Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Menjaring Rp 1,2 Triliun Harta Timor

8 September 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Deposito PT Timor Putra Nasional senilai Rp 1,2 triliun dipindah ke rekening pemerintah, dua pekan lalu. Tindakan penyelamatan uang negara ini—kendati agak lambat—sudah benar. Pasalnya, cukup kuat indikasi yang menunjukkan perusahaan milik Tommy Soeharto ini telah mencoba menguasai kembali aset-asetnya yang diserahkan ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional dengan cara gelap.

Para penyidik negara, misalnya, telah mencium keterkaitan PT Vista Bella Pratama dengan perusahaan Tommy. PT Vista Bella diduga adalah perusahaan akal-akalan yang digunakan untuk membeli hak tagih BPPN terhadap PT Timor senilai Rp 4,5 triliun dengan harga hanya sepersebelasnya. Keterkaitan itu terendus dari aliran dana yang digunakan untuk membayar BPPN dan kenyataan bahwa komisaris Vista pun ternyata seorang tukang servis penyejuk udara.

Kendati hanya perusahaan kertas, PT Vista Bella terkesan canggih. Selain mampu membeli hak tagih PT Timor dan dua perusahaan milik Tommy Soeharto lainnya dengan harga lebih dari setengah triliun rupiah, perusahaan ini nyaris berhasil meraih deposito PT Timor di Bank Mandiri senilai Rp 1,2 triliun. Hal ini dimungkinkan karena perusahaan yang, walaupun alamatnya palsu, ternyata mampu mengalahkan Bank Mandiri dan pemerintah di pengadilan negeri dan pengadilan tinggi.

Kekalahan pemerintah di pengadilan ini sungguh mencurigakan. Kuat dugaan tim pejabat dan pengacara pemerintah dalam kasus ini telah ”masuk angin”. Dugaan ini bukan tanpa dasar karena jaksa Urip Tri Gunawan, yang telah divonis 20 tahun penjara karena menerima suap dari Artalyta Suryani, adalah salah satu anggota tim. Selain itu, tim pemerintah tak mampu menghadirkan bukti-bukti dokumen asli dengan alasan lemari penyimpan dokumen BPPN itu telah hilang dicuri.

Majalah ini berharap keseriusan pemerintah dan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam mengusut kasus ini menjadi langkah awal untuk mengungkap berbagai kebobrokan lain dalam penjualan aset BPPN. Masalahnya, kerugian yang ditanggung masyarakat akibat tindakan patgulipat di lembaga penyehatan bank ini sungguh besar. Bayangkan, dari piutang bank senilai hampir Rp 700 triliun yang diambil alih BPPN, ternyata akhirnya hanya menghasilkan uang tak sampai Rp 180 triliun.

Memang tak mungkin, dan tak masuk akal, mengharapkan pemerintah dapat meraih kembali semua piutang itu. Selisih yang terjadi boleh dikata merupakan ongkos yang harus dibayar untuk mengatasi krisis moneter yang terjadi. Masalahnya hanyalah karena sebagian pengemplang utang yang ulahnya menjadi penyebab krisis ternyata membeli kembali aset-aset mereka dengan harga amat murah secara melanggar hukum. BPPN secara jelas telah menyatakan bahwa pemilik asal dilarang membeli kembali aset mereka.

Larangan ini merupakan upaya menegakkan rasa keadilan. Soalnya, upaya menyehatkan sektor perbankan nasional telah menguras kas negara senilai sekitar Rp 600 triliun. Biaya yang didanai berbagai surat utang dan obligasi negara ini sekarang harus dibayar dengan cicilan. Tahun ini saja jumlah cicilannya sekitar Rp 60 triliun, alias empat kali lipat anggaran bantuan langsung tunai kepada 14 juta keluarga miskin Indonesia.

Belum lagi jika ditambah dengan ongkos yang telah dibayar untuk tetap menjaga kesehatan industri perbankan nasional. Tahun lalu, misalnya, sekitar Rp 30 triliun dibayarkan untuk mendukung subsidi Sertifikat Bank Indonesia, yang ujung-ujungnya dinikmati para pemilik bank dan mereka yang punya uang di atas Rp 100 juta.

Berbagai belanja subsidi ini mungkin masih dapat diterima, kendati dengan rasa amat pahit, seandainya diasumsikan para pengusaha penerimanya memanfaatkannya untuk membangun usaha yang sehat di Indonesia. Bukankah perusahaan yang sehat menampung tenaga kerja yang banyak dengan gaji layak dan menyisihkan sebagian keuntungannya untuk membayar pajak? Bukankah dengan penghasilan pajak yang terus bertambah, pemerintah tentu makin mudah membangun berbagai infrastruktur, seperti sarana pendidikan dan kesehatan, untuk kesejahteraan rakyat?

Harapan ini, sayangnya, banyak dikecewakan. Kebanyakan konglomerat yang menikmati subsidi ini ternyata malah melakukan tindakan jahat dengan menyuap para pejabat negeri dan menguasai kembali aset-asetnya dengan murah. Mereka juga lebih suka membayar pajak di negeri tetangga dengan cara melakukan transfer pricing. PT Asian Agri Indonesia milik taipan Sukanto Tanoto, yang pernah dinobatkan sebagai orang Indonesia terkaya oleh majalah Forbes, malah sedang disidik Direktorat Jenderal Pajak karena diduga menggelapkan pajak senilai Rp 1,3 triliun alias lebih besar daripada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah DI Yogyakarta.

Penyidikan pajak PT Asian Agri ini dan penyitaan deposito PT Timor mudah-mudahan menjadi awal ketegasan pemerintah untuk mengubah ketidakadilan yang berlangsung sejak krisis moneter 1997 itu. Indonesia adalah negara yang amat kaya. Bahwa ternyata sekitar seratus juta penduduknya masih hidup miskin, berpenghasilan di bawah U$ 2 setiap hari, menunjukkan masih banyaknya salah urus di negeri ini.

Salah urus itu yang harus segera dibenahi. Mengungkap tuntas kasus penjualan aset PT Timor Putra Nasional dan menindak para pelakunya sesuai dengan hukum adalah langkah awal yang mesti diteruskan. Siapa pun yang terlibat wajib ditindak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus