Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Perjanjian ekstradisi dengan Singapura tidak perlu dirayakan dengan berlebihan.
Traktat itu sulit menjangkau pelaku korupsi BLBI.
Tanpa peradilan yang bersih dan berintegritas, perjanjian ekstradisi cuma pepesan kosong.
TERLALU dini untuk merayakan perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singapura yang diteken pada Selasa, 25 Januari lalu. Kesepakatan di Bintan, Kepulauan Riau, yang disaksikan Presiden Joko Widodo dan Perdana Menteri Lee Hsien Loong itu baru langkah permulaan untuk memulangkan pelaku kejahatan—termasuk korupsi—dari Singapura.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perjanjian ini belum bisa dilaksanakan karena harus mendapatkan pengesahan lebih dulu dari Dewan Perwakilan Rakyat. Bila DPR tak meratifikasi perjanjian ekstradisi ini, pemerintah tak akan punya senjata baru untuk memulangkan buron yang bersembunyi di Singapura.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Indonesia-Singapura pernah menandatangani perjanjian serupa pada 2007 di Bali. Namun kesepakatan yang disaksikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Perdana Menteri Lee itu tak bisa dilaksanakan karena DPR menolak meratifikasinya. Dewan tidak menyetujui syarat yang diminta Singapura untuk menggunakan sebagian wilayah laut dan udara Indonesia sebagai tempat latihan militernya.
Dibandingkan dengan kesepakatan 2007, tidak ada perubahan signifikan dalam perjanjian ekstradisi terbaru. Yang berubah hanya asas retroaktif atau masa berlaku surut dari semula 15 tahun menjadi 18 tahun. Artinya, meskipun DPR meratifikasi perjanjian ini, pemerintah tidak dapat meminta Singapura memulangkan buron tindak pidana yang terjadi sebelum 2004. Jika target pemerintah adalah memulangkan pelaku korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang terjadi pada 1997-1998, perjanjian ini jelas tidak berguna.
Perjanjian ekstradisi sesungguhnya tidak terlalu mendesak karena dalam beberapa tahun terakhir Singapura sudah cukup kooperatif mengekstradisi buron kasus kejahatan ke Indonesia. Salah satunya adalah mantan petinggi Lippo Group, Eddy Sindoro, tersangka kasus penyuapan Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Kasus ini menunjukkan, yang tidak kalah penting adalah iktikad pemerintah dalam menegakkan hukum.
Kesepakatan ini terkesan mendadak dan tidak transparan. Hingga kini publik belum dapat mengakses detail perjanjian. Dapat dimaklumi bila sejumlah kalangan mencurigai ada sesuatu di balik perjanjian itu. Muncul kecurigaan perjanjian ekstradisi dibarter dengan perjanjian soal pengelolaan ruang udara (FIR) dan perjanjian kerja sama pertahanan (DCA) yang diteken bersamaan.
Kecurigaan makin kuat karena Indonesia akan mendelegasikan penyediaan layanan navigasi udara pada area tertentu di ketinggian 0-37 ribu kaki kepada otoritas penerbangan Singapura. Kesepakatan yang berlaku selama 25 tahun dan akan diperpanjang atas persetujuan bersama itu berpotensi menguntungkan Singapura. Dalam perjanjian pertahanan, Indonesia bahkan mengizinkan angkatan laut Singapura berlatih dengan negara lain di wilayah laut kita. Ketentuan inilah yang mengganjal pengesahan perjanjian ekstradisi pada 2007.
Publik berhak tahu siapa yang diuntungkan oleh kesepakatan terakhir Indonesia-Singapura. Janji pemerintah memulangkan buron saja tak banyak gunanya bila penegak hukum kita enggan menuntaskan proses hukum—termasuk menyita aset hasil kejahatannya. Tanpa peradilan yang bersih dan berintegritas di dalam negeri, perjanjian ekstradisi pun cuma akan jadi pepesan kosong.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo