Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Merangkul Warga Kita di Suriah

Kisah ratusan warga negara Indonesia di Suriah menimbulkan rasa duka sekaligus dilema.

15 Juni 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di antara mereka, banyak yang tewas atau ditahan otoritas Kurdistan yang berkuasa di sana setelah kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) kalah perang. Tak sedikit pula—terutama wanita dan anak-anak—yang merana di tempat pengungsian.

Urusan para WNI itu menjadi dilematis karena mereka sebelumnya bergabung dengan ISIS—kelompok radikal yang dimusuhi banyak negara. Kelompok ISIS tidak hanya berperang di Irak dan Suriah, tapi juga menebar teror di banyak negara, termasuk Indonesia. Kini, pantaskah mereka diterima kembali sebagai warga negara Indonesia?

Dari sisi kemanusiaan, mereka jelas layak dirangkul lagi. Hanya, ada aspek politik yang mengganjal. Kalau diterima kembali, bukankah mereka bakal menularkan virus radikalisme di dalam negeri? Dilema seperti ini tidak hanya muncul di Indonesia, tapi juga di negara-negara lain. Beberapa negara di Eropa bahkan terang-terangan menolak warga negara yang telah bergabung dengan ISIS.

Pemerintah Indonesia perlu menghindari dilema itu lewat kebijakan jalan tengah: menekankan sisi kemanusiaan tanpa mengabaikan aspek politik. Kita bisa memulangkan WNI bekas anggota ISIS asalkan mereka bersedia ikut dalam program deradikalisasi. Pemerintah perlu segera mengirim tim untuk melaksanakan misi itu. Wanita dan anak-anak yang berada di pengungsian bisa dipulangkan lebih dulu.

Kini terdapat lebih dari 73 ribu pengungsi di Al-Hawl, Suriah. Dari jumlah itu, 11.039 orang berasal dari luar negara Irak dan Suriah, termasuk Indonesia. Jumlah pengungsi membeludak setelah kantong terakhir ISIS di Desa Baghouz al-Fawqani, Dayr az-Zawr, digempur pasukan Kurdistan Suriah pada Maret lalu.

Laporan majalah ini menyebutkan sekitar 200 wanita dan anak-anak asal Indonesia kini mengungsi di Al-Hawl. Aisyah Retno, 35 tahun, asal Kabupaten Aceh Tenggara, salah satu pengungsi yang malang itu. Ia harus bertahan hidup di tenda kecil dengan fasilitas yang minim. Untuk mendapat jatah air buat mandi, Aisyah sampai harus menanti dua hari. Untuk menambal kebutuhan hidup, ia dan rekan-rekannya asal Indonesia berjualan makanan ringan.

Pemerintah semestinya tidak sulit memulangkan Aisyah dan kawan-kawan. Mereka tidaklah masuk kategori pengungsi yang diatur dalam hukum internasional. Sesuai dengan Konvensi Pengungsi 1951, pengungsi adalah mereka yang terusir dari negaranya. Mereka takut pulang karena bisa menjadi korban kekerasan atas nama ras, agama, atau politik. Pengungsi dalam pengertian ini tidak boleh dikembalikan ke negara asal karena hal itu akan membahayakan keselamatan mereka.

Adapun WNI yang pergi ke Suriah itu bukan karena terusir, melainkan terpapar ideologi radikal. Aisyah dan kawan-kawan juga belum kehilangan status WNI. Sesuai dengan Undang-Undang Kewarganegaraan, seseorang akan kehilangan kewarganegaraan apabila menjadi warga negara lain atau bergabung dengan tentara asing. Masalahnya, ISIS hanyalah kelompok radikal, bukan sebuah negara yang diakui dunia.

Kendati begitu, kita perlu mengambil kebijakan yang sedikit berbeda untuk WNI yang ikut angkat senjata dan berstatus tahanan perang. Pemerintah harus menghormati proses hukum yang dilakukan otoritas di Suriah dan Mahkamah Internasional.

Cukup banyak WNI yang kini mendekam di penjara Suriah. Salah satunya Ubaid Mustofa Mahdi, 29 tahun. Bergabung dengan ISIS pada 2015, ia bersama empat rekannya dari Indonesia menyerahkan diri kepada otoritas di Suriah dua tahun kemudian. Jika lelaki asal Solo itu tidak terlibat dalam kejahatan perang, lalu dilepas, ia seharusnya bisa diterima lagi sebagai warga negara Indonesia. Sebelumnya, pemerintah juga menerima kembali 18 WNI mantan anggota ISIS yang pulang dari Suriah pada 2017.

Langkah lain yang perlu disiapkan pemerintah adalah menyusun program deradikalisasi bagi bekas anggota ISIS dan keluarganya. Undang-Undang Terorisme yang direvisi tahun lalu telah mengatur hal ini. Sasaran deradikalisasi bukan hanya bekas narapidana kasus terorisme, melainkan juga orang yang terpapar ideologi radikal.

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, yang bertanggung jawab mengadakan program tersebut, perlu melibatkan banyak pihak, terutama kalangan ulama. Dengan cara ini, penularan virus radikalisme ISIS bisa dicegah. Jika program deradikalisasi berhasil, BNPT bahkan bisa menugasi orang seperti Aisyah dan Ubaid mengkampanyekan antiradikalisme di negara kita.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus