Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Berita Tempo Plus

Jakarta Kota Sinema, Mestinya

Hikmat Darmawan

Hikmat Darmawan

Kontributor Tempo, pengamat film dan komik

Jakarta paling siap menjadi “kota sinema”. Jakarta pun kota paling siap untuk hadirnya sebuah museum film.

 

22 Februari 2025 | 12.00 WIB

Proses pengambilan gambar film biopik Widji Thukul di kawasan XT Square, Yogyakarta, 2016. Dok. TEMPO/STR/Pius Erlangga
Perbesar
Proses pengambilan gambar film biopik Widji Thukul di kawasan XT Square, Yogyakarta, 2016. Dok. TEMPO/STR/Pius Erlangga

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Ringkasan Berita

  • Film Commission memudahkan birokrasi bagi pekerja film sekaligus menghemat biaya.

  • Lebih murah syuting di luar negeri daripada di Indonesia. 

  • Pada 2024, jumlah penonton film di Indonesia 80 juta orang dan 65 persen di antaranya menonton film Indonesia.

DALAM acara gala dinner Festival Film Tempo di kantor Gubernur Jakarta pada 4 Februari 2025, wakil gubernur terpilih, Rano Karno, bercerita tentang pengalamannya. Bayangkan, kata “Bang Doel”, biaya syuting film di Bandar Udara Schiphol Amsterdam, Belanda, bisa lebih murah daripada syuting di Bandara Soekarno-Hatta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Izinnya tidak muter-muter. Lalu syuting di jalur MRT Jakarta lebih mahal daripada syuting di trem Amsterdam. Malah, syuting di Amsterdam ada cash back, uang kembali dari biaya produksi yang telah dibayarkan kepada Pemerintah Kota Amsterdam. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Hal ini memang lazim di kota-kota dunia yang membuka diri untuk produksi film lokal dan mancanegara. Kawan-kawan produksi Ali dan Ratu-Ratu Queens yang hendak syuting di New York cukup datang ke New York Film Commission. Satu pintu itu telah mencakup perizinan serta biaya semua lokasi syuting di kota tersebut. Tidak ada preman per lokasi, tak ada pungutan liar, dan tak ada kesimpangsiuran. 

Beberapa film Indonesia yang mengambil lokasi di Korea Selatan juga termudahkan oleh komisi film serupa. Tim produksi langsung disodori “daftar menu” lokasi yang telah terurus dan pembiayaan yang jelas. Lalu, setelah selesai produksi, ada cash back. Kesimpulan mereka sama dengan Bang Doel: lebih murah syuting di luar daripada di Indonesia. 

Soal cash back, Ricky Pesik, dalam sebuah focus group discussion (FGD) yang diadakan Komite Film Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada 2023 tentang Komisi Film Daerah, mencontohkan Quebec.

Dewan film mereka bisa memberikan cash back hingga 40 persen biaya bagi produksi dari negara mana pun yang memenuhi syarat, seperti tim produksi menggunakan maskapai penerbangan Kanada untuk datang ke lokasi syuting dan menggunakan kru lokal sekian persen selama produksi. 

Pengalaman lokasi di dalam negeri, termasuk di Jakarta, sering kali berupa ketidakjelasan atau begitu banyaknya pintu perizinan yang mengakibatkan kesukaran menetapkan biaya lokasi dalam produksi sebuah film. Apalagi bisa terjadi pungutan liar berlapis di lapangan: sudah bayar biaya preman untuk tidak diganggu, pas hari-H syuting, ternyata ada preman lain yang meminta bayaran lokasi. 

Poster Film Cintaku di Rumah Susun dan film Si Doel Anak Modern. Dok. Tempo

Dalam FGD Komite Film DKJ tersebut, pihak pemerintah provinsi, seperti Dinas Kehutanan dan Pertamanan Jakarta, menyatakan sangat mungkin ada kebijakan satu pintu. FGD multipihak itu juga menyoroti potensi penerapan insentif ekonomi dan fasilitas lain bagi produksi film di Jakarta. Wahana bagi pengelolaan perizinan lokasi dan berbagai permasalahan dalam optimalisasi produksi film suatu daerah adalah komisi film daerah.

Badan Ekonomi Kreatif Indonesia pernah menerbitkan buku Shooting Lancar Daerah Tenar, Pedoman Pembentukan Komisi Film Daerah (2017). Dalam buku tersebut, ada enam poin urgensi pembentukan komisi film daerah: (1) kepentingan mengintegrasikan perizinan lokal, (2) memetakan potensi daerah yang relevan dalam pembuatan film, (3) mempermudah pembuat film, (4) mendorong promosi daerah, (5) turut menggerakkan perekonomian daerah, (6) memicu pengembangan kebijakan infrastruktur dan fasilitas perfilman. 

Urgensi tersebut makin terasa melihat pertumbuhan pasar film lokal yang pesat. Pada 2024, jumlah penonton film di Indonesia mencapai kurang-lebih 80 juta orang dan 65 persen di antaranya menonton film Indonesia.

Sisanya adalah penonton film produksi mancanegara, berebut pasar antara film-film Hollywood, Korea Selatan, Cina, India, dan lain-lain. Apabila pertumbuhan pasar ini tidak dibarengi pertumbuhan industri film itu sendiri dengan berbagai unsur yang mendukung produksi film, seperti badan semacam komisi film daerah, akan terjadi stunting atau bahkan gagal tumbuh dalam industri film. 

Komisi film daerah yang cukup berhasil adalah Komisi Film Yogyakarta. Walau banyak persoalan, seperti masalah izin syuting belum tuntas diatasi, badan ini cukup berdampak karena, antara lain, berfungsi menjadi kurator fasilitas pemberian dana pembuatan film dari pemerintah. Sayangnya, kinerja Komisi Film Yogyakarta harus bergantung pada dana daerah yang dialokasikan untuk lembaga tersebut dan besarannya fluktuatif. 

Secara de facto, Jakarta adalah kota terbesar dalam industri dan kultur sinema Indonesia. Idealnya, ada banyak sentra industri dan ekosistem perfilman nasional yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia, seperti Amerika yang sentra industri filmnya terbagi di Hollywood, Los Angeles, dan New York.

Atau Bollywood (India) yang tersebar menjadi enam sentra industri film, berbasis bahasa dominan di India. Di Indonesia, Yogyakarta juga telah tumbuh menjadi basis industri film yang cukup berpengaruh. Potensi munculnya sentra majemuk industri film kita telah ada. 

Tapi kita juga tak bisa mengabaikan yang de facto. Besaran ekonomi dari perfilman di Yogyakarta belum sebesar di Jakarta sehingga saat ini fungsinya lebih sebagai penyangga industri film Jakarta.

Apalagi kenyataannya, banyak sutradara papan atas di Yogyakarta, seperti Garin Nugroho, Hanung Bramantyo, Kamila Andini, dan Ifa Isfansyah, membuat film di rumah produksi berbasis Jakarta. Jumlah layar pun, yang menurut Badan Perfilman Indonesia pada Februari 2024 sebanyak 2.145, sebagian besar berada di Jabodetabek. 

Lagi pula, Jakarta lekat dengan sejarah sinema Indonesia. Sejak bioskop pertama Indonesia yang memutar perdana film di Tanah Abang pada 5 Desember 1900, Jakarta mencatat berbagai landmark historis, arsip hidup yang terserak, serta sejarah lisan sinema Indonesia dari berbagai pelaku dan seniman film lintas generasi. Jakarta pun sebuah lanskap imajiner dan dokumenter yang nyaris dominan muncul dalam sinema kita. 

Film seperti Cintaku di Rumah Susun (Nya Abbas Akup, 1987), Si Doel Anak/Sok Modern (Sjumandjaja, 1976), Eliana, Eliana (Riri Riza, 2002), dan Jakarta vs Everybody (Ertanto Robby, 2020) adalah contoh spektrum imajinatif serta naratif tentang sebuah kota megapolitan yang tumbuh sebagai medan pergulatan modernisasi Indonesia. Dalam pergulatan itu, lanskap ruang serta manusia Jakarta dalam film-film kita menjadi sebuah dokumentasi sosial dan budaya yang kaya tentang Jakarta. 

Poster film Eliana, Eliana dan film Jakarta vs Everybody. Dok. Tempo

Pengarsipan film-film itu sendiri praktis paling siap dilakukan di Jakarta. Seperti kata Lisabona Rahman, arsiparis dan pelestari film yang saat ini bekerja di Berlin, Jerman, “Jakarta adalah kota yang paling siap saat ini di Indonesia untuk hadirnya sebuah museum film dan repositori film yang layak.” Pendapat itu dikutip oleh Bunga Siagian, peneliti Asia-Afrika yang baru-baru ini mendapati kembali film Turang (Bachtiar Siagian, 1957) di lembaga arsip film Rusia, dalam sebuah diskusi di Blooks, 11 Januari 2025, tentang upaya membangun Ekosistem Arsip Film di Jakarta.

Lisabona salah satu pelopor sinema alternatif pertama di Jakarta, yakni Kineforum. Sebermula, itu merupakan kerja sama antara DKJ dan XXI Taman Ismail Marzuki, hasil kengototan Gotot Prakosa, empu film pendek dan sinema independen kita.

Bentuk awalnya berupa program kurasi film alternatif di Studio 1 XXI TIM secara rutin sejak 29 Juni 2005 dengan nama Art Cinema. Setahun kemudian, DKJ mencanangkan Kineforum sebagai arthouse cinema atau bioskop alternatif pertama di Indonesia. Ketuanya Lisa. 

Kini, akibat tata kelola TIM yang tak jelas sejak direvitalisasi, Kineforum seperti kehilangan tempat dan tak lagi menjadi ruang putar yang ajeg. Padahal platform ini menjadi unsur penting bagi pertumbuhan komunitas pembuat film dan penonton yang menyangga ekosistem perfilman kita selama beberapa dekade.   

Bisa disimpulkan bahwa Jakarta dengan segala kekurangannya adalah ranah paling siap untuk menjadi “kota sinema”, dalam arti paling siap mengupayakan penumbuhan semua aspek ekosistem perfilman secara sehat. Rano Karno, pada malam gala dinner Festival Film Tempo, menggarisbawahi istilah “Jakarta Kota Sinema”. Ia menantang organisasi pendukung daerah, “Nanti mau dukung saya, enggak, bangun Jakarta Kota Sinema?”

Saya kira itu juga tantangan bagi semua stakeholder perfilman kita di Jakarta.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus