Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BELAJAR menjadi orang miskin dan hidup sederhana ternyata sulit. Utang sudah menumpuk, kepercayaan orang luar sudah rapuh, negeri morat-marit, jumlah rakyat miskin makin bengkak, eh, masih juga pemerintah menggelar Konferensi Tingkat Tinggi Kelompok 15 (biasa disingkat KTT G-15). Baiklah jika itu disebut sebagai kewajiban atau beban, karena pimpinan KTT G-15 itu berada di sini. Tapi, apakah perlu kita menunjukkan diri sebagai bangsa kaya dan masih bisa bermewah-mewah, sementara kenyataannya kita begitu miskin dan sesungguhnya tak mampu untuk bermewah-mewah?
Kalau kenyataan itu dilihat oleh pemerintah, semestinya urusan KTT G-15 bisa dibuat sederhana. Para tamu cukup disambut apa adanya, sesuai dengan kemampuan atau sedikit lebih tinggi dari kemampuan yang sewajarnya. Tidak usah mengada-ada, misalnya menyediakan mobil kelewat mewah yang harganya ratusan juta rupiah, bahkan ada yang menyebut lebih dari semiliar rupiah. Untuk apa semua itu? Para tamu penting itu tahu keadaan kita lagi runyam, ekonomi memburuk kian hari. Justru dengan menunjukkan keadaan apa adanya, jangan-jangan para tamu penting mancanegara itu semakin iba dan bersimpati pada kita?dan buntut-buntutnya membantu kita dalam mengatasi kesulitan ini.
Atau, kalau malu memperlakukan tamu KTT dengan mobil yang biasa-biasa saja, kenapa tidak meminjam mobil supermewah kepada para pengusaha dan orang-orang berduit di Jakarta? Sudah banyak yang gentayangan di jalanan, atau yang masih di garasi pengusaha. Kalau mereka diyakinkan bahwa tamu yang datang itu penting dan kemudian diyakinkan bahwa uang tak cukup untuk mendatangkan mobil mewah, jangan-jangan para konglomerat memberikan mobilnya untuk dipinjam.
Tapi, masalahnya tidak sesederhana itu. Sekarang ini, di te-ngah-tengah suara untuk mengikis praktek-praktek buruk Orde Baru, ulah busuk yang mendompleng setiap KTT masih tetap saja dilakukan. Artinya, praktek buruk Orde Baru itu tetap saja dipakai pemerintah, yaitu memberi kesempatan kepada pihak swasta untuk mendatangkan mobil supermewah dengan alasan dipakai KTT. Importir mobil itu tidak dibebani pajak yang semestinya (lihat rubrik Nasional, halaman 30). Pemerintah beranggapan, toh tak ada yang dirugikan: mobil datang, pemerintah tak keluar duit. Namun, yang sebenarnya terjadi, pemasok mobil itu akan untung besar. Sebab, usai KTT, mereka akan menjual mobil mewah itu dengan harga tinggi. Pembelinya antre. Negeri ini kehilangan pajak, itu dari segi rupiah. Dari sudut sosial, semakin banyak mobil mewah berseliweran di tengah kemiskinan, kesenjangan semakin terjadi.
Aneh bahwa pemerintah tak memperhitungkan hal ini, karena keputusan presiden soal pengadaan mobil mewah itu sudah keluar. Pengusaha pun sudah ditunjuk, begitu juga merek mobilnya. Lantas, apakah masih layak pemerintah menghujat Orde Baru kalau cara-cara Orde Baru itu juga terus dipakai?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo