Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Surat Pembaca

Masalah Syarat Pengangkatan Calon Hakim agung

16 November 1998 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DALAM pasal 7 ayat (1) item "b" Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, ditentukan bahwa untuk diangkat menjadi hakim agung, seorang calon harus memenuhi syarat berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela.

"Berwibawa" berarti dihormati orang. Rasa hormat bisa timbul karena dia memiliki kekuasaan atau kekuatan, mempunyai pengaruh besar atau mempunyai karisma. Untuk menjadi berwibawa, seseorang mutlak harus berwatak jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela. Seorang penipu, maling, pemabok, atau pelacur--meski dia mempunyai kekuasaan dan kekuatan--pasti tidak berwibawa karena wataknya bobrok. Di samping tidak jujur, tidak adil, dan berkelakuan sangat tercela, ia pasti juga tidak bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Di Indonesia, banyak pejabat yang berkelakuan demikian sehingga negara kita terpuruk seperti sekarang ini. Rakyat tidak lagi mempercayai pemerintah. Akibatnya, timbul kekacauan di mana-mana. Inilah yang dinamakan pemerintah yang tidak berwibawa. Pada zaman pemerintah Belanda dulu, seorang pangreh praja (bestuurs ambtenaar) harus menjauhi sikap "mo-limo" yang berarti lima macam kebiasaan jelak yang berawalan huruf "m", yakni maling (mencuri), madon (main perempuan), main (berjudi), minum (minum minuman keras) dan madat (minum obat terlarang). Pemerintah Belanda waktu itu tentulah bertujuan--dengan larangan itu--agar para pejabat pangreh praja berwibawa di mata rakyatnya sehingga dihormati dan ditaati perintah-perintahnya.

Mahkamah Agung sekarang ini juga sudah tidak berwibawa lagi. Sebabnya karena ada sebagian hakim agung yang tidak jujur, putusan-putusannya tidak adil, bahkan banyak yang terbukti menciptakan ketidakpastian hukum. Dan, kelakuan mereka juga sangat tercela.

Kalau pada waktu dicalonkan oleh DPR dulu syarat-syarat pasal 7 ayat (1) item "h" itu tidak terlalu ketat diteliti, sekarang, setelah mereka diangkat menjadi hakim agung, masalah wibawa itu sudah mereka anggap sepele. Tudingan bahwa perkara-perkara di Mahkamah Agung diperjualbelikan oleh para hakim agungnya datang bertubi-tubi, baik dari pihak-pihak yang berperkara, dari para pengacara, dari pakar-pakar hukum, dari kalangan universitas, maupun dari masyarakat luas. Laporan-laporan tertulis disertai putusan perkara yang "miring-miring" masih terus berdatangan kepada penulis--baik di rumah maupun di kantor--meskipun penulis sudah hampir 2 tahun pensiun. Laporan yang datang dari seluruh pelosok tanah air itu penulis kumpulkan. Isinya bernada marah, memaki, dan gemas.

Kemudian, sudah berkali-kali terjadi mahasiswa berdemonstrasi di halaman Gedung Mahkamah Agung. Mereka bahkan menuntut agar Ketua Mahkamah Agung Sarwata mengundurkan diri karena leadership-nya dianggap gagal.

Kalau sewaktu Ketua Mahkamah Agung masih dipegang oleh Wirjono Prodjodikoro dan Subekti halaman Gedung Mahkamah Agung tidak pernah diinjak-injak oleh pasukan antihuru-hara, sekarang hal itu sudah biasa terjadi. Dalam keadaan demikian, apakah masih ada sekelumit kewibawaan yang dimiliki Mahkamah Agung? Namun, ternyata, Mahkamah Agung sampai sekarang masih belum terjamah reformasi.

Kiranya sudah tiba saatnya Presiden Habibie bertindak tegas dan tanpa ragu-ragu mereformasi Mahkamah Agung. Pertama, karena judicial corruption di tubuh peradilan di Indonesia semakin hari semakin dahsyat (meminjam istilah T. Mulya Lubis) dan menuju ke titik yang berbahaya karena, di samping bermental prokorupsi, Mahkamah Agung akhir-akhir ini juga menciptakan ketidakpastian hukum dengan mengabulkan banyak perkara permohonan peninjauankembali. Kedua, karena cap bahwa Mahkamah Agung sudah tidak berwibawa tidak memerlukan pembuktian lagi karena sudah merupakan notoire feit.

Apabila dulu kewibawaan menjadi syarat utama bagi calon hakim agung, sekarang, setelah menjadi hakim agung, mereka menginjak-injak kewibawaan itu. Karena itu, Presiden Habibie tidak perlu menunggu lebih lama lagi untuk memberhentikan mereka dengan alasan mereka sudah tidak memenuhi persyaratan yang diatur dalam pasal 7 ayat 1 pada item "h" Undang-Undang No. 14 Tahun 1985.

Di tengah hiruk pikuk pemeriksaan harta kekayaan mantan presiden Soeharto akhir-akhir ini, saya merasa pesimistis masalah ini dapat diselesaikan dengan tuntas jika lembaga Mahkamah Agung RI masih "bertahan" seperti sekarang. Masalah hakim berada di bawah satu atap--sebagaimana pernah diajukan sebagai salah satu sikap reformasi antara MA dan DPA beberapa waktu lalu--dibandingkan dengan masalah pemberhentian hakim-hakim agung yang bermental prokorupsi menjadi tidak begitu penting lagi dan bisa diurus kemudian.

Adi Andojo Soetjipto
Penulis adalah mantan Ketua Muda Mahkamah Agung RI

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus