Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Toriq Hadad
@thhadad
Merdeka itu bisa berarti bebas dari penjajahan, bisa juga bermakna bebas dari pertikaian.
Pada hari kemerdekaan, untuk pertama kalinya semua mantan presiden menghadiri upacara "tujuh belasan" di Istana memenuhi undangan Presiden Jokowi. Saya bungah menyaksikan Susilo Bambang Yudhoyono bersalaman dengan Megawati- kesempatan langka bagi kedua bekas presiden yang selama ini berjarak itu. Terasa kita lebih "merdeka" menyaksikan contoh baik dari Istana itu.
Kebetulan di sekitar hari kemerdekaan itu Tempo, bersama Universitas Terbuka, menyelenggarakan turnamen tahunan pingpong nasional pelajar. Saya takjub melihat 850 atlet- separuhnya pelajar- bertanding sepenuh hati. Padahal kita sebenarnya belum "merdeka" dalam urusan pingpong ini.
Induk organisasi pingpong masih "berkepala dua". Dua induk organisasi pingpong sama-sama mengaku punya kewenangan mengatur olahraga rakyat ini. Yang satu Pengurus Pusat Persatuan Tenis Meja Seluruh Indonesia (PP PTMSI) dipimpin Oegroseno, mantan Wakil Kepala Polri. Satu lagi Pengurus Besar PTMSI yang diketuai Lukman Edy, anggota DPR. Yang satu merasa berhak lantaran memenangi gugatan sampai Mahkamah Agung; satu lagi merasa ditunjuk Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI).
Menteri Olahraga sudah berganti, tapi kusut masai pingpong ini belum juga rampung. Yang merugikan, dualisme pengurus di tingkat pusat itu sudah merembet luas ke banyak daerah. Kabarnya sudah 27 provinsi yang memiliki pengurus pingpong ganda yang saling bersitegang. Korban sudah jatuh: pembinaan atlet terbengkalai di banyak daerah.
Tahun depan Indonesia menjadi tuan rumah Asian Games. Apa kata komunitas pingpong dunia menyaksikan tuan rumah gagal menyatukan organisasi pingpongnya sendiri? Di SEA Games yang sedang berlangsung di Malaysia, tim pingpong hanya ditangani kubu "PP"-Oegroseno. Akibatnya, pemain-pemain putri terbaik Jawa Timur, yang merupakan juara nasional, menolak datang seleksi karena mereka menginduk kepada "PB"-Lukman Edy.
Oegroseno dan Lukman perlu belajar dari atlet pingpong Zhuang Zedong dari Cina dan Glenn Cowan dari AS. Kita tahu, pada 1971, ketika keduanya bertemu secara tak sengaja di kejuaraan dunia tenis meja di Nagoya, hubungan diplomatik Cina dan AS terputus. Cowan, yang ketinggalan bus, terpaksa menumpang bus pemain Cina.
Ketika atlet Cina lain memilih diam, Zhuang menyapa Cowan. Zhuang sebenarnya dilarang berbicara dan berjabat tangan dengan atlet Amerika. Ketua Partai Komunis Cina, Mao Zedong, berpesan, "Anggap bola pingpong sebagai kepala musuhmu yang kapitalis. Pukullah dengan raket kayu sosialis, dan kamu telah memberikan poin bagi tanah airmu."
Namun, karena Cowan tampak kesepian, Zhuang menjabat tangannya, seraya memberikan tanda mata selembar kain sutra. Momen langka itu pun menarik perhatian wartawan. Berita Zhuang dan Cowan tersebar. Kabar itu pun sampai ke telinga Mao. Tak dinyana, dia memutuskan mengundang semua anggota tim pingpong Amerika yang berlaga di Nagoya.
Diplomasi pingpong berlanjut dengan aksi saling kunjung. Puncaknya, Richard Nixon menjadi Presiden Amerika pertama yang mengunjungi Cina. Kedua negara akhirnya menormalisasi hubungan pada 1979.
Tentu Lukman Edy tidak perlu menumpang di mobil Oegroseno untuk mulai bicara. Tak perlu juga menunggu Menpora membekukan dua organisasi itu lewat musyawarah nasional luar biasa, seperti permintaan banyak pengurus daerah.
Oegroseno dan Lukman punya pilihan: menjadi perintis "proklamasi kemerdekaan" pingpong kita atau dilupakan sama sekali.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini