Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pengusaha dan politikus memakai celah aturan mendapatkan konsesi tambang nikel Sulawesi.
Mendorong kemudahan investasi membuat kerusakan alam kian masif.
Deforestasi Sulawesi akibat penambangan nikel lebih dari tujuh kali luas Jakarta.
PELAKU penjarahan sumber daya alam di Indonesia tidak pernah kehilangan akal. Dulu mereka menambang mineral seperti nikel dengan beking pejabat atau politikus agar tidak terkena sanksi hukum. Sekarang modus mereka lebih “progresif”. Sejumlah pengusaha hitam sektor pertambangan dengan beragam latar belakang memakai stempel dari lembaga negara untuk melegalkan aktivitas mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Aturan yang bolong di sana-sini dan pebisnis pertambangan yang lincah seperti tikus di lumbung padi merupakan kombinasi sempurna dalam mencaplok sumber daya alam kita. Investigasi majalah ini menemukan puluhan perusahaan memanfaatkan aturan yang multitafsir untuk mendapatkan izin tambang bijih nikel atau ore di Sulawesi Tengah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Area yang sudah terkaveling lebih dari 200 ribu hektare atau lebih dari tiga kali luas Jakarta. Sebagian besar lahan merupakan kawasan hutan yang mengandung nikel yang tinggi. Kawasan yang semestinya hijau digali untuk mendapatkan material baterai mobil listrik.
Modus operandi yang dipakai adalah menggunakan surat Pengadilan Tata Usaha Negara, laporan akhir hasil pemeriksaan Ombudsman Republik Indonesia, atau opini hukum Kejaksaan Tinggi sebagai katebelece menambang di kawasan yang masih bersengketa—umumnya akibat tumpang-tindih penguasaan lahan.
Surat-surat dari lembaga-lembaga negara itu diperlukan sebagai syarat mendaftar di aplikasi Minerba One Data Indonesia (MODI). Terdaftar di aplikasi Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral merupakan syarat perusahaan untuk bisa menambang.
Keterlibatan lembaga-lembaga negara dalam urusan “legalisasi” tambang bijih nikel ilegal bermula dari Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 26 Tahun 2018. Aturan itu menyebutkan, untuk mendapatkan izin usaha pertambangan dan izin usaha pertambangan khusus di lahan konsesi bersengketa, pengusaha harus mengantongi penetapan pengadilan atau lembaga terkait yang berwenang.
Stempel itu diperlukan perusahaan untuk mendapatkan konsesi tambang dan bisa memperoleh izin memulai kegiatan produksi dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Dengan demikian, alih-alih menjernihkan perkara hukum dan melindungi alam agar tetap lestari, aturan menteri itu memberi jalan agar bijih nikel cepat-cepat bisa dikeduk.
Menjadi syarat agar perusahaan bisa mulai menambang, rekomendasi itu jadi rebutan. Hingga Januari 2022, Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tengah menerbitkan 84 pendapat hukum untuk 80 perusahaan. Kementerian Energi untungnya cukup berhati-hati: baru 12 di antaranya yang sukses masuk MODI sehingga bisa menggali bijih nikel. Kendati baru belasan perusahaan yang mendapatkan izin menambang, luas area yang mereka kuasai mencapai puluhan ribu hektare.
Pemilik perusahaan umumnya mudah mendapatkan surat rekomendasi dari lembaga negara itu karena mereka merupakan pejabat negara pula atau setidaknya dekat dengan pejabat. Salah satu pemilik misalnya adalah Ahmad Ali, anggota Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat yang juga Wakil Ketua Umum Partai NasDem. Ada juga pengusaha Karlan Azis Mannessa, yang memiliki kongsi dagang dengan keluarga mantan wakil presiden Jusuf Kalla.
Baca liputannya:
- Tentakel Tambang Nikel
- Habis Nikel Terbitlah Deforestasi
- Wawancara dengan Haji Karlan
- Wawancara dengan Ahmad Ali, Wakil Ketua Umum Partai NasDem
Pangkal sengkarut legalisasi penambangan ilegal adalah Undang-Undang Cipta Kerja. Ahmad Ali mengakui langkahnya meminta verifikasi lembaga penegak hukum untuk mendapatkan izin menambang bijih nikel karena diamanatkan omnibus law. Dibuat secara tergesa-gesa dengan mengabaikan partisipasi publik, undang-undang ini sejak awal diperkirakan menjadi pintu masuk bagi eksploitasi alam Indonesia. Hingga 2020, luas deforestasi akibat penambangan nikel mencapai setengah juta hektare.
Digugat ke Mahkamah Konstitusi, undang-undang itu diperintahkan majelis hakim diperbaiki selambat-lambatnya dua tahun. Hingga nanti dikoreksi, undang-undang itu telah dan akan terus merusak alam Indonesia atas nama pembangunan dan investasi—harapan Presiden Joko Widodo yang sayangnya tak memiliki pandangan jauh ke depan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Melegalkan Nikel Ilegal"