan Prita menulis surat elektronik tersebut dan tak mempelajari kasus ini dengan memakai filosofi sebab dan akibat.
Tindakan hakim, yang berkukuh memakai Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, juga patut dipertanyakan. Undang-undang itu masih polemis, karena sangat mudah digunakan menjerat hak bicara seseorang yang mungkin haknya dilanggar oleh yang lain. Padahal ada beberapa undang-undang lain yang dapat digunakan hakim untuk memutuskan perkara ini, agar selaras dengan rasa keadilan masyarakat.
Contohnya undang-undang tentang kesehatan, yang baru saja disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat pada 24 September 2009. Undang-undang ini menggantikan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992. Di dalamnya ada pasal yang mengatur bahwa ”setiap orang berhak memperoleh informasi tentang data kesehatan dirinya, termasuk tindakan dan pengobatan yang telah maupun yang akan diterimanya dari tenaga kesehatan”.
Prita nyaris tidak mendapatkan haknya itu, sehingga publik pun merasa terusik rasa keadilannya. Mereka melawan dengan cara mengumpulkan recehan sebagai simbol keadilan yang dilecehkan. Sebagai gerakan sosial baru, Koin Keadilan menghapus batas-batas antara si miskin dan si kaya. Recehan merupakan mata uang yang dimiliki semua kalangan, dari anak-anak hingga orang tua, dari pemulung sampai pejabat tinggi. Koin membuat semua orang mampu berpartisipasi.
Gerakan sosial ini penting, sebagai bukti bahwa orang Indonesia masih memiliki kepedulian dan solidaritas sosial yang tinggi. Ia juga mengingatkan kita bahwa orang yang layak dibantu ada di mana-mana. Bukan hanya kaum rudin dan korban bencana alam yang wajib ditolong, melainkan juga mereka yang lemah di mata hukum. Mereka adalah korban bobroknya sistem peradilan dan begitu berkuasanya mafia hukum di Indonesia.
Di masa depan, gerakan sejenis ini patut diulang kembali untuk membantu Prita-Prita lainnya. Seandainya nanti gugatan dicabut dan Prita tak perlu membayar denda, koin yang telah terkumpulkan pun masih bisa dipakai untuk kegiatan sosial lain. Sedangkan para penegak hukum mestinya melihat fenomena sosial ini sebagai cermin. Tindakan dan keputusan mereka sering kali tak selaras dengan rasa keadilan masyarakat. Berbenah dirilah sejak sekarang, sebelum digilas oleh gerakan sosial lain yang lebih besar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo