Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENCALONAN Gibran Rakabuming Raka sebagai wakil presiden berpasangan dengan Prabowo Subianto menandai peran partai politik dalam konspirasi buat memuluskan jalan politik putra sulung Presiden Joko Widodo itu. Partai pengusung pasangan ini tak peduli dengan masalah berat dalam proses pengambilan putusan uji materi batas usia calon presiden dan wakil presiden oleh Mahkamah Konstitusi yang membuka jalan bagi pencalonan Gibran.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Partai politik yang secara teori mesti menangkap dan menyalurkan aspirasi masyarakat konstituennya justru berjalan melawan arus. Di tengah kritik dan olok-olok khalayak terhadap pencalonan Gibran, koalisi Prabowo berdalih bahwa pemilihan Wali Kota Solo, Jawa Tengah, itu merupakan keputusan legal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Partai tak peduli bahwa jalan bagi Gibran menjadi calon wakil presiden penuh intrik dan culas. Putusan Mahkamah Konstitusi yang memperbolehkan kepala daerah berumur di bawah 40 tahun bisa menjadi calon presiden-wakil presiden diambil dalam kendali Ketua MK Anwar Usman, paman Gibran. Mahkamah Kehormatan MK telah memecat Anwar dari posisi Ketua MK akibat perannya itu. Dengan bukti pelanggaran itu, tak satu pun partai mengoreksi keputusan pencalonan Gibran lalu mendorong Prabowo mengganti calon pendampingnya.
Mudah terbaca motif elite-elite partai itu mempertahankan Gibran sebagai pasangan Prabowo hanyalah upaya menggaransi dukungan Jokowi. Mereka meyakini Jokowi akan berkontribusi dalam pemenangan Prabowo-Gibran dan tak akan membiarkan anaknya kalah dalam pemilihan presiden 2024. Tujuan membentuk koalisi bukan lagi mementingkan persamaan ideologi, tapi sekadar memikirkan cara merebut dan mempertahankan kekuasaan.
Dalam sistem politik Indonesia hari ini, identitas ideologi partai telah kabur. Akibatnya, publik sulit membedakan partai nasionalis dengan partai religius meski mereka menuliskan ideologi yang dianut dalam anggaran dasar masing-masing. Berkabutnya identitas ideologi partai ini berakar pada kebijakan politik Orde Baru yang memaksakan asas tunggal Pancasila dan melarang pembentukan partai selain Golongan Karya, Partai Demokrasi Indonesia, dan Partai Persatuan Pembangunan.
Reformasi 1998 yang menghadirkan iklim demokrasi memang membuat partai baru bermunculan. Namun partai-partai itu tak ditopang oleh platform kerja dan ideologi yang jelas. Mereka membangun ketergantungan pada figur atau popularitas pendiri dan elitenya. Absennya ideologi yang semestinya diperjuangkan membuat partai politik cenderung oportunis dan transaksional sehingga menyuburkan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Contoh paling nyata ada pada Partai Solidaritas Indonesia, yang di awal pendiriannya mengklaim sebagai partai anak muda yang anti-dinasti politik dan menjunjung asas meritokrasi. Belakangan, klaim PSI itu terlihat hanya bualan. Partai ini tak cuma membebek Jokowi dan partai lain dengan ikut mendukung pencalonan Gibran sebagai kandidat wakil presiden. PSI pun mengangkat adik Gibran, Kaesang Pangarep, sebagai ketua umum secara instan, tanpa melalui kaderisasi yang berjenjang.
Dua pemilihan presiden terakhir juga menjadi pertunjukan politik minus ideologi. Partai politik pendukung Prabowo yang kalah dengan entengnya bergabung ke koalisi pendukung Jokowi. Prabowo pun dengan mudahnya menerima tawaran menjadi menteri atas nama rekonsiliasi seusai Pemilihan Umum 2019 karena orientasi Ketua Umum Partai Gerindra itu cuma mendapat kue kekuasaan, bukan berkuasa untuk memperjuangkan nilai dan visi tertentu yang sama sekali berbeda dengan lawan politiknya.
Dalam praktik demokrasi saat ini, partai tak lebih seperti ojek online: hanya dipakai buat mengantarkan elite ke tujuan berkuasanya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Oportunisme Partai Pengusung Prabowo"