Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
GILA bener. Di Dewan Perwakilan Rakyat, bumi serasa terbalik. Yang waras malah merasa terasing. Paling tidak itu jika pengakuan seorang Saut P. Hutagalung bisa dipercaya. Menunjuk wakil-wakil rakyat, Kepala Pusat Penerangan Departemen Kelautan dan Perikanan itu berkata, ”Kami seperti asing jika tidak memberikan uang….”
Ini tidak hanya menyedihkan, tapi sudah pantas ditangisi. Dan ucapan Saut agaknya sahih. Partai Keadilan Sejahtera mengakui setoran kepada anggotanya di parlemen mengalir deras. Selama setahun ini saja PKS harus mengembalikan uang pemberian para mitra, melalui Komisi Pemberantasan Korupsi, sejumlah Rp 1,4 miliar. Tentu jumlah ini belum termasuk anggota PKS yang tak mengembalikan ”amplop”—kalau ada. Tak terhitung juga anggota DPR yang menganggap ”amplop” sebagai berkah.
Kendati ini bukan isu baru, jelas warga perlu waswas. DPR mestinya haram menerima dana dari luar. Maksudnya sungguh mulia: agar Dewan terhindar dari konflik kepentingan. Tapi aturan tinggal aturan.
Itulah yang terjadi dalam kasus yang sedang menjadi buah mulut: setoran Bank Indonesia kepada anggota Dewan senilai sekitar Rp 4,4 miliar. Uang itu diduga sebagai pelumas untuk memuluskan pembahasan rencana anggaran BI dan tiga rancangan undang-undang. Di dalam rancangan itu banyak pasal yang dikategorikan sebagai high call alias kontroversial. Berkat lobi, semua pasal itu melenggang masuk menjadi undang-undang.
Soal kewenangan BI selaku lembaga pengawas bank, misalnya. Masuknya pasal ini jelas bertentangan dengan UU tentang Bank Indonesia, yang menyatakan pengawasan bank harus dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan. Tak eloklah BI sebagai regulator bank merangkap sebagai pengawas.
Kejadian itu memang terjadi pada era 1999-2004. Tapi kebiasaan tak terpuji itu langgeng hingga kini. Di pengujung bulan lalu, misalnya, lima anggota DPR terbang ke Korea Selatan dan Jepang untuk studi banding urusan pembangkit nuklir. Maksudnya baik, mencari masukan karena Indonesia berencana membangun pembangkit nuklir di Muria, Jawa Tengah. Namun caranya salah: perjalanan itu dibayari pemerintah, padahal Dewan akan menjadi pengawas proyek ini.
Anggota Dewan mustahil tak mengetahui aturan ini. Namun sepertinya mereka tak punya kesungguhan untuk menaati aturan yang melarang mereka menerima dana dari pihak lain. Kunjungan nuklir di atas, sebagai contoh, berlangsung saat 39 anggota Dewan diketahui menerima kucuran dana nonbujeter Departemen Kelautan dan Perikanan. Kita tahu, sanksi internal DPR untuk kasus nonbujeter itu sungguh-sungguh ringan. Dalam kasus ini, DPR perlu belajar dari media massa. Sebab, ada media yang memecat wartawannya yang ikut kecipratan dana Kelautan.
Sesungguhnya memang tak ada lagi alasan bagi Dewan untuk menadahkan tangan kepada mitra-mitranya. Anggaran pembahasan rancangan undang-undang sudah empat kali lebih besar dibanding tahun 2000. Sekarang ini anggaran tiap rancangan undang-undang mencapai Rp 1,2 miliar. Itu lebih dari cukup, kecuali jika dipakai dengan gaya lama: menggelar rapat sambil bersuka ria di hotel mewah.
Ini pula waktunya bagi partai untuk menepati janji mereka saat kampanye dulu, yaitu ikut memberantas korupsi. Partai harus me-recall anggotanya yang terkena kasus uang di DPR. Janji ini gampang ditepati, kecuali oleh partai yang sengaja menjadikan anggotanya di DPR sebagai mesin penambang uang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo