ANAK negeri ini sungguh beruntung (atau malang): sedikitnya tiga
kali seminggu menyaksikan di televisi kehebatan teknologi
Amerika. Ada "Bionic Woman" si jelita yang kalau naik pitam
sanggup menggencet kita hingga remuk redam jadi bubur. Siapa
saja yang merasa diganggu subversif boleh angkat tilpun minta
bantuannya, asal cocok harga. Ada 'voyage to the bottom of the
sea," kapal selam yang mampu menjenguk setan di dasar samudera
dan bercengkerema dengannya. Jika diperlukan, kapal yang
mencengangkan kita orang dari bagian bumi yang sedang
berkembang, penuh dengan lampu yang tak henti-hentinya
berkelap-kedip, bisa meloloskan dia punya pesawat berbentuk
berudu melenggak-lenggok di air kemudian melesat ke langit,
meninggalkan buih dan sikap melongo.
Dan "Time Tunnel". Hanya dengan pijitan tangan halus seorang
nyonya pada knop, dua orang muda Amerika bisa melayang-layang
dalam terowongan. Mau mendarat ke masa lampau, mau mendarat ke
masa datang, tinggal pilih terima sampai selamat berkat mesin
yang tak bakal dipaham oleh isi kepala bangsa kita-kita ini.
Juga tidak oleh Bappenas dan Lipi digabung jadi satu. Dalam
urutan peradaban kita baru sampai pada tingkat bangsa
assembling. Tapi jangan kecil hati, ini cuma merupakan salah
satu anak tangga menuju atap, mata rantai tak terhindarkan dalam
proses akselerasi. Diperlukan kesabaran, kemantapan ideologis,
stabilitas nasional, dan kepercayaan kreditor untuk sampai ke
sana. Harap menunggu dengan sikap tertib.
Pada suatu saat orang-orang ajaib dari laboratorium "Time
Tunnel" bermaksud mengirim bintangnya menerobos sang waktu
menuju masa depan: Indonesia tahun 2000. Diharap kedua orang
muda akan melintir di dalam terowongan kemudian akan jatuh
terguling-guling persis di pekarangan mang Udi nelayan
Cilauteureun kota kecil terpencil di pantai selatan Jawa Barat.
Diharap mang Udi sedang duduk di sofa membaca koran di bawah
lampu listrik 100 watt dan di sampingnya tergeletak pesawat
telepon otomat. Kesemuanya ini berkat suksesnya program
koran-listrik-telepon berhamburan masuk desa.
Tapi -- akibat hal-hal yang sulit dijelaskan di sini -- sang
nyonya operator "Time Tunnel" salah setel. Akibatnya, kedua
orang muda dari marga teknologi tinggi itu bukannya melintir dan
terguling di Cilauteureun melainkan di kelurahan Tsou di
provinsi Shantung, Tiongkok. Waktu menunjukkan tahun 312 sebelum
Masehi. Kebingungan tengok kiri tengok kanan, muncul orang gaek
umur 59 tahun, putih bagai lobak. Kok seperti tukang bakpao di
Kalifornia, pikir orang Amerika itu.
- Namaku (menurut lidah kalian) Mencius.
+ Koki capcay? Swikee? Bakpao?
- Bukan. Aku penasihat para penguasa Tiongkok yang
tercabik-cabik seperti kain tua dan saling cakar seperti anjing.
+ Oh, konsultan itu namanya.
- Begitulah barangkali.
+ Apa yang sampeyan nasihatkan?
- Supaya penguasa memerintah liwat contoh moral, bukan kekuatan.
Sebab "Langit melihat seperti rakyat melihat, langit mendengar
seperti rakyat mendengar." Komponen paling penting adalah
rakyat, bukan penguasa. Kewajiban penguasa adalah
menyejahterakan rakyat. Jika kewajiban itu diabaikan, dia
kehilangan mandat dari langit. Dan layak ditumbangkan.
+ Kok seperti pendapat John Locke?
- Siapa itu John Locke?
+ Orang negeri Inggris yang lahir seribu sembilan ratus dua
puluh satu tahun sesudah engkoh tutup mata.
- Apa dia bilang?
+ Pemerintah itu seperti "ronda jaga malam" mengawasi
kepentingan rakyat. Tidak boleh alpa. Mesti melek terus.
- Itu bagus. Apa lagi?
+ Katanya "Tidak ada pajak tanpa dewan perwakilan."
- Masuk di akal, orang Inggris kata kalian? Biar aku tidak tahu
di mana Inggris itu, tapi tajam juga penciumannya.
Atas pertimbangan bisa-bisa kena pengaruh yang bukan-bukan,
nyonya operator "Time Tunnel" lekas-lekas pijit knop dan
berjatuhanlah keduanya di lantai laboratorium dengan
tersipu-sipu. Maaf, tadi ada kekeliruan teknis, kata si nyonya.
Tuan mestinya dilempar ke masa depan, bukannya belakang. Lupakan
saja si engkoh tadi. Sekarang siap-siap ke Cilauteureun di Jawa
Barat. Kami pertemukan dengan mang Udi. Harap pertinggi
kewaspadaan. Maka asap pun mengepul lagi seperti lazimnya tampak
di pabrik pembakaran kapur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini