Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Untuk apel besar di Lapangan Ikada saja (sekarang Lapangan Banteng), bulan September, Adam Malik, Soekarni, dan para pemuda memerlukan satu hari yang melelahkan untuk membujuk Bung Karno dan para menteri kabinetnya agar mau berbicara sedikitlah di muka seratus ribu massa yang sudah berkumpul dan dikelilingi serdadu Jepang dengan bayonet terhunus.
Bahkan selama sidang kabinet pada hari yang gawat itu Menteri Iwa Kusumasumatri, menurut Pak Margono, pendiri Bank Indonesia, malah enak-enak tertidur. Tentu saja hal itu membuat para pemuda jengkel. Dalam hati mereka sudah bulat tekad untuk selekas mungkin mengganti pemerintahan yang sama sekali tidak revolusioner dan warisan para pegawai Belanda dan Jepang itu.
Mereka tidak suka dengan sistem UUD 1945 hasil Dokuritzu Zyunbi Chyosakai, yang penyusunannya diarahkan oleh ordo penjajah rakyat. Mereka ingin sistem yang sungguh-sungguh demokratik merakyat, dan bukan UUD yang begitu berat mengistimewakan kedudukan para penguasa dan bisa dilekuk-bekuk jadi fasisme apa pun.
Kapal perang Sekutu Cumberland sudah parkir di Teluk Jakarta, dan 500 serdadu Inggris telah menduduki beberapa gedung strategis, bahkan bekas istana gubernur jenderal sudah diserahkan kepada Let-Gub-Jen van Mook. Sementara itu sekian puluh "kopassus" Belanda sudah menyusup dan mengacau Jakarta.
Apa yang harus dibuat? Di tengah suasana yang mencekam dibayangi psikologi campuran amarah dan panik, sebuah demo diihtiarkan dari kalangan mahasiswa, profesor, para pemimpin partai, barisan militan, serta kelompok yang bermunculan sesudah proklamasi. Dengan spanduk dan yel-yel mereka turun ke jalan: ‘’Turunkan van Mook!’’, ‘’Gantung Gubernur Jenderal!", "Kami Menuntut Sidang Istimewa Parlemen Nederland!", dan sebagainya.
Wartawan dalam dan luar negeri mewawancarai para wakil demonstran itu. "Ya, kami para pemuda reformasi minta agar SI Parlemen Nederland mengadakan pemilu yang benar di Indonesia."--"Untuk Apa?"--"Ya, untuk memilih gubernur jenderal yang baru. Reformasi total!"--"Tetapi itu kan parlemen ordo zaman yang sudah lampau. Biarpun istimewa, apakah parlemen ordo penghisap rakyat yang sudah lampau itu bisa diandalkan untuk membuat reformasi total demi kemerdekaan, keadilan, dan kesejahteraan bangsa Indonesia?"--"Ya, kita lihat nanti."--"Mengapa harus dilihat nanti? Apakah belum dapat diperkirakan sekarang apa yang akan terjadi?"—"Ya, kita harus konstitusional."-- "Menurut konstitusi mana?--"Ya, pokoknya konstitusi."--"Mengapa bukan revolusi?"--" Terlalu banyak minta korban. Nanti bunuh-bunuhan dan rampok-rampokan. Kami ingin cara damai."--"Apakah revolusi damai tidak pernah ada?"--"O, ya? Tapi kami hanya moral force."--"Pemerdekaan rakyat tertindas hanya cukup diatasi dengan moral force?"--"Apa? Ya, tidak cukup, tetapi..., tetapi.…"--"Apakah pemilu hasil sidang istimewa parlemen Belanda nanti sungguh dapat mencerminkan suara rakyat Indonesia?"--"Ya, entah, tetapi pokoknya pemilu."--Apakah gubernur jenderal yang baru nanti dapat dijamin tidak akan berbuat seperti gubernur-gubernur jenderal sebelumnya?"--"Ya, embuh, tidak tahu, tetapi pokoknya gubernur jenderal harus baru."--Apakah itu sasaran Reformasi Total dari pada pemuda?" -- "Uah, kok banyak pertanyaannya...."
Pada saat itu ibu jari kaki saya digigit tikus dan terkejut kesakitan, saya bangun. Tikus edan, caci-makiku jengkel, semakin kurang ajar. Enak-enak mimpi, asyik serba intelektual, malah diganggu. Sungguh keterlaluan memang sekarang ini, tikus-tikus semakin gede semakin nekat kurang ajar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo