Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUA pria itu berbeda latar belakang. Yang satu mantan direktur utama sebuah perusahaan milik negara, yang lain bekas aktivis yang mengaku pernah jadi fotografer. Datang dari ”gunung” dan ”laut”, keduanya pada Kamis pekan lalu bertemu dalam ”belanga” bernama Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Di ruang tunggu lantai III mahkamah itu mereka dikelilingi enam polisi berpakaian safari dengan senapan M-16 terhunus: dua menjaga pintu, dua berdiri di tengah ruangan, dan dua lainnya mengawasi tangga. Puluhan anggota Satuan Tugas Antiteror bersiaga di luar ruang.
Pria pertama adalah Indra Setiawan, mantan Direktur Utama Garuda Indonesia. Di usia 56 tahun, wajahnya segar dan badannya tetap tegap meski sejak April lalu ditahan di Markas Besar Polri. Yang lainnya, pria gering 35 tahun, bernama Raden Muhammad Patma Anwar alias Ucok. Kepada polisi, ia mengaku sebagai agen muda Badan Intelijen Negara (BIN).
Sidang peninjauan kembali perkara pembunuhan aktivis Munir, yang digelar satu lantai di bawah ruang tunggu itu, rencananya bakal mempertemukan Indra dan Ucok dalam satu panggung. Keduanya sama-sama menyebut peran BIN dalam operasi pelenyapan Munir, 7 September tiga tahun silam. Sayang, menjelang makan siang, hakim menskors sidang atas permintaan tim pembela. Di bawah kawalan ketat polisi, keduanya digelandang meninggalkan mahkamah.
Pengakuan keduanya menjadi dasar Kejaksaan Agung mengajukan peninjauan kembali atas perkara ini. Sebelumnya, Oktober tahun lalu, Mahkamah Agung membebaskan Pollycarpus Budihari Priyanto, pilot senior Garuda terdakwa kasus ini, dari hukuman 14 tahun yang dijatuhkan pengadilan di bawahnya.
JULI 2004, dua bulan sebelum Munir mangkat. Di Restoran Bengawan Solo di lantai dasar Hotel Sahid, Jakarta, Indra Setiawan yang baru saja bertemu dengan beberapa kolega bergegas menuju meja Pollycarpus. Keduanya lalu bersalaman. Ia punya janji bertemu dengan sang pilot yang dikenalnya sejak 2003 itu. ”Ia meminta waktu kepada saya untuk membicarakan sesuatu yang berkaitan dengan operasi penerbangan,” kata Indra kepada penyidik, 4 Juni lalu, seperti ditirukan sumber Tempo.
Setelah berbasa-basi sejenak, Pollycarpus memaparkan pelbagai kelemahan operasi penerbangan Garuda. Menurut Indra, Pollycarpus, misalnya, menyebutkan banyaknya penumpang yang menghilangkan paspor agar bisa mencari suaka ke negara lain. Pollycarpus juga menyebut adanya penumpang gelap tanpa tiket serta awak pesawat yang kerap menyelundupkan barang terlarang.
Pollycarpus, masih menurut Indra kepada polisi, menyatakan bersedia membantu menangani masalah itu. Lalu ia menyodorkan amplop tertutup kepada Indra. Isinya surat berkop dan distempel Badan Intelijen Negara, berklasifikasi rahasia, yang ditujukan kepada Direktur Utama Garuda itu.
Menurut Indra, surat itu ditandatangani oleh M. As’ad, Wakil Kepala BIN, dan ditembuskan ke Kementerian BUMN. Di situ tertulis, Garuda merupakan perusahaan yang vital dan strategis sehingga keamanannya perlu ditingkatkan. ”Untuk itu, Pak As’ad meminta agar Pollycarpus ikut diberi tugas sebagai aviation security,” kata Indra kepada polisi.
Kepada Tempo, Pollycarpus membantah adanya pertemuan itu. ”Pilot dan direktur utama itu jaraknya sangat jauh, tak gampang saya bertemu Pak Indra. Apalagi bertemu di Hotel Sahid, bukan di kantor,” ujarnya. Pertentangan bos dan anak buah ini membuat Mohammad Assegaf mundur dari posisinya sebagai pengacara Indra. Kini ia hanya mendampingi Pollycarpus.
Adapun pada 11 Agustus 2004 Indra mengeluarkan surat penugasan kepada Pollycarpus untuk menjadi staf perbantuan di unit corporate security. Ada empat tugas yang diberikan kepada Pollycarpus, antara lain memberikan rekomendasi solusi atas berbagai masalah, khususnya yang berkaitan dengan keamanan penerbangan dan urusan internal Garuda. Penugasan ini di luar kelaziman Garuda, karena diberikan tanpa melibatkan bagian personalia.
Berdasarkan surat itu, Pollycarpus mengubah jadwal penerbangan pada 6 September 2004. Semula ia dijadwalkan terbang ke Peking, Cina, pada tanggal itu, namun pindah ke penerbangan Garuda 974 menuju Singapura. Pesawat inilah yang ditumpangi Munir dalam perjalanannya menuju Amsterdam, Belanda. Di atas pesawat, Pollycarpus menawarkan tempat duduk eksekutif miliknya kepada Munir yang bertiket ekonomi.
Polisi menuduh Pollycarpus memindahkan Munir ke kursi eksekutif agar sang aktivis bisa cepat turun ketika transit di Bandara Changi, Singapura. Dengan begitu, tersedia waktu lebih panjang untuk mengakhiri hidup Munir. Jika tetap di kursi kelas ekonomi, penumpang butuh 10-15 menit untuk keluar pesawat.
Di pengadilan, Pollycarpus mengaku segera menuju Hotel Novotel Apollo bersama awak lainnya setelah pesawat mendarat di Changi. Tapi, seperti tertulis dalam memori peninjauan kembali, ada dua saksi yang melihat ia tetap berada di ruang transit bersama Munir. Mereka adalah Asrini Utami Putri, mahasiswi Indonesia di Jerman penumpang kursi 2J, dan Raymond ”Ongen” Latuihamallo, pemusik yang duduk di kursi 50H.
Kepada polisi, Asrini mengatakan melihat Pollycarpus, Munir, dan Ongen di Coffee Bean. Mereka duduk menghadap ruang merokok dan money changer. Adapun Ongen menyatakan melihat Pollycarpus meninggalkan tempat pemesanan sambil membawa dua gelas minuman. Setelah itu, menurut Ongen, Pollycarpus dan Munir berbincang-bincang sambil minum.
Keterangan Asrini dan Ongen itu juga dijadikan bukti baru oleh kejaksaan untuk menjerat Pollycarpus. Jamuan di Coffee Bean itu diduga sebagai saat masuknya racun arsenik ke tubuh Munir. Itu sebabnya, setengah jam kemudian, ketika pesawat hendak lepas landas menuju Amsterdam, ia mulai merasa mual.
Di ketinggian 40 ribu kaki di langit Rumania, tujuh jam setelah pesawat mengudara, Munir tergolek di lantai beralaskan selimut. Dari bibirnya keluar air liur tak berbusa. Telapak tangannya dingin dan membiru. Malaikat menjemput ketika ia jauh di angkasa.
TELEPON Raden Patma berdering pada 7 September 2004 sore. Seorang aktivis mengabarkan bahwa Munir tewas di dalam pesawat Garuda. Ia segera meneruskan kabar ini ke Sentot Waluyo, seorang agen muda BIN, yang dijawab rekannya itu, ”Biarin Munir meninggal.”
”Ruang kerja Pak Sentot di Gedung K Direktorat 22 lantai 2, dekat toilet, dekat dengan kandang rusa. Saya sering membuat laporan di tempat kerjanya,” kata Raden alias Ucok kepada polisi, seperti disampaikan sumber Tempo. Ia berusaha meyakinkan polisi bahwa dirinya benar-benar mengenal lingkungan BIN.
Ucok tak kaget atas kematian Munir. Kepada polisi, ia mengaku sudah terlibat sebelumnya dengan rencana pembunuhan Munir. Caranya, dengan pengamatan dan monitor, meneror, menyantet, dan meracun. ”Munir harus dibunuh sebelum pemilihan presiden karena membahayakan,” tuturnya, seperti tertulis dalam berita acara pemeriksaan polisi.
Operasi itu, menurut Ucok, melibatkan antara lain Manunggal Maladi, Deputi Kepala BIN Urusan Penyelidikan Dalam Negeri, dan Wahyu Saronto, Deputi Urusan Kontra-Intelijen. Ia bahkan mengatakan pernah bersama-sama Wahyu Saronto dan Sentot mencari rumah paranormal Ki Gendeng Pamungkas di Baranangsiang, Bogor. ”Tapi tidak bertemu,” katanya. Kepada Koran Tempo, Februari 2005, Manunggal membenarkan mengenal Sentot dan Ucok. ”Sentot memang anak buah saya. Tapi secara kelembagaan baik saya maupun Sentot tidak berencana melenyapkan Munir. Ucok hanya informan dari Sentot. Pada 2003, dia pernah berniat mengganggu Munir. Tapi Sentot melarangnya,” kata Manunggal. Adapun Wahyu Saronto tak bisa dikontak untuk dimintai konfirmasi.
Kepala BIN Syamsir Siregar membantah pengakuan Ucok. ”Ia bukan orang BIN. Tangkap saja dia, bikin cerita saja,” ujarnya menegaskan. Abdullah Makhmud Hendropriyono, Kepala BIN pada September 2004, juga menyangkal. ”Santet-menyantet tidak ada dalam kultur kami,” ujarnya.
Nama Ucok dan Sentot sebenarnya sudah muncul dalam pembicaraan internal tim pencari fakta (TPF) kasus Munir, sebuah badan yang didirikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menuntaskan misteri itu. Syahdan, seorang pensiunan jenderal yang kini jadi petinggi negara membocorkan kepada TPF empat skenario yang disiapkan intelijen untuk membunuh Munir. Keempatnya adalah meracun, menyantet, menabrak, mengebom aktivis itu. Sayangnya, ”Kami tidak dapat mengidentifikasi secara konkret skenario itu, termasuk orang-orang yang disebut terlibat,” kata Asmara Nababan, wakil ketua tim pencari fakta. Apalagi saat itu polisi masih ”ogah-ogahan” menuntaskan kasus Munir. Walhasil, nama-nama baru itu lenyap begitu saja.
Sumber Tempo di BIN menyebutkan, Ucok direkrut oleh Sentot yang waktu itu KAUP I BIN. Tapi, menurut sumber itu, kredibilitas Ucok diragukan karena beberapa kali mengusulkan operasi palsu kepada atasannya. Untuk menangkis pengakuan Ucok, BIN kabarnya akan mengirimkan kesaksian tertulis Sentot kepada polisi. Di mana Sentot sekarang berada? Tak jelas. Seorang sumber mengabarkan Sentot kini bertugas di Gunung Kidul, Yogyakarta. Tapi pelacakan Tempo di kawasan itu hanya menemui jalan buntu. Adapun Ucok, yang ditemui di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, menolak berkomentar. Ia mengunci bibir ketika Tempo melempar pertanyaan.
INDRA Setiawan mulai panik dua bulan setelah kematian Munir, ketika sang aktivis dipastikan tewas karena racun arsenik. Kepada Pollycarpus, ia mengatakan ingin bertemu dan berkenalan dengan M. As’ad. ”Baik, Pak, nanti saya hubungi dan mintakan waktu untuk Pak Indra agar bisa bertemu,” kata Polly seperti dikutipkan Indra kepada polisi.
Beberapa hari setelah itu, Pollycarpus mengabarkan bahwa Indra akan diterima di kantor BIN, Pejaten Timur, Jakarta Selatan. Di markas spion itu, Indra mengaku ditemui seseorang yang belakangan ia ketahui sebagai Muchdi Purwoprandjono, Deputi Kepala BIN Urusan Penggalangan. Baru beberapa saat kemudian As’ad ikut bergabung.
Indra mengatakan sebenarnya ingin menanyakan kepada As’ad soal surat penugasan untuk Pollycarpus. Tapi, karena ada Muchdi, ia membatalkan niatnya. ”Saya tidak kenal dengan beliau, jadi saya tidak menyinggung surat untuk Pollycarpus itu,” kata Indra menjelaskan.
Setelah diperiksa polisi sebagai saksi pada awal 2005, Indra menyatakan pernah menghubungi As’ad. Ia bertanya, ”Pak, kok jadi begini? Garuda dibawa-bawa.” Menurut Indra, As’ad menjawab, ”Nggak apa-apa, tenang saja. Pak Indra nggak usah khawatir, nanti bisa diselesaikan.”
Kepada polisi, Indra mengatakan juga pernah menghubungi As’ad menanyakan arsip surat yang dikirim kepadanya. Pertanyaan itu dijawab As’ad dengan janji untuk mengecek. Beberapa hari kemudian, ketika bertemu di Hotel Shangri-La, Jakarta, As’ad memastikan kepada Indra bahwa arsip surat soal Polly sudah dimusnahkan.
Indra juga mengaku beberapa kali menelepon Muchdi—ketika para pejabat Garuda diperiksa, tatkala Pollycarpus ditahan, dan sewaktu Pollycarpus dituntut hukuman seumur hidup. Menurut Indra, semuanya dijawab Muchdi dengan kalem, ”Nggak apa-apa, nanti bisa selesai, Pak Indra.”
Di mana surat rahasia dari As’ad kepada Indra Setiawan itu disimpan? Menurut Indra, surat itu ikut raib pada saat mobil BMW-nya dibobol maling di Hotel Sahid, Jumat 31 Desember 2004. Ia mengatakan, surat itu disimpan di dalam tas, ditumpuk dengan aneka tagihan, majalah, alat tulis, juga tongkat pendek dan batu-batuan.
Diterima Indra dari Pollycarpus di Hotel Sahid, surat itu hilang di hotel yang sama. Hotel bintang lima itu memang tempat favorit Indra untuk menerima koleganya. ”Ia datang ke tempat itu dua-tiga kali dalam sepekan,” kata Antawirya J. Dipodiputro, pengacaranya.
Seorang anggota satuan pengamanan Hotel Sahid yang bertugas pada tanggal itu membenarkan adanya pencurian. ”Saya langsung menghubungi Polsek Tanah Abang, karena itu tindakan kriminal. Selain polisi, petugas keamanan dari Garuda yang dihubungi Pak Indra kemudian juga datang,” katanya kepada Tempo.
Sayang, Tempo belum berhasil memperoleh konfirmasi dari As’ad dan Muchdi. Telepon keduanya tak diangkat ketika dikontak. Orang-orang yang dikenal dekat dengan mereka pun tak bersedia menghubungkan Tempo dengan keduanya. Suara bantahan datang dari M. Luthfie Hakim, penasihat hukum Muchdi P.R. ”Dari Pak Muchdi saya dengar bahwa pertemuan itu tidak pernah ada,” katanya. Kepala BIN Syamsir Siregar bersuara lebih nyaring. ”Surat dari Pak As’ad itu tidak ada. Masak, kami berani memerintahkan (direktur utama) BUMN,” katanya.
Kesaksian Indra dan Ucok yang menjadi senjata andalan jaksa dipastikan akan mendapat tangkisan dari para pejabat BIN dan pengacara Pollycarpus di pengadilan. Untuk sementara, mereka juga akan terus dikelilingi beberapa lelaki dengan M-16 terhunus.
Budi Setyarso
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo